Pencitraan dan “Sekularisasi”

Citra adalah soal bagaimana seseorang dilihat berdasarkan persepsi orang lain. Citra juga berarti soal bagaimana seseorang ingin dilihat oleh orang lain. Dalam konteks ini ada pemisahan antara ”yang nyata” dan “yang tampak” (atau “yang ingin ditampakkan”).

Tidak menjadi problem jika yang ditampilkan dan kenyataannya itu simetris, sejalan, lurus, konsisten, korespond. Namun selalu ada kesenjangan antara dua bidang ini. Yang menyedihkan, kesenjangan itu kerap tak terdamaikan sehingga ada jarak antara yang nyata dengan yang tampak. Dalam konteks inilah aspek keterpisahan dalam citra dibicarakan.

“Pencitraan”, dalam bidang apapun, bukan modus yang sama sekali baru. Setiap pemimpin kelompok atau komunitas apapun, baik politik maupun kultural, dan seterusnya, sadar maupun tidak sadar selalu melibatkan “pencitraan”. Problemnya adalah ketika “yang tampak” ini dianggap sebagai “yang nyata”; ketika “yang nyata” digeser sehingga semakin lama menguap, memudar, dan akhirnya lenyap – atau setidaknya tak digubris lagi.

Mirip dengan proses sekularisasi Eropa abad Pencerahan, ketika kekuasaan negara memisahkan diri dengan kekuasaan Gereja. Masing-masing menjadi kuasa otonom. Namun kita tahu bahwa setelah Pencerahan pengaruh Gereja semakin susut.

Evolusi pemanfaatan pencitraan membuat istilah itu sendiri mengalami pergeseran makna. Sayangnya, pergeseran makna tersebut tidak selalu menyenangkan. Mengutip Nana Sutikna (2012),

Pencitraan tidak lagi hanya sekedar upaya membangun citra positif terhadap institusi, produk atau seseorang melalui peningkatan kualitas produk maupun pelayanan, melainkan bila perlu melakukan “manipulasi” agar sesuatu yang dicitrakan tersebut “tampak” bagus.

Ketika pemaknaan kedua yang lebih dominan maka tidak salah jika kemudian masyarakat cenderung “alergi” ketika mendengar istilah pencitraan. Pencitraan telah mengalami proses peyoratif (penurunan makna), oleh karena itu menguraikan kembali apa, bagaimana, dan mengapa pencitraan menjadi sesuatu yang penting saat ini. (Sutikna 2012: 605).

Secularization_of_Malta

Dalam bidang komunikasi dan kehumasan, citra (image) yang positif atas suatu perusahaan diperlukan untuk mendatangkan goodwill dari publik terhadap perusahaan, dan sebaliknya citra perusahaan yang buruk akan menjauhkan publik dari perusahaan (Sutikna 2012: 606).

Namun Sutikna menambahkan bahwa citra adalah fragile commodity. Jika tidak dikelola dengan benar maka akan mudah sekali rusak. Citra adalah kesan, perasaan, atau gambaran publik tentang perusahaan, sehingga perusahaan tidak bisa membiarkan citra terbentuk dengan sendirinya, melainkan melakukan upaya untuk membentuk citra positif melalui proses pencitraan yang tepat (Sutikna 2012: 606).

Logika ini dapat ditransfer ke dalam bidang politik praktis sehingga kata “perusahaan” di atas dapat kita ganti secara arbitrer dengan “politikus”, “caleg”, “anggota dewan”, “pemerintah”, “presiden”, “menteri”, ad infinitum.

Istilah “pencitraan” dalam dunia politik merujuk pada adanya kesenjangan antara apa yang ditampakkan oleh seorang politikus dan apa yang sebenarnya dia lakukan (atau tidak dia lakukan). Pencitraan diri dibutuhkan untuk memberikan kesan yang mendorong orang-orang untuk mempercayai apa yang ditampilkan.

Dalam pemikiran realis politik abad-16, Niccolò Machiavelli, seorang pangeran (il Principe) atau penguasa perlu menggunakan virtù-nya untuk memperoleh kekuasaan, dan mengetahui bagaimana cara paling efektif dalam mempertahankannya – meskipun itu berarti harus memelintir agama, moralitas, atau bahkan menggunakan cara-cara represif sebagai instrumennya.

Bagi Machiavelli, yang terpenting bukanlah kualitas pribadi sang penguasa – meski jika memiliki keutamaan kualitas pribadi akan menjadi nilai lebih – melainkan bagaimana cara penguasa “menampakkan dirinya” (Machiavelli 1961: 101).

Pemikiran Machiavelli tersebut masih selalu relevan dengan keadaan dewasa ini. Dalam pemikiran kontemporer, Jean Baudrillard mengajukan konsep tentang simulacrum, yakni citraan-citraan (images) yang dianggap sebagai realitas, meski tidak memiliki acuan pada realitas itu sendiri. Dalam simulacrum, yang dipentingkan dalam pencitraan adalah citraan itu sendiri, kemasan, kulit, bungkus, atau medium pesannya, sedangkan isi pesan dikaburkan, digelapkan, dibelokkan, ditutupi secara luar biasa atau bahkan diabaikan (Baudrillard 1983: 32).

Dengan demikian, makna kata “pencitraan” seolah menjadi identik dengan “rekayasa” (manipulation) atau “pengaburan” (obscurity).

Lalu apa bahayanya pencitraan politik? Pencitraan figur justru memperlihatkan aspek ketokohan yang lemah karena proses ini berbasis pada manipulasi, pengaburan, maupun pengindah-indahan.

Para politikus citraan ini jelas-jelas tidak memperjuangkan ideologi politik, program, ataupun manifesto politik yang kuat, melainkan sibuk bersolek dan memperindah apa yang nampak atau ingin ditampakkan belaka dengan sengaja, dan membuat sisanya terbengkalai. Nahkoda yang lemah akan selalu membawa kapal seisinya karam.

Namun perlu diingat, “citra” sendiri merupakan istilah yang – dalam bahasa yang kurang memadai – “netral”. “Pencitraan” mendapat makna peyoratif karena ada unsur “kesengajaan”, “keaktifan”, “kesinambungan”, “dilakukan dengan siasat, strategi, dan taktik tertentu”, “dilakukan untuk maksud dan tujuan tertentu”, dan mungkin pula mengandung aspek-aspek yang tidak dapat diterima oleh nalar waras dan moral yang sehat.

Kita mempermasalahkan “pencitraan” karena kesenjangan antara apa yang ditampakkan dan apa yang sebenarnya terjadi (atau tidak terjadi). Kita mempermasalahkan kucing yang kita beli secara karungan.