Understanding US Decision about Embassy Relocation to Jerusalem from Indonesia’s Perspective
Pada hari selasa 3 Juli 2018 Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) – Chapter Binus, di bawah naungan Universitas Bina Nusantara Jakarta Prodi Hubungan Internasional, mengadakan kuliah tamu bertema “Understanding US Decision about Embassy Relocation to Jerusalem from Indonesia’s Perspective”, yang bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri RI – Direktorat Timur Tengah. Hadir pada kesempatan tersebut Kepala Sub. Divisi I Direktorat Timur Tengah, Bapak Nanda Avalist, M.Si, sebagai pembicara. Pihak Universitas Bina Nusantara menyambut baik beserta para dosen yang diwakili oleh Tia Mariatul Kibtiah, S.Ag, M.Si, Pengamat Timur Tengah dan juga sebagai Dosen Kajian Timur Tengah dan Afrika Universitas Bina Nusantara, Dr. Lili Yulyadi, Ph.D, Pengamat dan Dosen kajian Amerika Universitas Bina Nusantara.
Acara dibuka dengan sambutan oleh Dr, Lilli Yulyadi, dilanjutkan sambutan oleh ketua FPCI Chapter Binus, Willy Dwira Yudha, kemudian dilanjutkan dengan kuliah tamu oleh Bapak Nanda Avalist yang dipandu oleh Ibu Tia M. Kibtiah sebagai moderator. Pada kesempatan itu, Bapak Nanda Avalist menyampaikan latar belakang dari isu di Palestina-Israel yang telah berlangsung lama. Beliau juga menyampaikan bahwa isu ini memiliki “domestic effects” ke semua negara termasuk Indonesia. Dalam kebijakan luar negeri Indonesia, pemahaman yang diterapkan hanya berkisar pada memahami konflik tersebut tanpa ikut campur. Beliau juga menekankan bahwa pendirian Israel modern dilaksanakan oleh dan melalui aktor dan mekanisme kolonialisme dan imperialisme. Di sisi lain beliau mengatakan bahwa peran PBB terhadap isu ini menjadi andil penting dalam terwujudnya perdamaian di kawasan dengan dikeluarkannya beberapa resolusi dari DK-PBB.
Politik Luar Negeri Indonesia memahami isu ini sebagai alasan rasional untuk tetap tidak mengakui negara Israel selama Palestina belum memperoleh kemerdekaan. Perpindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem bertolak belakang karena mengakui Yerusalem sebagai zona Internasional yang telah disepakati oleh PBB. Bagi Indonesia, ini adalah isu yang mendesak karena yang ingin dirundingkan tinggal kurang dari 10% dari wilayah asli Palestina. Di sela-sela perundingan ini Israel tetap melakukan pembangunan pemukiman ilegal di wilayah yang bukan mejadi bagiannya. Di sisi lain beberapa isu seperti pembuatan “road block” oleh Israel berdampak menyulitkan jalur mobilisasi perdagangan antara Palestina dan Israel. Jika Indonesia membuka hubungan diplomasi dengan Israel, maka Israel akan mendapatkan apa yang diinginkan tetapi sebaliknya, Palestina tidak mendapatkan hak mereka untuk merdeka. Indonesia melihat bahwa terlalu banyak alasan yang tidak jelas dan ketidakjujuran dalam isu ini. Batasan yang dianggap tidak jelas seperti isu etnis dan agama membuat konflik ini semakin kompleks.
Seminar ini kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Beberapa mahasiswa maupun dosen tampak antusias dan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis dalam sesi ini. Beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan posisi Indonesia dalam melihat Yerusalem sebagai ibu kota Palestina atau bukan, dampak dari intervensi PBB terhadap konflik, bagaimana peranan Kementerian Luar Negeri dalam membentuk pemahaman masyarakat Indonesia terhadap konflik Israel-Palestina, dan juga beberapa pertanyaan menarik lainnya. Beberapa jawaban yang dilontarkan Bapak Nanda Avalist tentang peran dan posisi Indonesia adalah bukan sebagai mediator. Beliau memperjelas bahwa Indonesia hanya ingin membantu Palestina dalam menyongsong kemerdekaannya sesuai dengan alinea pertama UUD RI.
Dalam pernyataan penutupnya, Beliau menyampaikan bahwa kemerdekaan dimulai dari akurasi untuk menggambarkan siapa yang menindas dan siapa yang ditindas. Hal ini menyebabkan adanya suatu akumulasi masalah yang menampilkan realitas, sehingga kedua pihak harus bersatu jika ingin benar-benar meyelesaikan masalah. Jika niat kedua pihak sama, yaitu untuk mencapai kebenaran maka beliau meyakini bahwa akan ada jalan keluar bagi penyelesaian konflik tersebut. Namun jika satu pihak pro terhadap kemerdekaan dan pihak lainnya pro terhadap penindasan, maka konflik ini akan terus berlanjut dan tidak dapat diselesaikan.
Wendsney Arviany Sadi-2001593551
Mahasiswa HI BINUS