Kepemimpinan Amerika Serikat

Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta N. Mursitama, Ph.D, memublikasikan artikelnya berjudul “Kepemimpinan Amerika Serikat”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Kepemimpinan Amerika Serikat

Keberhasilan mengapitalisasi persoalan riil domestik AS mungkin merupakan salah satu kunci utama kemenangan Donald Trump ke singgasana Presiden ke-45 AS. Trump memainkan sentimen emosional rakyat AS. Ia mengeksploitasi kecemburuan, kecurigaan, ketidaksukaan terhadap kaum imigran dan memusuhi negara tetangga.

Catatan pentingnya ialah bagaimana menjadi relevan bagi rakyat AS. Itu yang dikampanyekan Trump dan disampaikan dengan tone yang keras, jelas, tegas, bahkan cenderung arogan. Secara nilai, hal itu sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi rakyat AS maupun dengan platform politik Partai Republik yang mengusungnya. Akan tetapi, ternyata, secara kebutuhan riil di lapangan itulah yang dihadapi.

Imbas globalisasi

Sisi gelap globalisasi bisa dijadikan arsenal lain bagi Trump. Di satu sisi, globalisasi menawarkan hilangnya sekat-sekat pembatas dalam berdagang, berinvestasi, dan hubungan ekonomi lainnya. Dengan harapan, penciptaan lapangan kerja dan pasar yang lebih luas bak mantra yang menyihir negara-negara yang memercayai dan menjalankan, termasuk AS.

Di sisi lain, globalisasi menggilas negara yang tidak memiliki daya saing. Tidak peduli ideologi apa yang dijunjung negara itu. Intinya mengedepankan persaingan. Negara yang memiliki daya saing tinggi akan berjaya. AS banyak kehilangan kemampuan bersaingnya dengan munculnya Tiongkok yang mampu menawarkan biaya produksi jauh lebih murah, produksi manufaktur yang sudah semakin baik kualitasnya, serta shipment yang cepat. Hal-hal seperti itu jelas menggerogoti harapan kelas menengah pekerja kulit putih di AS dan jauh dari ketenangan hidup.

Cara mencapai kekuasaan dengan menebar kebencian jelas bukan pilihan yang bijak bagi seorang pemimpin negeri adidaya seperti AS. Sungguh bukan atribut positif yang layak melekat diri seorang presiden AS. Hal itu sangat membahayakan. Apalagi dalam logika politik di mana pun, setelah seorang kandidat mencapai kekuasaannya, dia harus melakukan kompromi yang begitu besar.

Sapu bersih

Partai Republik tidak hanya berhasil mengantar Trump menjadi presiden AS yang belum pernah memiliki pengalaman politik sedikit pun. Republik berhasil menguasai Senat AS dengan 51 kursi yang cukup menjadi mayoritas, sedangkan Demokrat mencapai 48 kursi. DPR AS pun dikuasai Republik dengan 239 kursi, jauh melebihi mayoritas 218 kursi, sedangkan Demokrat hanya 192 kursi.

Sapu bersih ini secara teoretis maupun praktis akan mempermudah Trump menjalankan kebijakannya bila ia serius ingin mengejawantahkan apa yang disampaikan dalam kampanye kepresidenan yang lalu. Janji-janji menjadikan AS kembali hebat dengan menebarkan ancaman dan bibit-bibit kebencian sehingga membakar emosi rakyat dan membelah para pemilih dan menjadikan AS sebagai negara isolasionis (inward looking).

Namun, sepertinya janji-janji masa kampanye tidak akan serius dilaksanakan begitu saja. Pidato kemenangan Trump dengan sangat mengejutkan memberikan tone sangat positif. Ia menunjukkan keinginan merangkul kembali seluruh rakyat AS yang sempat terbelah di masa pemilu presiden. Selain itu, niat untuk bekerja sama dengan negara-negara mitra menggambarkan posisi yang bertolak belakang dari apa yang disampaikan dalam kampanye.

Ditambah lagi, menjadi seorang presiden AS tidak bisa dilepaskan dari birokrasi yang sudah sangat menggurita dengan kompleksitas rantai kepentingannya. Presiden AS harus mempertimbangkan berbagai masukan dari para pembantunya seperti menteri luar negeri, menteri pertahanan, kelompok-kelompok lobi, dan kalangan pers. Belum lagi ia harus mendapatkan persetujuan dari Kongres untuk hal-hal sangat strategis.

Bila melihat hal di atas, kecil kemungkinan Trump akan bertindak serampangan seperti yang ia sampaikan semasa kampanye. Dengan demikian, hal yang menjadi krusial ialah siapa yang akan menjadi para pembantu terdekat Trump sehingga dapat memberikan masukan penting kepada presiden.

Konstelasi global

Secara umum reaksi para pemimpin dunia adalah positif dan menyambut baik kemenangan Trump. Walaupun hal itu terlihat standar ucapan kepada kandidat yang memenangi pemilu, bisa dilihat bahwa dunia memiliki harapan besar terhadap AS. Hal itu sekaligus memperlihatkan posisi AS masih sangat penting dalam konstelasi global.

Bagi Rusia yang belakangan ini memiliki hubungan tidak terlalu baik dengan AS, Putin menyambut baik dan menyampaikan keinginan melanjutkan kerja sama dengan menghilangkan kecurigaan yang terjadi. Walaupun hal itu tidak mudah dicapai, Putin menegaskan selama kepentingan kedua negara terpenuhi, Rusia siap bekerja sama memperbaiki hubungan.

Dari Asia, Presiden Tiongkok Xi Jinping menegaskan Tiongkok siap menjalin hubungan baik dengan mengedepankan prinsip nonkonflik, nonkonfrontasi, saling menghargai, dan saling menguntungkan. Sementara itu, di Eropa, para sekutu AS seperti Inggris pun menyampaikan pesan yang kurang lebih sama. PM Theresa May mengatakan akan mempererat kerja sama dengan AS dari sisi perdagangan, keamanaan, dan pertahanan.

Bila memperhatikan beberapa kekuatan penting di atas, konstelasi global sepertinya akan baik-baik saja. Dalam tataran sekarang ini, skenario yang mungkin bisa terjadi adalah AS semakin dekat dengan Rusia sehingga Rusia dapat menjadikan dirinya faktor penting yang memengaruhi hubungan AS dan Tiongkok. Bagi AS dan Tiongkok, itu bisa menjadi hal yang menguntungkan.

Bagi Tiongkok, bila kedekatan itu terjadi, mungkin akan menjadi hal yang merugikan. Tiongkok tidak terlalu bebas bergerak di Asia karena Rusia akan bisa meminta Tiongkok lebih mengendalikan diri. Akan tetapi, bagi Tiongkok, di sisi lain, bila AS lebih mengisolasi diri dan bersifat inward looking, Tiongkok memiliki kesempatan lebih besar untuk memimpin pertarungan berebut pengaruh dalam perwujudan tata kelola ekonomi global yang baru.

Apalagi bila AS menolak Trans-Pacific Partnership (TPP), Tiongkok lebih leluasa mendorong agenda-agenda dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang memang lebih disukai negara-negara di Asia Tenggara. Bila itu terjadi, akan semakin lengkap Tiongkok menguasai Asia setelah inisiatif Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), rencana One Belt One Road (OBOR), dan internasionalisasi yuan sedang mendapat dukungan dari berbagai negara dan kalangan.

Pendeknya, bila AS bersifat inward looking, itu tidak hanya merugikan domestik AS, tetapi juga mengurangi pengaruh mereka di tata kelola ekonomi global. Itu berarti memberikan kesempatan lebih besar kepada Tiongkok untuk tidak hanya menjadi pemimpin regional Asia, tetapi juga dunia. Bila skenario itu terjadi, membuat AS kembali hebat menjadi pertanyaan besar.

Tirta N. Mursitama

Ketua Departemen Hubungan Internasional Binus University

***

sumber: E-paper Media Indonesia 11 Nov 2016 http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/ halaman 6