European Union – Taiwan Relations: The Lesson for Indonesia

Jakarta – Pada 28 Maret 2019, salah seorang ahli region Asia Timur dari jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Paramitaningrum, berkesempatan untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya kepada jurusan Hubungan Internasional Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah tentang relasi Indonesia-Taiwan melalui pengalaman Taiwan dan Uni Eropa. Paramitaningrum membawakan materi yang diberi judul “European Union – Taiwan Relations: The Lesson for Indonesia”.

Dalam kunjungannya, Paramitaningrum membahas relasi kompleks antara Taiwan dan China serta relasi Taiwan dengan Uni Eropa. Dari kerumitan dan kompleksitas tersebut, relasi antara Taiwan dan Uni Eropa merupakan suatu special arrangement di mana isu-isu non-politik justru berperan besar sebagai faktor kunci dalam menjaga hubungan bilateral antara dua aktor. Namun dengan kompleksitas relasi dengan China, relasi antara Taiwan dengan Uni Eropa dapat dipandang pula sebagai relasi segitiga dengan mempertimbangkan status internasional Taiwan.

Relasi Taiwan dan Uni Eropa sendiri sudah dimulai sejak lama, tepatnya mulai aktivitas misionaris maupun perdagangan di abad-16. Relasi ini menekankan pentingnya kaum misionaris dalam membangun Taiwan yang pada masa itu menjadi penghubung (hub) antara Eropa dan negara-negara Asia. Bersama para misionaris adalah para pedagang yang memburu komoditas berupa the, gula, dan kapur barus (kamper). Dalam masa yang lebih modern, relasi tersebut mewujud dalam relasi antara Taiwan dan EEC (pendahulu Uni Eropa) sejak tahun 1960-an. Kompleksitas relasi dengan China ditandai dengan diakuinya PRC (People Republic of China) sebagai wakil Taiwan di PBB, dengan membuang Taiwan sebagai anggota PBB. Di sisi lain, Amerika Serikat dan Jepang tetap mempertahankan hubungan bilateral dengan Taiwan melalui The Interchange Association Japan (IAJ) dan American Institute in Taiwan (AIT) yang berperan menjadi semacam kedutaan.

Di era New Independence Countries 1980-1990-an, Taiwan sebagai bagian gelombang tersebut berusaha menarik perhatian Uni Eropa dengan mendirikan berbagai liaison office di negara-negara anggota Uni Eropa. Liaison offices ini pada gilirannya berfungsi sebagai institusi antar-pemerintahan (intergovernmental institutions), konsulat, ataupun perusahaan yang dapat mengeluarkan visa ke Taiwan. Demikian halnya Uni Eropa juga membuka kantor-kantor perwakilan di Taiwan melalui kamar dagang maupun asosiasi bisnis, dengan intervensi yang minim dari pemerintah masing-masing.

Bagi Indonesia, pelajaran yang dapat dipetik adalah kondisi relasi yang lebih baik bagi kedua negara sebagai modal awal dengan mempertimbangkan batasan-batasan yang ada, seperti pengaruh China yang besar dalam menentukan relasi Taiwan dengan negara-negara lain di dunia serta intensitas interaksi China dan Taiwan yang meninggi melalui ECFA (Economic Cooperation Framework Agreement).