Freeport dan Rohingnya

Salah seorangFaculty Member Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Roseno Aji Affandi, memublikasikan artikelnya berjudul “Freeport dan Rohingnya”. Di bawah ini adalah artikelnya.

 

Freeport dan Rohingnya

 

Di era C2C seperti saat ini, jalur informasi sudah sangat tipis sekat-sekatnya. Era di mana ebay, bukalapak, alibaba.com, Facebook, Instagram dan lain sebagainya, menjadi platform baru. Konsumen bisa berubah menjadi penjual dan produsen dalam hitungan menit. Seorang pembeli onderdil mobil dari Indonesia menemukan penjual dari Jerman melalui situs ebay, lima menit kemudian konsumen tersebut berubah menjadi penjual dengan menemukan konsumen lainya di bukalapak.com. Begitupun dengan berita, platform yang bisa menemukan sumber berita langsung dari status personal menjadi isu sosial. Bahkan, sumber berita dari netizen menjadi rujukan media cetak dan elektronik yang sudah mapan.

Era dimana kekaguman dan kebencian bisa berubah dengan sangat cepat. Shifting persepsi menjadi sempit dan memiliki speed yang tinggi. Sehingga, dampaknya bagi persepsi akan sebuah isu, gosip, dan fenomena sosial lainya bisa mengalir langsung secara realtime langsung mendapatkan respons.

Terbentuknya asumsi-asumsi yang prematur, dan minim analisa menjadi konsumsi  yang muncul tiap menit di  handphone kita. Untuk transaksi bisnis, platform ini sangat membantu demokratisasi ekonomi. Tetapi untuk sesuatu yang melibatkan institusi sekelas negara kecepatan dan derasnya informasi semacam ini bisa berdampak instabilitas politik dan bahkan sosial. Komunikasi yang solid dan terstruktur saja masih bisa diinterprestasikan negatif apalagi yang tanpa struktur dan dicurigai memiliki tendensi artifisial.

Publik mendapatkan dua tema besar yang viral dalam waktu satu bulan terakhir ini, yaitu : 1. Konferensi Pers Pemerintah Indonesia dengan Perusahaan Freeport dan 2.  Tragedi Rohingnya di Miyanmar. Dua subyek tersebut cukup menjadi bahan perdebatan yang hangat bahkan emosional . Khususnya kasus Rohingnya sangat menggugah sentimen identitas bagi sebagian warga Muslim Indonesia dan dunia.

Dampak fenomena sempat menjadi pusat perdebatan di tengah publik antara puas dan ketidakpuasan warga Indonesia dengan Pemerintahanya di era Jokowi ini. Sebagian puas dengan ‘suksesnya” negoisasi  pemerintah dengan Freeport dan sebagian tidak puas dengan cara pemerintah yang dianggap lambat dan kurang tegas dalam merespons kasus Rohingnya.

Sangat menarik pelajaran dari dua isu ini,. Kita bisa ambil pelajaran dan pengalaman dalam kaitanya interaksi antara nasionalisme dan industri dalam skala global.

Freeport adalah MNC pertambangan yang sudah berinvestasi dan menjalankan operasionalnya di  Kabupaten Mimika yang luasanya 4,75 persen dari total wilayah Provinsi Papua Indonesia.  Lebih dari 44 tahun tandatangan kontrak kerja samanya berlangsung antara institusi negara dengan entitas bisnis Freeport.

Sedangkan di Myanmar, telah terbentuk sebuah konsorsium bisnis dari sebuah aksi FDI antara  50,9 peersen CNPC (Cina), 25,04 persen Daewoo International (Korea), 8,35 persen ONGC (India), 7,37 persen MOGE (Myanmar), 4,17 persen GAIL (India) dan 4,17 persen investor-investor swasta lainnya, di wilayah daerah Arakan – Rakhine, yang dihuni mayoritas etnis Rohingya (Mahmud S,2017).

Mengamati kedua fenomena ini, cukup merangsang wawasan hubugan negara dengan bisnis international karena ke dua isu ini memiliki kemiripan, yaitu sama-sama berkaitan tentang kontrak kerjasama di industri pertambangan antara negara dengan MNC (state vs private). Dan sama-sama memiliki motif resources seeker (Dunning, 1996).

MNC have been involved in the domestic politics of their home country, lobbying home governments for policies that will enhance the profitability of their business activities abroad(Wittkopf and Kengley,1989).

They have been used as tools in international politics. Some cases demonstrated the beneficial impact of FDI, others the detrimental effects( Blake and Walters, 1987)

Whoever controls world resources controls the world in a way that mere occupation of territory can not match(Richard J. Barnet,1980)

Dalam sudut pandang teori Hubungan International. Dua isu ini merupkan salah satu kajian dalam mata kuliah FDI (Foreign Direct Investment). Argumen para scholar tersebut di atas jelas menyatakan bahwa MNC selalu melakukan lobi-lobi untuk berinteraksi dengan pemerintah untuk mendapatkan sebuah kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka di luar negeri. Politik internasional merupakan salah satu tools yang dapat digunakan utuk mencapai tujuan yang berdampak positif dan mengeliminasi kemungkinan dampak buruknya. Karena sekedar mampu mengendalikan sumber daya sebuah negara saja tidak cukup. Perlu menguatkan ekonomi dan sosial yang menjadikan benefit bagi semua pihak baik negara-MNC dan society tercapai.

Tulisan ini mencoba membantu untuk memahami dari sudut pandang aksi sebuah entitas perusahaan yang berbasis kepentingan profit yang berinteraksi dengan sebuah Institusi negara yang memiliki beban politik,  sosial; dan kedaulatan.  Karena, lingkaran negara-bisnis dan masyarakat merupakan interaksi yang  memiliki potensi masalah yang dampaknya langsung ke masyarakat, baik di home dan host country. Menjadi lingkaran yang semakin kompleks apabila pemerintah berperan lebih daripada sebagai regulator, yaitu sekaligus menjadi bagian dari entitas binis tersebut. Beban conflik of interest-nya semakin besar.

Untuk mengidentifikasi masalah dan memahaminya, akan lebih fair dan objective kalau kita legowo untuk sebentar berpikiran jernih dan membuat sebuah framework berpikir dengan mengurai satu persatu melalui perspektif yang jelas. Sehingga, pandangan kita akan mampu memberikan pengalaman untuk antisipasi kemungkinan terburuk dari kesalahan menyikapi permasalahan dan pengambilan keputusan sebuah policy negara yang berkaitan dengan FDI.

Manfaat dan mudhorotnya dampak aksi FDI terhadap sebuah negara

Pada kesempatan ini, kita batasi yang sesuai dengan jenis industri dan permasalahan yang ada antara Indonesia dan Myanmar. Positif :1. Meningkatkan Volume transaksi baik moneter dan Fiskal, 2. Meningkatkan kesempatan kerja 3. Transfer Teknologi 4. Menjadi jembatan hubungan antara negara dengan cara yang lebih damai.  Negatif : 1. Meningkatnya kekuatan oligopolistik baik secara kapital dan kekuasaan, 2. Terkikisnya budaya lokal 3. Meningkatnya gap antara yang kaya dan miskin. 4. Meningkatnya kekayaan para elite di atas biaya rakyat yang miskin. (Kengley and Witkoff, 1989)

Secara metode pendekatan politisnya, interaksi hubungan politik luar negeri terdapat dua dikotomi dasar yaitu : 1. High politic, dan 2. Low politics.

Power politics approaches to security policy focus on how the state’s pursuit of military power and war-fighting potential is shaped by systemic forces. This gives explanatory primacy to the state’s interaction with other self-interested actors in the international system. Consequently, the implicit assumption is that “high politics, “low politics,” societal pressures, and the domestic political economy. (Michael Barnett,2011)

Dua definisi ini, merupakan terminologi yang digunakan di wilayah Ilmu Hubungan International. High politics secara ringkas adalah metode pendekatan dengan menggunakan kekuatan militer. Sedangkan low politics adalah pendekatan ke masyarakat, dan ekonomi politik dalam negeri. Dua metode yang sangat berbeda. Bagaimana relevansi Freeport dan kasus di Rohuingnya dengan teori dari Kengley/Witkoff dan  Barnet Tersebut?

Yang pertama kita mulai mencoba menganalisa  dengan  berita tentang kesediaan Freeport untuk 1. Melakukan perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), 2. Pembangunan Smelter dan 3. Divestasi 51 persen sahamnya. Pada kesempatan ini, kita tidak akan memperbincangkan dengan  detail. Karena seperti yang disampaikan Pak Menteri ESDM bahwa “detail perjanjian masih dalam proses negoisasi” jadi belum layak kita diskusikan saat ini.

Di sini, persepektif yang lebih essential adalah implementasi dan interprestasi kepentingan nasinalis Indonesia, melalui UUD 45 pasal 33 terutama ayat 2 (Cabang-cabang yang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara) dan 3 (Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat). Pasal dan ayat ini merupakan jantung dari sikap Negara Indonesia terhadap haluan pengembangan ekonomi berbasis kekayaan alam.

Semenjak diresmikan operasionalnya oleh Presiden Soeharto pada 1973. Apa dampaknya bagi sosial dan ekonomi politik Indonesia? Dan benefit apa yang diperoleh Freeport?

Proses pengambilan keputusan sebuah negara berbeda sekali dengan sebuah perusahaan swasta. Konsiderasi transaksi yang melibatkan diskusi tentang tarik-menarik kekuatan tawar-menawar antara kepentingan state vs MNC adalah siapakah yang lebih dominan? Lebih dominan isu politik ataukah kepentingan ekonomi negara dan swasta? Mengapa sebuah negoisasi belum final akan tetapi oleh sebagian pihak sudah dianggap sebuah kesuksesan?

Interaksi antara negara dengan bisnis merupakan salah satu proses transformasi international politic dengan  pendekatan low politics. Low politic merupakan tatacara yang mengedepankan proses dialektika dan negoisasi dengan melalui varibel pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang terstruktur dan berhasil merupakan tujuan dari semua negara.

Tentunya menjadi mudah untuk mengijabkabulkan kenduri negara yang tercantum di pasal 33 UUD 45 dengan MNC karena sama-sama berkepentingan dalam meningkatkan skala ekonomi dan kesejahteraan para pemegang sahamnya. Pemegang saham negara adalah masyarakat, sedangkan MNC adalah para stakeholdernya yang di dalamnya termasuk masyarakat dan pemerintah.

The production and the financial structure in the world political economy is the structure of equal importance. The key ingredient of a production structure, a security structure, a financial structure and a knowledge structure is complexity  (Susan Strange,1998)

Sangat kompleks sebuah proses perkawinan kerja sama antara negara dengan perusahaan swasta. Menjadi dangkal apabila kita hanya melihat dari satu sudut saja. Memperhatikan kompleksitas dan dampaknya, kehati-hatian dengan analisa yang mendalam sangat dibutuhkan. Rezim politik di Indonesia hanya berlangsung maksimal 10 tahun, kalau tidak terpilih lagi hanya berlangsung 5 tahun, bahkan kalau ada kecelakaan politik bisa kurang dari 5 tahun. Sedangkan dampak penerbitan policy investasi Asing bisa jauh lebih lama dan luas  dibandingkan keputusan yang di buat hari ini.

“In making business decisions today, they are creating politics for the next generation.” (Barnet and Mùller,1974)

Bagaimana negoisasi yang belum final sudah di claim kesuksesanya? Dampak perdebatan sosial politiknya menjadi dangkal karena belum jelas apa yang sudah menjadi kebijaksanaan dari buah kesepatan tersebut. Bagaiaman dampak konferensi pers ini terhadap persepsi implementasi dari pasal 33 uud 45 ayat 2 dan 3?  Perlu penjabaran lebih detail lagi, yang jelas dari sisi MNC sudah langsung mendapatkan dampak negativenya berupa penurunan sebesar 5 persen harga saham Freport Mc Moran di bursa saham New York pada tgl 29 Agustus (katadata.com) setelah adanya konferensi pers.

Sejarah Freeport dan Pemerintah Indonesia adalah sebuah contoh riil tentang dinamika FDI. Sebuah perubahan politik dunia dalam era ekonomi terbuka dengan mesinya yang bernama globalisasinya.

“the economic changes we are watching will reshape the international security system. They are fundamental shifts of the power relations among nations.( John Zysman, 1987).

Dengan segala permasalahan dan dampaknya. Bisa kita katakan bahwa baik Freeport dan Pemerintah Indonesia sudah cukup memiliki kedewasaan untuk saling menjaga keberlangsungan kerjasamanya selama 44 tahun.

President Soeharto saat itu menghadapi tantangan program pembangunan dan minimnya devisa negara. Indonesia membutuhkan support dari berbagai pihak untuk mensukseskan program pembangunanya. Maka salah satu solusinyanya adalah melalui instrument Penanaman Investasi Asing. Investasi dari Freeport ini menjadi titik awal Indonesia menunjukan ke dunia keterbukaan politik ekonominya.

The MNC is actually a stimulant to the further extension of state power in economic (Gilpin, 1985)

Selain masuknya devisa negara melalui cash in flow MNC. Dampak lainya yang tidak kalah strategis adalah terbukanya hubungan Indonesia dengan negara-negara dunia lainya. Dipercayanya Indonesia oleh lembaga-lembaga keuangan international dan negara-negara donor.

Bagi Freeport proses pengambilan keputusan bisnisnya jauh lebih simple dibandingkan dengan Pemerintah indonesia. Sebuah keniscayaan apabila core behaviour entitas bisnis untuk memaksimalkan profit dan meningkatkan kemakmuran investornya. Apapun kebijaksanaan yang di buat oleh pemerintah Indonesia selama mampu memberikan kepastian kalkulasi bisnis dan investasi, sebuah MNC pasti akan menerimanya.

Perubahan izin dari KK menjadi IUPK tidak menjadi soal, Bahkan pembuatan smelter dan divestasi saham 51 persen tidak menjadi masalah.  Pasal 33 UUD 45 pasa 33 ayat 2 sudah terpenuhi “jika” Freeport sepakat berubah izinya menjadi  IUPK, membangun smelter dan melakukan divestasi 51 persen.

Nasioalisme dangkal apabila asas manfaat pemanfaatan bumi, air dan isinya digunakan semaksimal untuk kepentingan masyarakat hanya sebatas diartikan seperti berita seperti termuat di beberapa headline media  “Ditekan Jokowi, Freeport Akhirnya Mengalah Jual 51 Persen Saham dan Bangun Smelter Sebelum 2022 “ atau  “Akhirnya! Freeport Sepakat Jual 51 Persen Saham “. Sebuah ekspresi yang jauh dari makna sebenarnya.

Perundingan dengan metode low politics bukan perundingan tentang siapa menang dan siapa kalah. Perundingan ini lebih kepada “what we get, when and how”. Atamosfher globalisasi bagi sebuah negara yang modern adalah kemampuan menjaga hubungan yang damai dengan saling sinergis di antara aktor-aktor state dan private.

Bagi publik yang jauh lebih essensial adalah perubahan apa yang akan diperoleh bagi kepentingan nasional dan masyarakat Indonesia dari kontrak baru ini? Apakah dengan jenis izin baru pendapatan indonesia semakin meningkat? Apakah dengan Pembangunan Smelter akan meningkatkan pendapatan negara dan peluang lapangan pekerjaaan? Apakah dengan kepemilikan saham 51 persen pendapatan Indonesia menjadi lebih banyak? Berapa besar nilai saham yang harus di bayar negara?? Bagaimana skema pembayaranya? 51 persen saham berati Indonesia memiliki peluang mendapatkan tambahan potensi pendapatan namun sebaliknya juga akan memiliki ancaman resiko kerugian juga?

Tahun ini, beberapa BUMN menyatakan mengalami kerugian, Hingga semester I-2017, angka kerugian dari 24 BUMN mencapai Rp 5,852 triliun. Bagaimana apabila dari 51 persen saham pemerintah di Freeport juga mengalami kerugian?  Industri pertambangan adalah salah satu Industri yang memiliki risiko tinggi dan tingkat pengembalian modalnya rata-rata 15-20 tahun.

Divestasi saham oleh MNC kepada negara, dan Freeport bukan merupakan pengalaman pertama. Medco Energi Internasional Tbk mengakuisisi 50 persen kepemilikan atas PT Amman Mineral Investama, yang memiliki 82,2 persen kepemilikan atas PT Newmont Nusa Tenggara (bisnis.com, Nov 4 2016) dan kewajiban divestasi saham 7 persen NNT tetap harus ditawarkan kepada pemerintah oleh pemegang saham yang baru. Artinya, Medco Energi sendiri hanya berhak mendapatkan saham sekitar 75,2 persen dari 82,2 persen (tribunemanado.com).

Pemberitaan dan response kementrian ESDM tidak sampai segenting dan segaduh saat dengan Freeport. Mengapa? Apakah Freeport lebih seksi sebagai komoditas isu politik? Jangan sampai isu divestasi hanya sekedar pada perpindahan tangan pemilik perushaan akan tetapi tak ada dampak bagi peningkatan transaksi moneter, fiskal, dan dampak sosial bagi Indonesia.

Berdasarkan data dari publikasi Freeport Indonesia (FI), kurun waktu 1992-2016, telah menyumbangkan royalti, pajak, deviden, dan bea pembayaran lainya sebesar 16,6 milliar dolar AS, Transaksi lainya yang dibelanjakan untuk kepentingan operasional FI dan sosial berupa gaji karyawan, pembelian produk dan jasa dari dalam negeri, pengembangan masyarakat, pembangunan daerah dan investasi dalam negeri sebesar 35,7 milliar dolar AS dengan memperkerjakan 238 ribu orang Indonesia.

Selama 24 tahun, Freeport telah memutarkan uang di dalam negeri Indonesia sebesar 52,3 milliar dolar AS yang 16,6 miliar dolar AS langsung masuk ke kas negara dan sisanya transaksi dalam negeri. Apa jaminanya setelah kontrak baru disepakit, negara dan masyarakat apakah mendapatkan nilai yang minimal sama dengan inflasi atau bunga bank secara proposional dari 35,7 milliar dolar AS selama 24 tahun ke depan? Kalkulasi nasionalisme yang seperti apa yang akan diberikan dari perjanjian baru ini? Padahal, setiap peningkatan kapasitas produksi dan skala ekonomi akan berdampak pada meningkatnya resiko sosial baik dari luar maupun dalam negeri.

“Increased production and accumulation of wealth brought corresponding increase in the complexity of social conflict internal and external. ( Susan Strange,1998)

Dengan segala dinamikanya baik positif dan negatif, proses low politics Indonesia dengan Freeport telah berjalan dengan proposional. Sepakat sekali bahwa perlu ditingkatkan lebih baik lagi untuk memberikan dampak postive yang lebih luas.

Dengan model pemberitaan yang masih prematur dan redaksional yang bombastis di beberapa media. Dikuatirkan berdampak sentimen negative bagi keberadaan sebuah entitas FDI yang telah nyata memberikan kontribusinya buat ekonomi, sosial dan politik di Indonesia. Merangsang nasionalisme dangkal dalam sebuah arena geopolitik internasional merupakan cara yang kurang strategis. Publik lebih butuh dengan kepastian isi dari perjanjian dan jaminan keamanan, peningkatan kesejahteraan ekonomi dan situasi sosial politik yang adem ayem.

Sentimen negatif ini bisa berpeluang menarik kestabilan politik. Dan ketidakstabilan politik ini bisa berdampak bergesernya dari pendekatan low politic menjadi high politic.  Salah satu contoh kasus di Irak dengan penumbangan Rezim Sadam Husein adalah contoh gagalnya diplomasi low politics dalam proses interaksi dengan MNC.

Bagaimana dengan Rohignya?

Berdasarkan data yang ada dan pemberitaan yang muncul di berbagai media. Dengan melakukan benchmarking dengan Freeport akan sedikit mempermudah memahami akar permasalahan dan pihak mana saja yang harus bertanggung jawab atas pembantaian warga Rohingnya?? Apakah MNC atau para elite politiknya??

Salah satu dampak Negative dari FDI yang tersebut di pargraph atas, terdapat beberapa yang relevan dengan kejadian di Rohingnya yaitu : 1. Meningkatnya kekuatan oligopolistik baik secara kapital dan kekuasaan, 2. Terkikisnya budaya lokal 3. Meningkatnya kekayaan para elite di atas biaya rakyat yang miskin.

Aktor-aktor lokal yang oligopolistik adalah elit-elit politik yang sebagian besar adalah petinggi militer Myanmar. Pusat Legislasi dan semua produknya harus ditandatangani oleh pemimpinya seorang jenderal dan panglima tertinggi. Roda pemerintahan dipimpin oleh presiden yang dipilih melalui electoral collage  yang terdiri dari 4 lembaga dan tiga diantaranya berafiliasi dengan militer. Sehingga pendekatan pola high politics sangat beralasan dengan melihat latar belakangnya.  Budaya lokal Myanmar secara struktur Suku Rakhine adalah 4 persen dari total populasi sekitar 50 juta penduduk dan beragama  Islam. Mereka bertempat tinggal di area pembangunan tambang.

Alih-alih melakukan negoisasi pengambilan tanah dan menawarkan program-program pembangunan masyarakat dan sosial yang partisipatif. Justru isu-isu identitas yang lebih menonjol daripada proses asimilasi FDI dengan socitey dan negara. Pihak Pemerintah Myanmar mengangap bahwa Kaum Muslim Rohingnya pendatang haram Myanmar.

Padahal, secara sejarah Peneliti asal Skotlandia, Francis Buchanan, mengungkapkan, kaum Mohammedan (yang secara harfiah berarti `pengikut Muhammad’ atau Muslim) telah lama menetap di Arakan. Orang-orang itu menyebut diri mereka sebagai Rooinga yang berarti masyarakat pribumi asli Arakan,” tulis Buchanan dalam laporannya, “Asiatic Research 5”, yang diterbitkan pada 1799 (Republika.co.id).

Sungguh ironis sekali, sebuah aksi FDI yang bisa dilakukan dengan pendekatan low politics untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi politik nasional  Myanmar. Justru pemerintah Myanmar menggunakan isu-isu identitas yang di support oleh militer untuk melakukan pengusiran secara paksa bahkan perlakuan yang ditentang oleh HAM. Bukan bisnis dan pendapatan negara bertambah, justru saat ini Myanmar mendapatkan kecaman dari berbagai negara. Bahkan beberapa negara sudah berniat untuk mengrimkan bala tentaranya.

Akhirnya low politics berpotensi berubah menjadi high politics. Peranan negara-negara pendukung dan pengecam sama-sama bersiap-siap untuk mengirimkan kekuatan militernya dengan berbagai alasanya. Baik alasan solidaritas agama maupun kepentingan aliansi kekuatan politik ekonomi.

Evolution of social stratification is one of the problems.” (susan strange, 1998)

Di Era globalisasi keterbukaan ekononomi, politik dan sosial merupakan syariat bersama dalam pergaulan dunia. Masyarakat asli Rohingnya memliki hak atas tanah yang mereka tinggali, sebagai bagian masyarakat dunia mereka memiliki Hak atas kemanan dan penghidupan. Para aktor dan elite penguasa Myanmar memandang nasionalisme mereka secara dangkal. Bahwa perbedaan etnis dan agama justru digunakan sebagai alat pemicu untuk mengusir kelompok tertentu dan memperkuat elit tertentu.

Pada saat ada kekayaan alam yang berlokasi di bawah area etnis Rohingnya, bukannya dirangkul untuk melakukan negoisasi justru menggunakan isu identitas dengan menggerakan para Bhiksu Budha dan militernya untuk mengadakan pengusiran bahkan pembunuhan. Sebuah kedangkalan Kebijaksanaan atas nama nasionalisme dangkal yang berdampak bergesernya isu lokal menjadi gerakan international.

Domestic politics and economics are both interact with international society, Every human need security or to be secured. The security structure as the framework of power created via the provision of security to people from common dangers to human violence. (susan strange,1998)

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kasus Myanmar ini, bahwa di era milenia ini persepsi msyarakat dan dunia sudah tidak bisa dimonopi dari satu sumber informasi : Interaksi International dengan pendekatan low politics lebih menjamin keamanan dan perdamaian antar negara. Budaya, Agama, dan etnis yang berbeda merupakan arena untuk di integrasikan dengan metode low politics berorientasipeople to people. Kepentingan state dan private bisa synergis jika semua pihak fokus kepada titik temu benefit antara masing-masing stakeholdernya.

Teringat salah satu ungkapan Rocky Gerung dalam sebuah acara diskusi di salah satu TV Nasional. Tentang kecepatan Informasi saat ini telah mengakibatkan “kedangkalan” dalam menginterprestasikan sesuatu. Kedangkalan berdampak kepada kebringasan-kebringasan baik dari skala verbal, text maupun kebijaksaan negara. Hal ini berlangsung secara realtime. Sumber masalah yang timbul adalah cepatnya informasi yang tidak seimbang dengan semangat literasi. Justru doktrinsasi yang di munculkan. Hasil akhirnya adalah kedangkalan pemahaman.

Konfrensi pers Kementrian ESDM dengan Freeport dengan belum jelasnya benefit dan komitmen baru kontraknya. Sudah di doktrinkan sebagai sebuah kesuksesan dan ada diksi yang mengaggap salah satu pihak kalah. Ini merupakan salah satu contoh bagaimana Kedangkalan yang dapat membahayakan stabilitas politik dan sosial. Bahkan sebelum konferensi pers, beberapa mentri sempat menjawab pertanyaan wartawan salah satu TV Nasional untuk mempersilahkan Freeport melakukan Arbitrase International jika tidak puas dengan kebijaksanaan Pemerintah Indonesia.

Sebuah statement yang aneh, di mana di lain kasus Indonesia telah menang di pengadilan Arbitrase International berhadapan dengan Amerika juga,  berkaitan dengan masalah tembakau. Padahal pada april 2010, Dispute Settlement Body di WTO telah menyatakan Amerika salah. Tetapi, pada tanggal 7 Oktober 2014 Indonesia dan Amerika membuat MOU untuk mengakhiri dan menutup kasus ini. Artinya Indonesia menerima dan mengakomodasi kepentingan Amerika yang jelas-jelas Indonesia sudah dinyatakan menang.

Para elit Myanmar yang sedang memiliki Konsosrsium bisnis di negaranya yang mereka kuasai. Kedangkalan nasionalismenya hanya melihat bahwa yang berhak terhadap hasil bumi dan pertambangan negaranya sebatas etnis dan agama tertentu saja, bahwa mereka sudah tinggal dan berada di sana selama berabad-abad tidaklah penting. Justru mereka mengundag pihak-pihak dari luar negri menjadi partner strategisnya.

Pendangkalan nasionalsime yang berdampak ketidak stabilan politik dalam negeri menjadi isu politik global dan kawasan. Bahkan apabila kasus ini tidak bisa diselesaikan dengan baik dan memuaskan di mata international. Intervensi Internasional bisa akan hadir di sana dengan berbagai motivenya. Tidak menutup kemungkinan yang datang adalah bermotive dengan baju kemanusian tetapi membawa misi motive FDI. Bahkan elit-elit yang saat ini berkuasa bisa dianggap sebagai pelaku kejahatan manusia.

national competitiveness giving way to a supranational world order in which welfare issues will be more important than “narrow” ideological or security contest” (Wittkopf and Kengley,1989).

Roseno Aji Affandi
Lecturer International Political and Economy of MNC Dept International Relation  Faculty of Hummanities  Binus University

sumber: http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/09/25/owub18396-freeport-dan-rohingnya