Indonesia’s Strategic Environment and Nature of Threats
Indonesia menghadapi lingkungan keamanan strategis yang berubah dari masa ke masa. Sejak 2015, politik internasional Asia-Pasifik yang menjadi lingkungan strategis Indonesia semakin menunjukkan dimensi militer yang semakin mengemuka, dengan Tiongkok mengadopsi postur yang semakin tegas dalam kaitannya dengan klaim teritorial di Laut Tiongkok Timur dan Selatan, sementara Amerika Serikat mempertahankan strategi ‘rebalance’ terhadap kawasan ini. Dipengaruhi keprihatinan atas kegiatan Tiongkok dan kemungkinan ambisinya lebih lanjut di Laut Tiongkok Selatan, beberapa negara Asia Tenggara telah semakin meningkatkan upaya pembangunan kekuatan militer mereka. Berbagai latihan militer juga terus dilakukan dalam upaya oleh angkatan bersenjata untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan mereka. Angkatan bersenjata juga dikerahkan secara operasional.
Lingkungan keamanan strategis tersebut menghadirkan karakter ancaman baru terhadap keamanan Indonesia, dengan banyaknya peluang konflik terjadi antara Indonesia dengan negara lain di kawasan. Karakter ancaman yang dihadapi Indonesia pada masa sekarang ini perlu menjadi perhatian agar pembangunan postur TNI sebagai aparat pertahanan negara dapat menyesuaikan dengan ancaman yang riil, sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya pendadakan strategis. Selain itu, Indonesia pun harus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terburuk yang dapat terjadi dari lingkungan strategis baru, yaitu konflik antara Indonesia dengan negara lain yang menjadi ancaman. TNI harus dipersiapkan untuk dapat melindungi Indonesia dari kerusakan akibat konflik tersebut, sementara strategi resolusi konflik dilaksanakan demi mengakhiri konflik berlarut-larut.
Dengan latar belakang permasalahan di atas, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara menyelenggarakan International Relations Lecturer Series (IRLS) ke-34 dengan tema “Indonesia’s Strategic Environment and Nature of Threats” pada Senin, 7 November 2016, pukul 13.00-15.00 di Auditorium Kampus Anggrek Binus. Kegiatan IRLS kali ini menghadirkan pembicara tamu Andi Widjajanto, pengamat masalah pertahanan dan keamanan yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Kabinet dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo dari November 2014 hingga Agustus 2015.
Andi Widjajanto, seorang pemikir Realis dalam Hubungan Internasional, membahas lingkungan strategis Indonesia dengan mendeduksinya dari teori perimbangan kekuatan (balance of power), pengerahan kekuatan (force deployment), revolusi krida yudha (revolution in military affairs [RMA]), dan perdagangan senjata. Menggunakan teori-teori tersebut, Andi menyimpulkan bahwa dalam sistem internasional sekarang terjadi kemunduran hegemoni Amerika Serikat, bangkitnya kompetisi strategis Amerika Serikat-Tiongkok-India, dan kemungkinan sistem internasional menjadi multipolar pada 2050.
Kemunduran hegemoni Amerika Serikat terjadi bersamaan dengan bangkitnya Tiongkok. Dari segi belanja pertahanan, kekuatan angkatan laut, dan indikator kekuatan lainnya, Tiongkok diprediksi akan melampaui Amerika Serikat pada 2030 atau 2040. Angkatan laut Tiongkok telah memiliki kemampuan dan doktrin blue-water navy, atau kekuatan maritim yang mampu beroperasi secara global di perairan dalam lautan terbuka, seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, dan India. Tiongkok juga telah memiliki perencanaan matang terkait arah pengerahan kekuatannya, yang tampak dalam inisiatif Belt and Road.
Menurut Andi, jika terdapat pola-pola permusuhan, kemudian kenaikan kekuatan suatu negara, disusul dengan ekspansi teritorial, dapat terjadi perang di kawasan. Selain itu, rasio kekuatan antarnegara (force-to-force ratio), kemudian modernisasi militer yang melibatkan sistem senjata ofensif dan pengerahan kekuatan yang provokatif, disusul dengan dilema keamanan antarnegara, dapat menyebabkan peningkatan senjata (arms build-up), kemudian perlombaan senjata (arms race), hingga terjadi perang di kawasan.
Di level negara, kecenderungan berperang suatu negara dapat dilihat dari berbagai indikator, seperti persepsi terhadap balance of power, pola hubungan terhadap negara-negara lain di kawasan (regional complex), ideologi politik, organisasi militer, anggaran pertahanan, kompleks militer–industri, hingga proporsi anggaran pertahanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Andi lalu memaparkan skenario yang akan terjadi di masa depan. Menurutnya, setelah terjadi kemunduran hegemoni Amerika Serikat, akan bangkit hegemoni Tiongkok, disusul kompetisi global Amerika Serikat-Tiongkok, kemudian dunia G-Zero (kekosongan kekuatan dalam politik internasional karena kemunduran pengaruh Barat dan fokus dalam negeri dari pemerintah negara-negara berkembang), hingga terjadi pertarungan regional. Menggunakan metode net assessment, Andi menunjukkan trayektori tiap-tiap skenario.
Dengan lingkungan strategis demikian, Indonesia harus mempersiapkan pertahanannya di masa depan. Indonesia telah melewati tahap konsolidasi demokrasi pada era Reformasi, melalui reformasi militer membentuk tentara profesional. Sekarang, Indonesia sedang melewati tahap ekonomi pertahanan dengan transformasi pertahanan menuju Kekuatan Pokok Minimum (KPM) 2024. Berikutnya, Indonesia akan memasuki tahap teknologi pertahanan dengan inovasi militer menuju kekuatan regional 2045.
Indonesia harus meningkatkan kekuatan angkatan lautnya, dari brown-water navy yang hanya mampu beroperasi di lingkungan pesisir dengan armada kapal patroli cepat dan fregat ringan; menjadi green-water navy yang mampu beroperasi di lautan terbuka daerah sekitarnya dengan armada kapal fregat, korvet, dan kapal selam; hingga menjadi blue-water navy dengan armada kapal destroyer dan kapal selam. Kekuatan blue-water navy membutuhkan komitmen anggaran pertahanan 3,5% PDB pada 2030.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menetapkan doktrin Poros Maritim Dunia dengan salah satu pilarnya adalah pertahanan maritim. Dalam membangun pertahanan maritim, dibutuhkan pertimbangan geomaritim, dinamika senjata angkatan laut, dan rezim keamanan maritim. Indonesia telah mengukuhkan negaranya sebagai negara kepulauan didukung oleh Deklarasi Djuanda, Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, dan konsep Wawasan Nusantara. Indonesia masih membutuhkan arah proyeksi maritim dan lingkup pengaruh maritim yang jelas.
Sesi diskusi dimeriahkan beberapa pertanyaan. Luthfi menanyakan pertimbangan TNI memilih Sukhoi Su-35 sebagai pengganti pesawat F-5E/F Tiger II. Andi memilih tidak menjawab pertanyaan tersebut karena spesifikasi teknis senjata bukan domain sipil, melainkan TNI. Floryan menanyakan tentang kesiapan Indonesia menghadapi perang sumber daya di Asia. Andi menjawab bahwa pada saat uji kelayakan dan kepatutan panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo telah memaparkan kemungkinan perang sumber daya di Asia. Sayangnya, konsep perang hibrid yang digunakan negara-negara Barat untuk tujuan ofensif dalam perang sumber daya digunakan oleh Indonesia untuk tujuan defensif.
Herbert menanyakan lingkungan strategis dalam aspek keamanan siber, yang dijawab Andi bahwa hal ini sudah riil terjadi. Assay mengkritisi apakah bijaksana melakukan bandwagoning dengan Tiongkok sebagai negara dengan kekuatan yang bangkit, yang dijawab Andi bahwa hal tersebut tergantung situasi perang yang terjadi. Penanya terakhir, Sulaiman, mempertanyakan bagaimana jika terjadi perang sebelum skenario perang pada 2050, apakah Indonesia perlu mempertimbangkan penafsiran kembali terhadap kebijakan luar negeri bebas aktif. Andi menjawab bahwa justru kebijakan bebas aktif sangat diperlukan dalam lingkungan strategis abad ke-21 sekarang ini.
Materi paparan Andi Widjajanto dapat diunduh di:
http://binus.ac.id/wp-content/uploads/2016/11/AW-LingStraXXI.pdf
Acara ini diliput oleh BINUSTV Channel di:
Video acara ini dapat dilihat di:
http://binus.ac.id/webinar/video/ Part 1 Part 2 Part 3 Part 4 Part 5 Part 6 Part 7