Buruh Dunia Digital: Eksploitasi Tiada Henti (Resensi Buku) – Bagian 2/3

Fenomena buruh digital bukan merupakan sebuah definisi tunggal. Meski kebanyakan korban dalam sistem ini adalah kelas kerah biru, namun kelas kerah putih juga tidak terlepas dari dampak buruk sistem kapitalisme baru yang dibawa oleh Revolusi Industri 4.0. Bagi Fuchs, definisi buruh digital itu multifaset (multi-faceted), suatu kotak perkakas (toolbox) gagasan-gagasan teoritis yang berisi konsep-konsep seperti, produksi nilai-surplus absolut dan relative, fetisisme komoditi, subsumsi formal dan real, domestifikasi, aristokrasi buruh, mode produksi, daya produksi, komodifikasi prosumer, perbudakan, akumulasi primitif, dan seterusnya.

 

Pasang-Surut Teori Marxisme

Pemikiran Marx penting untuk memahami dinamika yang terjadi dalam fenomena buruh digital dan bentuk-bentuk perburuhan lainnya sebab kondisi kerja yang spesifik dan tipe-tipe buruh digital yang spesifik berkembang demikian dinamis, sekaligus historis. Tidak ada kondisi semacam ini yang muncul dari ruang kosong, statis, melainkan sudah selalu berubah bersama sejarah, pembangunan, serta krisis kapitalisme.

Teori marxisme memang mengalami pasang-surut dalam kehidupan akademis, namun tidak pernah betul-betul mati. Meskipun komunisme telah tersengal sekarat, atau bahkan sudah mati, Marx selalu relevan dibicarakan ketika kapitalisme mengalami krisis dan kebuntuan. Krisis ekonomi global 2008 dan 2013 menjadi penanda kembalinya Marx versi baru ke gelanggang akademis, meskipun kalangan borjuis tak kurang-kurangnya membatasi dan menghambat kekembalian Marx baru ini dengan mencoba menunjukkan kelemahan serta ketinggalan zamannya. Ajaibnya, Marx justru sering diinterpretasi kalangan ini sebagai penyelamat baru bagi kapitalisme. Namun kita jangan pernah lupa bahwa Marx adalah kritikus paling garang terhadap kapitalisme.

Ada sejumlah alasan mengapa Marxisme pernah mengalami masa-masa surut, termasuk alasan-alasan yang menyangkut kelas pendidik/universitas. Fuchs memetakan alasan-alasan ini menjadi (1) bangkit dan tumbuhnya pertentangan/perjuangan kelas neoliberal dari atas (elit); (2) komodifikasi segalanya, termasuk universitas-universitas umum/negara; (3) bangkit dan munculnya post-modernisme; (4) menurunnya kepercayaan pada gerakan-gerakan alternatif; (5) kecilnya kemunculan dan intensitas perjuangan kelas sebagai headline media; (6) dalam konteks akademis, tidak menguntungkan untuk menjadi seorang ahli marxisme dalam suasana kemunduran menuju konservatifisme dan komodifikasi kalangan akademia.

Namun dengan janji-janji yang diingkari kapitalisme global – seperti meningkat tajamnya gap antara kaum kaya dan kaum miskin, krisis ekonomi global, dan ketidakmenentuan nasib buruh – menjadikan neoliberalisme tidak lagi dipandang sebagai suatu kewajaran.  Hal ini didukung pula oleh kemunculan selebritis-selebritis akademik seperti Slavoj Žižek yang tenar di pertengahan 2000-an. Žižek menandaskan bahwa marxisme sangat diperlukan untuk diperbaharui dan dihadirkan kembali dalam konteks antagonisme terhadap kapitalisme kontemporer yang memunculkan krisis ekologi, hak kekayaan intelektual, biogenetika, bentuk-bentuk baru pemukiman yang diskriminatif, politik apartheid jenis baru, dan lain-lain. Žižek juga menandaskan bahwa marxisme perlu diperbaharui untuk menghindari solui-solusi gampangan ala kaum alternatif demokrasi-liberal yang dinilainya hanya melihat masalah dari beberapa kacamata, namun melupakan hal-hal mendasar dari kapitalisme sendiri.

Sumber: JSTOR Daily

Slavoj Žižek

Marx telah mengantisipasi hal-hal yang akan muncul dalam jalannya sistem kapitalisme, yakni krisis moneter, baik berupa krisis yang independen ataupun intensifikasinya, sebagai hal yang tak terhindarkan (Marx 1894, 649). Bagi Marx, krisis finansial tidak dapat dihindari melalui pasar finansial yang penuh regulasi maupun aturan-aturan moral yang membatasi keserakahan, karena keserakahan merupakan fitur structural yang niscaya dalam kapitalisme yang membuatnya selalu mengakumulasi kapital serta memperbanyak profit. Dalam suasana demikian, kompetisi di antara kaum kapitalis dan kebutuhan mereka untuk memperluas akumulasi kapital kemudian berdampak kepada adanya usaha menciptakan “inovasi finansial” yang berisiko tinggi, namun pada saat yang sama memiliki tingkat penerimaan yang sangat singkat namun tinggi. Bagi Marx, inovasi finansial ini merupakan sesuatu yang fiktif karena tidak berhubungan langsung dengan penciptaan nilai aktual yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan. Risiko besar yang pernah dihadapi oleh sistem semacam ini adalah financial bubbles yang dialami Amerika Serikat pada 2008, yakni kondisi di mana harga yang ada tidak mencerminkan keuntungan aktual.

Krisis keuangan tahun 2008 adalah bencana ekonomi terburuk sejak The Great Depression tahun 1929. Krisis ini terjadi meskipun Federal Reserve dan Departemen Keuangan berupaya mencegahnya. Dalam krisis ini harga rumah turun 31,8 persen, lebih dari harga yang jatuh selama The Great Depression. Dua tahun setelah resesi berakhir, pengangguran masih di atas 9 persen.[1]

Pemicu langsungnya adalah kombinasi dari aktivitas spekulatif di pasar keuangan, yang berfokus terutama pada transaksi properti – terutama di AS dan Eropa Barat – dan ketersediaan kredit murah, kata Scott Newton, profesor emeritus sejarah Inggris modern dan internasional di Universitas Cardiff. Newton mengatakan,

Ada pinjaman dalam skala besar untuk membiayai apa yang tampaknya merupakan taruhan satu arah pada kenaikan harga properti. Tetapi ledakan itu akhirnya tidak dapat dipertahankan karena, dari sekitar tahun 2005, kesenjangan antara pendapatan dan hutang mulai melebar. Ini disebabkan oleh kenaikan harga energi di pasar global, yang mengarah ke peningkatan laju inflasi global. Perkembangan ini menekan peminjam, banyak dari mereka berjuang untuk membayar hipotek. Harga properti mulai turun, yang menyebabkan jatuhnya nilai aset yang dipegang oleh banyak lembaga keuangan. Sektor perbankan AS dan Inggris nyaris hancur dan harus diselamatkan oleh intervensi negara.”

Martin Daunton, profesor emeritus sejarah ekonomi di University of Cambridge menambahkan, “liberalisasi finansial yang berlebihan dari akhir abad ke-20, disertai dengan pengurangan regulasi, didukung oleh kepercayaan bahwa pasar efisien merupakan penyebab utama resesi global tersebut.” [2]

Namun tentunya krisis finansial neoliberal ini bukan merupakan satu-satunya alasan Marx kembali ke gelanggang. Fuchs menambahkan sejumlah analisis lain seperti (1) meningkatnya minat terhadap dinamika dan kontradiksi dalam kapitalisme dan penyebab krisis; (2) neoliberalisme dan makin rumitnya kerja dan kehidupan kontemporer dari segi fenomena kelas, eksploitasi, dan komodifikasi; (3) gerakan-gerakan sosial baru yang mempertanyakan kembali makna kelas sosial (gerakan anti-korporat, gerakan keadilan global, Occupy Movement); (4) fiksi-fiksi dan mitos-mitos neoliberalisme seperti finansialisasi ekonomi dan aturan-aturan neoliberal; (5) perang-perang sporadis yang mengidentikkan neoliberalisme dengan imperialisme; (6) revolusi dan pemberontakan kontemporer (Arab Spring) yang memberi perhatian kembali pada makna revolusi, emansipasi, dan kebebasan/pembebasan; (7) peran ICT dan media sebagai medium kapitalisme baru; (8) generasi baru akademisi dan cendekiawan yang merupakan “buruh” kelas menengah jenis baru. [3]

Namun bagi kalangan akademisi media dan komunikasi, kembalinya Marx belum menjadi suatu hal yang besar. Dalam suasana demikian, karya Fuchs menjadi jembatan antara studi media dan komunikasi dengan studi ekonomi-politik Marxisme untuk memahami tentang buruh digital [Aditya Permana].

 

Referensi

[1] https://www.thebalance.com/2008-financial-crisis-3305679

[2] https://www.historyextra.com/period/modern/financial-crisis-crash-explained-facts-causes/

[3] http://fuchs.uti.at/books/digital-labour-and-karl-marx/