Obama dan (Mimpi) Diaspora Indonesia

Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta N. Mursitama, Ph.D, memublikasikan artikelnya berjudul “Obama dan (Mimpi) Diaspora Indonesia”. Di bawah ini adalah artikelnya.

 

Obama dan (Mimpi) Diaspora Indonesia

Bagi bangsa Indonesia keriuhan Idul Fitri 1438H kali ini terasa lebih spesial. Bukan hanya karena ritual keagamaan umat Islam yang dirayakan oleh seluruh bangsa Indonesia dengan berbagai aktivitas dari silaturahmi, mudik Lebaran, hingga liburan keluarga ke berbagai destinasi.

Namun, karena kehadiran Barack Obama ke Indonesia. Presiden Amerika Serikat ke-44 ini berlibur ke Bali, Yogyakarta, Bogor, dan Jakarta. Bersama keluarga, Obama menikmati keindahan alam, menyelami akar peradaban dan budaya nusantara, serta merasakan keramahtamahan bangsa Indonesia. Bahkan, Obama tidak ketinggalan bercengkerama secara informal dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor dan menikmati nuansa alami Kebun Raya Bogor yang indah.

Pada pengujung kunjungan nostalgianya, salah satu momentum yang ditunggu adalah kehadiran Obama memberikan pidato pembukaan Kongres Diaspora Indonesia ke-4 di Jakarta pada 1 Juli 2017. Pidato ini ditunggu oleh sekitar 5000 orang yang terdiri atas diaspora Indonesia dari 27 negara dan berbagai kalangan pejabat nasional dan daerah, pengusaha, akademisi, artis, tokoh masyarakat, pengamat, pers, mahasiswa, dan masyarakat umum. Mereka semua rela mengantre berjam-jam dan memadatiHallKotaKasablanka.

Pidato

Aura sebagai pemimpin negara adikuasa, Amerika Serikat, masih terasa lekat ketika publik menyaksikan Obama di atas mimbar. Sejak salam pembuka dengan sepatah dua patah kata dalam Bahasa Indonesia yang menghangatkansuasana, mimik muka, sorotmatatajam, sikaptubuh, pilihan kata, dan intonasi dalam retorikanya, semua menyatu serta tampak sempurna.

Obama menyihir publik yang tidak hanya duduk menyimak, tetapi sesekali memberikan standing ovation atas pernyataan- pernyataan tajam dan kritis yang dilontarkan. Sementara di sisi kiri dan kanan panggung, hadirin yang tak mendapatkan tempat duduk rela berdiri di sepanjang dinding. Di antara sekian banyak pemikiran dan pernyataan bernas yang Obama sampaikan, terdapat empat hal penting. Pertama, permasalahan toleransi. Penghormatan terhadap pluralisme, hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang memiliki latar belakang sosial budaya dan agama berbeda harus dikedepankan.

Kedua, persoalan akses ke sumber-sumber daya ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan makin menguatnya kapitalisme, sebagian besar kekayaan dunia terpusat pada segelintir orang atau kelompok masyarakat. Akibatnya, muncul semakin besar kelompok yang termarjinalkan. Karena itu, tantangan yang harus dipecahkan adalah bagaimana memastikan kelompok-kelompok tersebut dapat menikmati kehidupan layak dan lebih baik. Ketiga, seiring dengan kecenderungan meningkatnya potensi konflik maupun konflik yang sedang terjadi antarnegara di berbagai kawasan, penggunaan diplomasi sebagai instrumen menyelesaikan masalah sebaiknya diutamakan.

Dengan diplomasi, kemampuan mengartikulasikan kepentingan di antara para pihak yang terlibat dalam konflik dan kesediaan melakukan kompromi menjadi hal penting. Keempat, kemajuan teknologi dan proliferasi penggunaan media sosial melahirkan informasi yang sangat banyak dan beragam harus disikapi secara dewasa.

Teknologi perlu digunakan secara bijaksana. Di sisi lain, karena tak terhindarkan, reaksi manusia atas berbagai informasi yang belum tentu benar (hoax) juga perlu dipikirkan masak-masak. Dalam konteks ini, bagaimana mengembangkan interface antara teknologi dan sikap humanisme yang tepat perlu diinternalisasi ke semua kalangan. Karena itu, perlu menyiapkan digital leader dari kalangan generasi muda. Demokrasi saat ini sebagai pilihan terbaik yang ada walaupun bukan sistem sempurna.

Oleh karena itu, harus disikapi dengan berbagai upaya untuk menambal lubang-lubang yang mungkin timbul sebagai akibat kelemahan demokrasi. Kajian teknologi, demokrasi, dan hubungan internasional, menjadi menarik dan urgen dikembangkan terutama dalam konteks masyarakat kita. Generasi muda harus berani berbicara, menyampaikan aspirasi yang diyakini benar, dan selalu berusaha lebih dari apa yang diharapkan. Mereka tentu tidak bisa bekerja sendirian. Oleh karena itu, kemauan membuka diri dan bekerja sama dengan berbagai kalangan serta bersinergi menjadi sebuah kunci.

Mimpi

Seperti yang disampaikan pendiri Jejaring Diaspora Indonesia, Dr. Dino Patti Djalal dalam sambutan pembukanya, sinergi adalah sebuah hal penting yang selama ini telah menjadi barang langka. Ia berharap keberadaan sekitar 8 juta diaspora Indonesia yang berada di 18 kota-kota utama dunia bisa menjadi perekat dan jejaring membangun kemajuan Indonesia.

Mereka bukan brain drain. Menjadikan diaspora Indonesia bekerja bersama membangun negeri bak sebuah mimpi atau bahkan ilusi bagi sebagian orang. Namun bagi sebagian orang, harapannya adalah mayoritas bangsa Indonesia, hal tersebut menjadi sebuah tantangan (challenge) yang harus ditaklukkan. Narasi yang harus dibangun dan dikedepankan adalah mengolah mimpi menjadi harapan sehingga bisa dicapai. Tugas memfasilitasi tercapainya harapan tersebut, terutama ada di pundak para pemimpin bangsa, formal maupun informal, yang sudah seharusnya memberikan keteladanan dalam berpikir dan bertingkah laku.

Penghormatan terhadap nilai-nilai kebhinekaan, menyikapinya dengan penuh hormat, mengedepankan dialog dengan akal sehat dan hati nurani, serta menegakkan hukum sebagai pengejawantahan rasa keadilan dalam masyarakat, merupakan beberapa hal yang bisa dilakukan. Bila tidak, jangan heran kalau generasi muda akan muncul dan mengambil alih. Sebenarnya tak terhindarkan, kini mereka semakin cepat mendominasi. Tidak hanya sebatas wacana, tetapi dengan langkah-langkah konkret yang berbuah karya-karya hebat bermanfaat bagi masyarakat luas, baik berupa start up company maupun social entrepreneur.

Artinya bangsa ini harus terus berubah maju. Terkait hal tersebut, Obama juga menyatakan, generasi muda harus mengubah ketakutan ( f e a r ) menjadi harapan (hope). Pernyataan ini menarik karena ketakutan atau kekhawatiran terhadap apa pun yang mengancam manusia sejak dalam pikiran maupun telah nyata dalam keseharian harus dilawan. Dengan demikian, tantangan dari gerakan diaspora ini menjadikan butiran mimpi yang berserak menjadi inspirasi menggumpal dan mengkristal dalam hati dan alam pikiran setiap diaspora Indonesia dan bangsa Indonesia.

Mereka perlu menyadari, menyitir pernyataan Dr. Dino Patti Djalal, bahwa selama ada aliran darah, budaya, dan perasaan hati bertaut dengan Indonesia, maka mereka adalah diaspora Indonesia. Untuk itu, memajukan Indonesia, dalam berbagai bentuk dan kontribusinya, semestinya menyatu dalam setiap langkah profesional mereka. Langkah konkret yang bisa dilakukan dalam jangka pendek adalah bagaimana membangun konektivitas diaspora Indonesia dengan para profesional, berbagai lapisan masyarakat di berbagai sektor, dan generasi muda Indonesia untuk memulai atau melanjutkan kolaborasi.

Untuk menyebut beberapa contoh yang bisa dilibatkan adalah kalangan bisnis, perguruan tinggi, start up, media, industri kreatif dan turisme, serta kelompok sosial masyarakat yang termarjinalkan membangun social entrepreneurship. Negara tentu harus hadir memfasilitasi proses ini agar berjalan lancar. Pengaturanpengaturan yang inovatif perlu dilakukan memotong rantai birokrasi dan hukum mungkin sudah tertinggal dalam menyikapi perubahan lebih cepat.

Koordinasi lintas sektor dengan menghapus ego sektoral dalam badan khusus yang terdiri dari berbagai aktor dengan kendali Kementerian Luar Negeri mungkin patut dipikirkan sebagai frontliner-nya. Dengan demikian, diaspora Indonesia adalah mimpi yang bertransformasi menjadi harapan, bukan ilusi!

PROF. DR. TIRTA N MURSITAMA, PHD
Kepala Departemen Hubungan Internasional BINUS University Analisis Senior KENTA Institute