“Iran Bikin Nuklir”: Problematik
Salah seorang Faculty Member Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara , Mutti Anggitta, memublikasikan artikelnya tentang pentingnya penggunaan pilihan kata bagi para akademisi terutama saat memberikan pendapat seputar isu senjata nuklir. Di bawah ini adalah artikelnya.
“Iran Bikin Nuklir”: Problematik
‘Iran bikin nuklir’ dan ‘Kalau Iran bikin nuklir, Saudi juga akan bikin nuklir’ adalah dua contoh kalimat problematik yang makin kerap terdengar sejak awal periode implementasi kesepakatan nuklir antara Iran dan E3/EU+3, yakni Inggris Raya, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok (yang juga dikenal dengan P5+1) plus Uni Eropa pada 16 Januari 2016. Hal yang cukup mengejutkan dan disayangkan adalah kalimat-kalimat problematik tersebut tidak jarang terdengar di lingkaran akademisi. Para akademisi, terutama di bidang ilmu Hubungan Internasional dan studi kawasan Timur Tengah perlu mempunyai pengetahuan dasar mengenai apa itu senjata nuklir dan bagaimana cara membuatnya. Jika akademisi gagal paham mengenai aspek teknis dasar tersebut, lalu terlanjur menghangatkan perdebatan mengenai isu nuklir di Iran ataupun negara lain, kemungkinan besar yang terjadi adalah terbentuknya analisa yang keliru atau bahkan lahirnya rekomendasi kebijakan yang tidak tepat.
Tulisan ini bertujuan untuk mengingatkan pentingnya penggunaan pilihan kata bagi para akademisi terutama saat memberikan pendapat seputar isu senjata nuklir. Tentunya, senjata ini juga bertujuan untuk memberikan penjelasan mengapa kalimat seperti ‘Iran bikin nuklir’ dan ‘Kalau Iran bikin nuklir, Saudi juga akan bikin nuklir’ adalah kalimat yang problematik dalam berbagai aspek. Di bawah ini adalah penjelasannya.
‘Iran Bikin Nuklir’
‘Iran bikin nuklir’ bermakna ambigu, jika tidak ingin dikatakan tak jelas sama sekali. Apakah yang dimaksud dengan ‘membuat pembangkit listrik tenaga nuklir’, atau ‘membuat senjata nuklir’, yang sering juga disebut dengan bom atom? Pemerintah Iran berulang kali menyatakan secara resmi bahwa program nuklir di negaranya adalah untuk tujuan damai, yakni untuk pembangkit tenaga listrik. Meski berulang kali juga dituding oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya bahwa Iran telah sembunyi-sembunyi mengembangkan senjata nuklir, laporan akhir penyelidikan yang dikeluarkan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) pada 2 December 2015 (GOV/2015/68) mengkonfirmasi bahwa tuduhan negara-negara tersebut terbukti salah. Laporan tersebut menggarisbawahi bahwa tidak ada indikasi yang menunjukkan Iran telah melakukan penyimpangan dengan menggunakan bahan nuklir dari program pembangkit tenaga listriknya untuk mengembangkan senjata nuklir.
Selain itu, paranoia bahwa kesepakatan nuklir antara Iran dan E3/EU+3 akan membantu Iran makin cepat berhasil mengembangkan senjata nuklir sungguh tidak beralasan. Kesepakatan nuklir tersebut justru akan menghalangi Iran dari pembuatan senjata nuklir. Sebelum kesepakatan nuklir tersebut dicapai, Iran sudah hampir berhasil mengumpulkan fissile material yang dibutuhkan untuk membuat sebuah bom nuklir. Fissile material adalah weapon-grade plutonium isotop 239 (Pu 239) dan weapon-grade uranium isotop 235 (U235). Sebelum kesepakatan nuklir tersebut dicapai, Iran bahkan sudah berhasil melakukan pengayaan U235 hingga 19,5%. Angka ini memang masih jauh dari angka ideal untuk membuat sebuah bom nuklir, yakni 90%, atau banyak juga ahli nuklir yang mengatakan 80% sudah cukup seperti Little Boy yang diledakkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Sayangnya, pekerjaan paling sulit dan beratnya adalah melakukan penganyaan U235 hingga 5% pertama saja. Setelah melewati angka ini, apalagi jika sudah di tingkat 19,5%, banyak ahli nuklir yang berpendapat bahwa hanya dibutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan saja untuk Iran mendapatkan bahan nuklir yang dibutuhkan untuk membuat sebuah bom. Untungnya, Iran menyetujui kesepakatan nuklir tersebut.
Lalu, apa isi kesepakatan nuklir tersebut yang membuat ‘Iran bikin nuklir’ juga terdengar lucu? Pada intinya, kesepakatan tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa program nuklir yang dimiliki Iran hanya dapat digunakan untuk keperluan damai (pembangkit listrik), bukan untuk tujuan militer (membuat bom nuklir). Sebagai gantinya, berbagai sanksi atas Iran oleh AS, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan diangkat. Aset Iran yang dibekukan berjumlah sekitar 100 miliar dolar AS di berbagai institusi keuangan Barat pun akan dicairkan.
Kesepakatan yang berisi 159 halaman tersebut memblok jalan Iran menuju bom nuklir, baik dari jalur uranium maupun jalur plutonium. Di kesepakatan tersebut, Iran setuju untuk membatasi penganyaan uranium hanya hingga 3,67%. Angka ini atau hingga 5% adalah angka yang cukup untuk pembangkit tenaga listrik. Iran juga setuju untuk mendesain ulang reaktor Arak agar tidak dapat lagi memproduksi weapon-grade plutonium. Tanpa weapon-grade uranium atau weapon-grade plutonium, mustahil Iran atau negara manapun untuk dapat membuat sebuah bom nuklir.
“Tanpa weapon-grade uranium atau weapon-grade plutonium, mustahil Iran atau negara manapun untuk dapat membuat sebuah bom nuklir.”
Jikalau Iran berniat sembunyi-sembunyi memproduksi kedua bahan tersebut, dunia akan segera mengetahuinya dan, sesuai dengan isi kesepakatan tersebut, sanksi yang sudah diangkat dapat segera dijatuhkan kembali atas Iran, bahkan tidak menutup kemungkinan akan ada aksi militer dari AS dan sekutunya. Hal ini karena mekanisme pemantauan dan verifikasi di bawah kesepakatan nuklir tersebut sangat intensif, intrusif, dan komprehensif.
Pada kesepakatan tersebut, IAEA tidak hanya akan mendapat akses ke declared nuclear facilities, tetapi juga ke seluruh undeclarednuclear facilities di Iran. IAEA sudah sangat berpengalaman dalam melaksanakan pemantauan dan verifikasi bidang ini. Sebelumnya, IAEA telah melaksanaan pekerjaan serupa dengan sukses di Irak, Libya, dan Afrika Selatan. Singkatnya, meski tidak ada yang tidak mungkin, kecil sekali kemungkinan Iran untuk tidak ketahuan sembunyi-sembunyi mengembangkan senjata nuklir. Para ahli nuklir dan politikus Iran adalah orang-orang yang cerdas dan paham akan hal ini. Oleh karena itu, sangat kecil pula kemungkinan bagi mereka melakukan hal yang ceroboh, seperti sembunyi-sembunyi, untuk mengembangkan senjata nuklir.
‘Kalau Iran bikin nuklir, Saudi juga akan bikin nuklir’
Mari kita berlanjut ke kalimat problematik yang lainnya, ‘Kalau Iran bikin nuklir, Saudi juga akan bikin nuklir’. Negara tersebut memang berambisi membangun 16 pembangkit listrik tenaga nuklir dalam 20 tahun dengan budget 80 miliar Dolar AS, dengan target reaktor pertama siap beroperasi pada tahun 2022. Tetapi, pada kenyataannya, kapabilitas nuklir negara tersebut masih sangat terbatas, baik dari segi bahan material nuklir, teknologi nuklir, dan tenaga ahli nuklir yang dimilikinya. Saat ini saja, negara tersebut tidak punya reaktor nuklir untuk keperluan riset. Jika dibandingkan dengan Indonesia, dalam hal kemampun program nuklir, negara kita jauh lebih maju dari Arab Saudi. Meski punya budget yang sangat besar, perjalanan Arab Saudi masih jauh dari mampu memproduksi bahan nuklir yang dibutuhkan untuk membuat sebuah senjata nuklir.
Selain itu, Arab Saudi telah menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Nuklir pada tahun 1988, yang artinya negara tersebut secara resmi setuju untuk melepaskan haknya untuk membuat senjata nuklir ataupun menerima bantuan dari negara lain untuk membuat senjata nuklir. Sejak tahun 1999, Arab Saudi juga secara konsisten mendukung pembentukan zona bebas senjata pemusnah massal di Timur Tengah yang hingga saat ini belum terbentuk karena berbagai hambatan politik yang menghadang di kawasan tersebut. Arab Saudi juga telah menandatangani Comprehensive Safeguards Agreement dengan IAEA pada tahun 2005 dan telah mengimplementasikannya sejak tahun 2009. Pada intinya, kesepakatan tersebut mewajibkan Arab Saudi untuk memastikan dan melaporkan aktivitas program nuklir yang dimilikinya sesuai dengan aturan internasional untuk kepentingan damai, seperti riset bidang pertanian, kesehatan, pertambangan, dan energi, bukan untuk kepentingan militer.
Seandainya pun Iran berhasil dengan sembunyi-sembunyi membuat sebuah senjata nuklir, tidak serta merta Saudi Arabia atau tetangga Iran lainnya (seperti Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Oman) yang juga sempat tidak menyambut baik kesepakatan nuklir antara Iran dan E3/EU+3 tersebut akan membuat senjata nuklir juga. Efek domino tidak terjadi semudah itu, apalagi dalam hal kepemilikan senjata nuklir. Hal ini bukan hanya karena senjata ini sangat mahal dan sangat sulit untuk dibuat, tetapi juga karena adanya hambatan politik yang besar. Rezim nonproliferasi sudah sangat kuat mengakar, baik di level internasional maupun di level regional. Negara P5 (AS, Inggris Raya, Perancis, Rusia, dan Tiongkok) sebagai pihak satu-satunya yang diakui secara legal mempunyai senjata nuklir menurut Perjanjian Nonproliferasi Nuklir tentu tidak akan senang dengan bertambahnya negara dengan senjata nuklir. P5 saja sudah kesulitan memanggil India, Pakistan, dan Israel untuk menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Nuklir sejak tahun 1970-an serta memanggil Korea Utara untuk kembali ke rezim tersebut sejak keluar pada tahun 2003.
Pertambahan negara dengan senjata nuklir menunjukkan rezim nonproliferasi nuklir bersifat lemah. Akan tetapi, realita berkata lain. Sejarah menunjukkan bahwa sejak teknologi nuklir berkembang pada tahun 1940-an hingga 2016 kini, hanya ada total 9 negara tersebut yang mempunyai senjata nuklir (catatan: Afrika Selatan sempat memiliki 6 bom nuklir, namun dengan sukarela menghancurkannya pada tahun 1994). Hal ini membuktikan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keputusan suatu negara untuk membuat atau tidak membuat senjata nuklir.
Dua faktor yang utama adalah faktor teknis dan politis. Faktor pertama ini meliputi bahan material nuklir, teknologi, dan tenaga ahli. Sementara itu, faktor kedua, politis, meliputi budget, kondisi geopolitik, dan rezim nonproliferasi nuklir. Jadi, seseorang perlu mempertimbangkan setidaknya kedua faktor tersebut sebelum berargumen atau melakukan analisa, apalagi membuat rekomendasi kebijakan terkait isu senjata nuklir.
________
Mutti Anggitta, Faculty Member, Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara.
***
sumber: https://www.selasar.com/sainstek/iran-bikin-nuklir-problematik