Melawan Bullying Perusahaan Multinasional?

Dayu Nirma Amurwanti
Pengajar Ekonomi Politik Internasional, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Indonesia berencana untuk mengakhiri dan menegosiasikan ulang 60 perjanjian investasi bilateral yang ditandatanganinya, diawali dengan perjanjian bilateral dengan Belanda yang masa berlakunya berakhir pada bulan Juni 2015. Banyak pihak yang mengaitkan rencana pemerintah ini sebagai reaksi atas tuntutan perusahaan pertambangan yang berkantor pusat di Inggris, Churchill Mining, di International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang berpotensi menghasilkan kerugian lebih dari 1 milyar dollar Amerika Serikat.

Pengakhiran atau pembatalan perjanjian investasi bilateral akan berakibat hilangnya hak istimewa yang diperoleh dari perjanjian tersebut, di antaranya adalah hak untuk menempuh jalur arbitrase internasional untuk menyelesaikan sengketa investasi tanpa menempuh jalur pengadilan di Indonesia. Rencana ini telah menuai penolakan keras dari berbagai negara, lembaga internasional dan kalangan dunia usaha. Kepercayaan terhadap kepastian hukum dalam perlindungan investor di Indonesia akan terkikis. Langkah ini dinilai terlalu berani, atau bahkan dianggap terlalu gegabah, dan mengandung risiko besar.

Namun, apakah langkah tersebut benar-benar memang sebuah langkah gegabah yang harus dicegah? Tulisan ini akan membahas hal tersebut dengan menelisik alasan di balik rencana tersebut dan apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko negatifnya.

 

Mengakhiri perjanjian investasi bilateral adalah menghapuskan hak istimewa perusahaan multinasional dari negara-negara tertentu.

Prinsip utama dalam perlindungan investasi asing adalah perlakuan yang sifatnya non diskriminatif (non-discriminatory), yaitu bahwa hak dan kewajiban berdasarkan hukum berlaku sama dengan tidak membedakan asal negara suatu penanam modal. Di Amerika Serikat prinsip ini dikenal sebagai “fair and equitable treatment” atau perlakuan yang sama dan adil. Undang Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan “perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara”, namun “tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasar perjanjian dengan Indonesia. ”Sebagian perjanjian investasi bilateral memuat pasal yang memungkinkan penanam modal untuk langsung menempuh jalur arbitrase internasional jika bersengketa dengan pemerintah Indonesia.

Jika dilihat dari konteks sejarah penandatanganan perjanjian bilateral lebih dari 15 tahun yang lalu, Indonesia memiliki posisi tawar yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan multinasional yang kepentingannya dijaga oleh negara yang menandatangani perjanjian investasi tersebut. Kebutuhan akan investasi asing untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi sangat besar pada saat itu, dan Indonesia sangat tergantung pada aliran penanaman modal asing. Kondisi ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional yang memilih untuk mengabaikan hukum investasi nasional Indonesia. Kontrak perjanjian penanaman modal dapat disusun dengan mengikuti sistem hukum negara asal perusahaan multinasional. Kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingan perusahaan multinasional digugat dan mereka berupaya mendapatkan kompensasi atas kerugian melalui arbitrase asing.

Jika suatu perusahaan multinasional yang berpengaruh memutuskan untuk menggugat Indonesia melalui arbitrase asing atau forum penyelesaian sengketa internasional, peluang Indonesia untuk menang sangatlah kecil.

Kemenangan melalui jalur arbitrase asing atau forum penyelesaian sengketa internasional seperti ICSID memerlukan biaya, pengalaman, dan pengetahuan tentang sistem hukum civil law. Hal ini membuat peluang Indonesia untuk menang sangatlah kecil.

Alasan pertama adalah bahwa biaya untuk membayar proses hukum tersebut (legal fees) sangatlah mahal. Menurut estimasi United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), rata-rata biaya arbitrase per perkara adalah 8 juta dollar dan 82% dari biaya tersebut digunakan untuk membayar legal fees.

Dari sisi kapasitas, pemerintah Indonesia tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai terkait sudut pandang hukum kontraktual civil law yang meningkatkan kesulitan untuk memenangkan perkara. Sejak tahun 1984, Indonesia telah beberapa kali digugat di beberapa lembaga arbitrase internasional, sebagian besar di antaranya berujung pada kekalahan.

Pada tahun 1984, Indonesia kalah dalam arbitrase ICSID dan harus membayar kompensasi sebesar 3.2 juta dollar Amerika Serikat atas akuisisi pengelolaan Hotel Kartika Plaza. Pada tahun 2005 Indonesia diharuskan membayar 50 juta dollar Amerika Serikat kepada Karaha Bodas Company atas penangguhan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi pada tahun 1997 akibat krisis moneter. Selain itu, setelah kebijakan bailout untuk menyelamatkan Bank Century, salah satu penanam modal – Rafat Ali Rizvi – menggugat Pemerintah Indonesia atas akusisisi asset milik Bank tersebut melalui forum ICSID. Jika Indonesia kalah kembali dalam gugatan terhadap pembatalan konsesi tambang akibat adanya pemalsuan dokumen oleh mitra Churcill Mining di Kutai Timur, Indonesia diharuskan membayar kerugian lebih dari 1 juta dollar Amerika Serikat!

Terlepas dari perdebatan mengenai benar tidaknya kebijakan pemerintah untuk menjanjikan perjanjian bilateral tersebut, pengalaman-pengalaman kekalahan tersebut menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam hubunganantara Indonesia dengan penanam modal asing yang memiliki hak-hak istimewa.

Perjanjian investasi bilateral mengurangi makna“the right to regulate”

Setiap negara memiliki hak yang berdaulat (sovereign right) untuk mengatur kondisi operasional investasi asing berdasarkan kepentingan negaranya. Adanya perjanjian investasi bilateral memungkinkan adanya ‘hak istimewa’ bagi beberapa perusahaan multinasional untuk mendapatkan perlakuan khusus yang akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintah Indonesia dan memberi kesempatan mereka untuk lepas dari hak kedaulatan negara tempatnya beroperasi.

Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengalami upaya ‘bullying’ oleh perusahaan multinasional raksasa yang menggugat kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingan usahanya. Australia, misalnya, menghadapi tuntutan dari Philip Morris asal Amerika Serikat akibat kebijakan kemasan rokok yang dikenakan oleh pemerintah. Pemerintah Jerman juga menghadapi gugatan dari Vatenfall, perusahaan nuklir Swedia, akibat keputusannya untuk menutup pembangkit tenaga nuklirnya setelah terjadinya bencana nuklir di Fukushima pada tahun 2012. Hak pemerintah untuk mengatur negaranya demi kepentingan masyarakatnya senantiasa diuji oleh perusahaan multinasional melalui gugatan-gugatan tersebut.

 

Posisi tawar yang lebih baik adalah momentum untuk menegosiasikan ulang kesepakatan investasi dengan negara lain

Dengan adanya perubahan situasi sejak 15 tahun yang lalu, sudah saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk menegosiasikan ulang beberapa pasal dalam perjanjian investasi bilateral yang berpotensi merugikan bagi Indonesia. Posisi tawar Indonesia kini jauh lebih baik. Indonesia memiliki sumber daya alam (terutama tambang dan mineral) yang penting, memiliki kekuatan angkatan kerja (demographic dividend) yang produktif, dan memiliki potensi pasar yang sangat besar.

Dengan peningkatan jumlah penduduk kelas ekonomi menengah sebesar 20% per tahun yang berpenghasilan lebih dari 3,000 dollar Amerika Serikat setiap tahunnya, Indonesia adalah pasar yang besar bagi produk perusahaan multinasional. Pada tahun 2014, diperkirakan jumlah penduduk kelas menengah Indonesia sebesar 150 juta orang, angka ini mengalami kenaikan pesat dari tahun 2011 yaitu 50 juta orang. Target pasar di Indonesia menjadi semakin penting seiring melambatnya pemulihan ekonomi negara-negara maju sejak krisis finansial tahun 2008.

Dengan duduknya Indonesia dalam forum G20, Indonesia kini sudah diakui menjadi salah satu negara yang menentukan peta kebijakan ekonomi dunia. Perjanjian dan hukum internasional memang ditentukan oleh peta kekuatan para pihak yang menyusunnya, namun peta kekuatan ini juga dapat berubah dengan adanya perubahan di dalam distribusi kekuatan (power distribution) (William, 2010).Dengan demikian, inilah saatnya untuk menegakkan hak Indonesia. Inilah saatnya untuk menerapkan aturan investasi menurut hukum Indonesia.
Indonesia bukan negara pertama yang membatalkan dan menegosiasikan ulang perjanjian investasi bilateralnya

Sejak tahun 2010, parlemen dan pemerintah Afrika Selatan memutuskan untuk mengkaji ulang semua perjanjian investasi bilateral yang ditandatanganinya untuk memastikan bahwa isi perjanjian mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban penanam modal. Afrika Selatan membatalkan perjanjian investasi bilateralnya dengan Uni Eropa karena merasa tidak mendapatkan akses untuk memasarkan produk pertaniannya, sementara negara-negara Uni Eropa menuntut liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang lebih luas.

Seiring dengan semakin kuatnya daya tawar negara berkembang, negara-negara ini mulai berani mempertanyakan forum penyelesaian sengketa internasional yang dianggap berat sebelah dan menghapuskan mekanisme arbitrase internasional dari isi perjanjian. India dan Brazil menolak untuk memungkinkan penanam modal untuk menempuh jalur arbitrase internasional sebagai mekanisme penyelesaian sengketa investasi. Australia akan menegosiasikan ulang perjanjian bilateralnya untuk menghapus klausul terkait arbitrase internasional. Bahkan, Venezuela memutuskan untuk menarik diri dari Konvensi ICSID.

Menurut UNCTAD, semakin banyak negara yang meninggalkan mekanisme perjanjian investasi bilateral. Selain itu, terdapat juga penurunan jumlah perjanjian investasi bilateral yang ditandatangani. UNCTAD menjelaskan bahwa hal ini disebabkan karena adanya pergeseran tren dari perjanjian bilateral menuju perjanjian regional serta karena isi dari perjanjian bilateral dianggap menciptakan ketidakseimbangan posisi tawar dalam negosiasi perjanjian.
Upaya untuk mengembalikan kepercayaan investor diperlukan pasca pengakhiran perjanjian investasi bilateral

Pengakhiran atau pembatalan perjanjian investasi bilateral bukan berarti bahwa perlindungan terhadap investor asing ditiadakan. Di Amerika Serikat, misalnya, ditegaskan bahwa perlindungan terhadap investor asing diberikan berdasarkan hukum kebiasaan internasional (international customary law) dengan atau tanpa perjanjian bilateral. Pihak Pemerintah Afrika Selatan menegaskan bahwa undang undang penanaman modal di Afrika Selatan sudah memberikan perlindungan terhadap upaya nasionalisasi atau ekspropriasi yang sewenang-wenang, misalnya, dan telah mengatur hak dan kewajiban penanam modal.

Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia juga dapat dijadikan payung perlindungan hukum para penanam modal. Meski demikian, pemerintah Indonesia tidak dapat mengabaikan kekhawatiran penanam modal asing terhadap masalah kepastian hukum dan kredibilitas lembaga peradilan. Sebelum pengakhiran perjanjian investasi bilateral, Indonesia menduduki urutan sebagai eksportir batubara dan tembaga terbesar di dunia, namun menurut Fraser Institute’s Mining Policy Potential Index tahun 2013, Indonesia dianggap sebagai salah satu negara terburuk dalam hal iklim investasi di bidang pertambangan. Dengan demikian, reformasi di bidang peradilan (judicial reform) harus diprioritaskan karena kepercayaan terhadap peradilan Indonesia akan menjadi kunci kredibilitas sistem penyelesaian sengketa menurut hukum Indonesia.

Pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya intensif untuk merubah persepsi terhadap iklim investasi dan kepastian hukum di Indonesia 

Perusahaan tambang multinasional memiliki akses terhadap media internasional yang jauh lebih baik dibandingkan Pemerintah Indonesia. Sementara itu, persepsi investor asing sangat dipengaruhi apa yang diberitakan oleh media seperti Financial Times, the Economist, Wall Street Journal, dan lain sebagainya. Kekhawatiran para penanam modal akan adanya kebijakan yang nasionalis dapat ditepis dengan upaya komunikasi dan strategi media yang lebih baik. Berbagai forum internasional dapat digunakan oleh Indonesia bersama negara lain seperti Brazil, India, dan Afrika Selatan untuk secara kolektif menegaskan rights to regulate demi kepentingan umum dan untuk melawan upaya adu kekuatan (bullying) oleh perusahaan multinasional raksasa.

Disclaimer: analisa dalam tulisan ini mencerminkan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat lembaga tempat penulis bekerja.

Versi perdana artikel ini diterbitkan di selasar.com