Sivitas Akademika Perlu Berperan dalam Antipencucian Uang dan Penanggulangan Pendanaan Teroris: Diskusi Panel PPATK dan BINUS
Pada Selasa, 15 Oktober 2019, Program Studi Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara (BINUS) bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyelenggarakan diskusi panel bertajuk “Anti-Money Laundering and Counter-Terrorist Financing” dengan panelis Dr. Dian Ediana Rae, S.H., LLM., Wakil Kepala PPATK, dan Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A., Ketua Program Studi Hukum BINUS.
Diskusi dibuka dengan kata sambutan oleh Prof. Dr. Tirta Nugraha Mursitama, S.Sos., MM., Ph.D., Wakil Rektor BINUS Bidang Riset dan Transfer Teknologi. Prof. Tirta menyambut Dr. Dian dan para perwakilan PPATK yang hadir, menyampaikan profil BINUS, serta menyampaikan komitmen BINUS menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, oleh karenanya mendukung upaya antipencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Kemudian moderator, Rangga Aditya, S.Sos., M.Si, Ph.D., Ketua Program Studi HI BINUS, memperkenalkan kedua panelis dan mempersilakan para panelis memulai pemaparan. Panelis pertama, Dr. Dian, mendefinisikan pencucian uang sebagai proses mengaburkan identitas atau asal-usul harta kekayaan yang diperoleh secara ilegal sehingga harta kekayaan tersebut tampak berasal dari sumber yang sah.
Menurut Dr. Dian, pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) Tahun 1945. Dana pencucian uang dari hasil tindak pidana dan hasil kegiatan yang tidak sah pun dapat digunakan sebagai sumber pendanaan terorisme.
Dr. Dian menyampaikan bahwa terdapat 26 tindak pidana asal (TPA) bermotif ekonomi yang terkait pencucian uang, sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). TPA yang berisiko tinggi terhadap pencucian uang berdasarkan National Risk Assessment (NRA) 2015 antara lain narkotika, tindak pidana di perbankan, korupsi, dan tindak pidana lainnya.
Menghadapi risiko tersebut, Dr. Dian menyampaikan bahwa paradigma baru pemberantasan kejahatan dengan “follow the money” pun berkembang, yaitu tidak hanya menangkap pelaku dan memproses perkara, tetapi juga menelusuri aliran dana dan lokasi keberadaan harta hasil tindak pidana untuk kemudian dirampas oleh negara. Dengan paradigma ini, diharapkan kriminalitas menurun, sementara integritas dan stabilitas perekonomian meningkat.
Dr. Dian menyampaikan bahwa manfaat pendekatan “follow the money” antara lain dengan upaya antipencucian uang (AML) mengejar hasil kejahatan, AML dapat menghubungkan kejahatan dengan pelaku intelektual, menjadi alat untuk pemulihan aset, dapat menembus kerahasiaan bank, dapat menjerat pihak-pihak yang terlibat dalam menyembunyikan hasil kejahatan, serta dapat menekan nafsu orang untuk melakukan kejahatan, terutama kejahatan ekonomi.
Menurut Dr. Dian, respons kebijakan antipencucian uang (AML) terdapat pada level global maupun domestik. Di level global, terdapat Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Di level kawasan, terdapat Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG). Di Indonesia, terdapat Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU), PPATK, dan lembaga lainnya.
Dr. Dian menyampaikan bahwa peran sivitas akademika dalam antipencucian uang dan penanggulangan pendanaan teroris antara lain bersikap kritis terhadap asal-usul uang yang dimiliki, mengetahui kerentanaan kita dimanfaatkan dalam modus pencucian uang, serta mengenali orang-orang di sekitar kita. Mengutip J. Edgar Hoover, direktur pertama Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika Serikat, senjata paling efektif terhadap kejahatan adalah kerja sama.
Panelis kedua, Dr. Sofian, menyampaikan bahwa pendanaan teroris harus dipahami dari dua sudut vital, yaitu pendanaan untuk operasional kegiatan terorisme itu sendiri, dan pendanaan penyebaran ideologi dan/atau infrastruktur jaring-jaring kelompok teroris itu sendiri. Dr. Sofian mendefinisikan pendanaan teroris berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Menurut Dr. Sofian, sumber dana teroris antara lain perdagangan, organisasi nonpemerintah/organisasi amal, iuran anggota, penyelundupan senjata, narkoba, kegiatan ilegal lainnya, hingga pemerasan/penyitaan. Kelompok teroris ISIS, misalnya, memiliki sumber pendapatan utama dari industri minyak, perdagangan barang antik di pasar gelap, serta pengenaan pajak dan pemerasan terhadap populasi lokal di bawah kendalinya di Suriah dan Irak.
Contoh lain, Hezbollah memperoleh pendanaan dari jaringan perdagangan narkoba dan pencucian uang berbasis di Lebanon, seperti perusahaan Hassan Ayash Exchange dan Ellissa Exchange. Keberhasilan strategi antipencucian uang dalam mengurangi akses teroris ke mata uang resmi juga telah menimbulkan kekhawatiran bahwa kelompok teroris dapat meningkatkan penggunaan mata uang kripto digital seperti Bitcoin untuk mendukung kegiatan mereka.
Dr. Sofian menyampaikan bahwa pendanaan teroris di Indonesia dapat bersumber dari kegiatan yang legal, media sosial, dan publik. Dana dikumpulkan melalui organisasi nonprofit dan iuran antara sesama anggota. Dana juga dapat bersumber dari kegiatan yang ilegal, biasanya dikirimkan dalam jumlah yang kecil (maksimum US$1.000), dan pergerakan dana terjadi dalam bentuk tunai.
Misalnya, pada 5 Maret 2015 dan 26 Maret 2015, “S” mengirimkan uang sebesar Rp21,15 juta hasil infak para pendukung Mujahidin Indonesia Timur (MIT) untuk membeli senjata di Filipina. “AS” mengirimkan uang sebesar Rp468,37 juta untuk memfasilitasi keberangkatan rombongan foreign terrorist fighters (FTF) dari Indonesia ke Suriah dan Filipina. Suyitno alias “AM” mengirimkan uang sebesar Rp2 juta untuk pembiayaan pelatihan terorisme di Tamanjeka, Poso.
Sebagai kesimpulan, pencucian uang dapat terkait dengan tindak pidana lain, termasuk pendanaan teroris. Pencucian uang tidak dapat dihentikan kecuali dengan kerja sama nasional maupun internasional. Masyarakat, khususnya sivitas akademika, juga perlu berperan dalam memberantas pencucian uang dan pendanaan teroris. Diskusi panel ini dihadiri oleh 129 peserta dari PPATK serta para dosen dan mahasiswa/i BINUS.