Logika Konsumsi sebagai “Moralitas” Baru

Aditya Permana,
Dosen Filsafat Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara

 

Georg Simmel, sosiolog-filsuf-kritikus sosial dari Jerman (1858 – 1918) pernah mencetuskan teori bahwa konsumsi menjadi sarana untuk mengartikulasikan rasa identitas dan perbedaan. Identitas ini diperoleh melalui pengejaran tanda-tanda status, fashion, penanda-penanda eksentrisitas atau keunikan individual. Konsumsi semacam ini tidak bertujuan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan (pemenuhan nilai-guna), melainkan untuk menegaskan perbedaan, yang membuat seseorang jadi menonjol (Storey 2003: 148). Dalam pembacaan Holt dan Sears, bagi Simmel konsumsi berada di jantung proses pemberadaban atau pembudayaan (cultivation). Konsumsi menyediakan apa yang disebut sebagai tempat pembudayaan, kunci interaksi antara subjek-objek (Holt dan Sears, 1994). Teori yang umurnya hampir seabad ini ternyata masih cukup relevan dengan keadaan dewasa ini.

Konsumsi menyediakan forum vital untuk interaksi pemberadaban (civilization) atau pembudayaan (cultivation) ini. Konsumsi menjadikan masyarakat mengerti, terilhami, dan bertindak melalui objek-objek yang mereka hadapi di dunia. Konsumsi diklaim menyediakan kesempatan bagi individu untuk memperhalus budi karena konsumsi menyadarkan individu sebagai mahluk unik dan sebagai anggota masyarakat yang beradab. Dari perspektif ini, konsumsi tidak berbeda dengan suatu bentuk aktivitas moral, apabila dilihat dari ideal- ideal yang normatif dari suatu proses pembudayaan individu agar individu dipandang sebagai personalitas yang unik sekaligus memiliki kontribusi untuk memberadabkan (civilize) masyarakat (Holt dan Sears, 1994). Singkatnya, kita dianggap menjadi manusia beradab jika berpartisipasi aktif dalam tindakan membeli, dan terus-menerus membeli, komoditi.

workbuyconsumedie

Konsumsi dalam konteks disposisi sosial merupakan cara khas fraksi-fraksi kelas mendiferensiasi diri satu sama lain dan mempertahankan superioritas statusnya. Konsumsi menjadi bagian dari politik kelas untuk memantapkan dominasi dan melestarikannya. Konsumsi berguna untuk mempertahankan sekaligus mereproduksi praktik kebudayaan kelas-kelas tertentu (Fashri 2007: xv-xvi). Dalam masyarakat konsumeristik, objek-objek konsumsi memiliki peran sebagai bentuk ekspresi diri atau eksternalisasi identitas sekaligus wahana internalisasi nilai- nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya (Piliang 2003: 147-148).