Scopus, Kapitalisme dan Guru Besar

Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta N. Mursitama, Ph.D, memublikasikan artikelnya berjudul “Scopus, Kapitalisme dan Guru Besar”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Scopus, Kapitalisme dan Guru Besar

Perdebatan bahwa penerbitan artikel ilmiah pada jurnal yang terindeks di database Scopus menjadi salah satu syarat pengajuan guru besar tak kunjung padam.

Bahkan, berkembang menjadi kontroversi yang bisa mengarah pada hal yang kontraproduktif dan tidak perlu. Satu sisi, Kemristekdikti menetapkan persyaratan ini sebagai upaya mengerek lebih tinggi kualitas ilmu pengetahuan Indonesia di kancah global. Semakin banyak artikel ilmiah para ilmuwan Indonesia terindeks pada database Scopus (dan lainnya), semakin besar kontribusi ilmuwan Indonesia dan kemungkinan ilmuwan Indonesia dikenal di dunia semakin luas.

Akhirnya, kemungkinan Indonesia masuk dalam radar persilatan akademik global semakin besar. Kontroversi ini paling tidak dapat dilihat dari dua hal yang berbeda, namun saling berkaitan. Pertama, Scopus (dan indexingdatabase lainnya: WoS, ISI, SSCI Thomson-Reuters) merupakan upaya indexing/ kodifikasi knowledge yang dilakukan oleh penerbit besar dan terkemuka dunia dalam bisnis pengetahuan/akademik global.

Secara reputasi mereka sudah tumbuh berkembang dan diakui dalam komunitas epistemik dunia. Namun, upaya tersebut memang tidak terlepas dari sebuah bagian dari bisnis yang berujung memupuk keuntungan (profit) yang kadang menafikan unsur keadilan dan kesetaraan antara pemilik modal (penerbit) dan akademia sebagai produsen knowledge sekaligus konsumen.

Logika kapitalisme tidak bisa dihindarkan di sini. Apalagi bila dilihat dari sisi hak cipta yang mengharuskan penulis memindahkan haknya ke penerbit. Hal ini terlihat tidak adil. Tetapi, apa kuasa dari penulis karena bila tidak mau menandatangani itu, artikelnya tidak akan diterbitkan. Mungkin aspek ini yang harus dilawan. Bahwasanya ada penerbit/ jurnal yang lebih kecil dan independen yang mungkin kualitasnya di bawah standar, harus diakui kemungkinan itu ada.

Mereka juga terindeks Scopus . Namun, sebagian besar penerbit ternama (Elsevier, Springer, Palgrave, Taylor-Francis, Brill, Inderscience, dan sebagainya) kualitas mereka bagus. Tetapi, mereka menutup akses pengunduhan artikel secara gratis dan mengharuskan konsumen berlangganan dengan biaya besar. Konsumen bisa juga membeli single copy yang biasanya cukup mahal.

Belakangan mereka juga menerbitkan open access dengan harga premium. Nah, sekarang kita mau bagaimana? Maukah kita mengakui sistem publikasi dalam reproduksi pengetahuan ala penerbit besar seperti di atas atau tidak? Kalau mengakui, suka tidak suka ikut sistem tersebut.

Bila tidak mengakui, solusi hanya satu: membuat sistem sendiri sebagai tandingan sehingga bisa menyaingi reputasi mereka. Dengan demikian, (lambat laun) akademia akan memilih sistem baru tersebut dan bila sukses, akhirnya akan menjadi standar.

Kualitas

Kedua, kita harus pisahkan antara argumentasi bahwa karier akademisi ditentukan oleh sistem kapitalisme industri penerbitan dunia (baca: syarat publikasi di Scopus) dengan kualitas sebagai akademia. Jangan sampai kita terjebak pada apologi atas ketidakmampuan kalangan akademia dengan menyalahkan narasi besar sistem kapitalisme industri penerbitan dunia.

Para ilmuwan Indonesia tidak demikian. Banyak akademia Indonesia dari berbagai disiplin ilmu yang mampu menerbitkan karya-karya di jurnal-jurnal bagus dunia (baca: terindeks Scopus , WoS, ISI, SSCI, dan sebagainya). Argumentasi ini bukan bermaksud membela penerbit besar dan memuja kapitalisme di dunia penerbitan jurnal, melainkan lebih pada upaya mendudukkan persoalannya secara lebih jelas.

Apakah ini soal copyrights saja, kualitas akademia atau narasi besar sistem kapitalisme dunia yang sedang menjadi arus utama saat ini yang mau dilawan dengan narasi baru? Perlu dilakukan perenungan bersama secara lebih jernih. Apakah inti persoalannya? Apakah tujuan dari perjuangan akademia? Apa pilihan strategi yang ada? Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah pendekatan pragmatik dan strategis.

Ukur diri kita. Pilihan apa yang ada di depan mata yang sesuai dengan kapabilitas kita. Tunjukkan bahwa kita mampu berkontribusi pada ilmu pengetahuan dan kesejahteraan umat manusia, makhluk ciptaan Tuhan YME lainnya, dan dunia seisinya melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Dari dua hal di atas, apakah adil terbitan Scopus menjadi salah satu syarat pengajuan guru besar?

Jawabannya kembali kepada kita masing-masing. Pengakuan jabatan akademik tertinggi (baca: menjadi guru besar) memang tidak ditentukan semata-mata oleh terbit dan tidak artikel kita di jurnal terindeks Scopus . Tapi, bukan berarti indeksasi di Scopus tidak perlu. Bukan berarti juga karya ilmiah yang tidak terindeks Scopus berkualitas buruk.

Kalau ilmuwan Indonesia mampu menunjukkan reputasi yang berkualitas dengan ukuran lain yang sudah diterima oleh komunitas epistemik dan dunia, silakan ditunjukkan. Mari kita usulkan kepada pembuat kebijakan (Kemristekdikti). Jadi, buka dengan menghapuskan syarat terindeks di Scopus tanpa alternatif yang jelas. Memang sistem yang ada selama ini tidak sempurna.

Tapi, perbedaan antara pembuat kebijakan dan ilmuwan murni adalah keberanian memutuskan di antara berbagai pilihan yang sulit. Dalam konteks ini saya angkat topi untuk Kemristekdikti. Kebijakan penetapan syarat terbit di Scopus mungkin pahit sekarang, tapi bisa jadi berbuah manis beberapa tahun ke depan. Mereka juga terus berbenah. Dunia memang tidak selamanya bisa adil dilihat dari kacamata setiap orang.

Namun, bila paling tidak memberikan manfaat untuk sebagian besar orang, sebuah pilihan layak dijatuhkan. Kalau mau berburu binatang di hutan, bukan hutannya yang dibakar, bukan?

Tirta N Mursitama PhD
Guru Besar, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara

***

sumber: http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=0&date=2016-08-27