Politik Perubahan Iklim

Jakarta – Pada akhir 2019, sebagian besar negara bagian di Australia menghadapi kebakaran hutan yang ekstrem dalam durasi yang cukup panjang. Walau tidak separah kebakaran hutan pada 2009 yang menimpa negara bagian Victoria dengan korban jiwa 180 orang, kebakaran tahun lalu dianggap sangat serius karena intensitas dan karakteristiknya yang sulit untuk dipadamkan.

Negara bagian New South Wales menjadi salah satu tempat terparah dengan ratusan titik api dan korban enam orang petugas pemadam kebakaran. Saat asap dari kebakaran hutan sangat parah, indeks polusi di kota Sydney mencapai level tinggi melebihi Jakarta dan Shenzen dan hanya lebih baik dari kota Mumbai. Banyak warga kota Sydney terutama orang tua dan mereka yang menderita gangguan pernapasan harus dirujuk ke rumah sakit.

Intensitas kebakaran hutan kali ini menyebabkan publik di Australia menjadi gusar terhadap pemerintahan PM Scott Morrison yang dianggap lambat dalam penanganan bencana. Publik melakukan protes di depan kediaman resmi Morrison di kawasan Kirribili Sydney karena Morrison tidak berada di Australia pada saat bencana terjadi dan memilih untuk berlibur dengan keluarganya ke Hawaii. Walau seorang pejabat negara berhak mendapatkan juga waktu untuk berlibur, absennya Morrison pada saat bencana terjadi dianggap sebagai bentuk insensivitas terhadap masyarakat yang tertimpa dampak kebakaran hutan.

Kritik yang dilancarkan oleh publik Australia tidak hanya ditujukan bagi kebijakan jangka pendek dan bersifat taktis, tapi juga kepada kebijakan pemerintah Australia terhadap perubahan iklim (climate change) secara umum. Walaupun kebakaran hutan tahun 2019 ini tidak secara langsung diakibatkan oleh perubahan iklim, namun musim panas yang lebih panjang, kekeringan ekstrem, dan curah hujan yang sangat rendah di Australia adalah dampak dari perubahan iklim yang memicu serta memperpanjang kebakaran hutan.

Australia sendiri adalah salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca. Lewat Perjanjian Paris, Australia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26-28% pada 2030, dibandingkan dengan tingkat emisi 2005. Target ini dianggap terlalu rendah dan berdasarkan laporan PBB 2017, Australia dianggap tidak menunjukkan progres yang signifikan dalam menurunkan kadar emisinya. Kritik berikutnya adalah bahwa Australia turut menghitung capaian penurunan emisi pada protokol Kyoto, yang diadakan sebelum Perjanjian Paris dalam keberhasilan pengurangan emisinya.

 

Politisasi

Keengganan pemerintah Australia untuk membuat kebijakan yang lebih progresif dalam perubahan iklim walau telah terjadi bencana nasional adalah gambaran umum dari politisasi dan kecenderungan partisan dalam isu climate change di beberapa negara. Partai politik seringkali terbelah dalam menyikapi perubahan iklim dan menjadikannya isu dengan sensitivitas politik tinggi. Di Australia, keterbelahan terjadi antara Partai Liberal, partai PM Scott Morrison, dengan Partai Labour.

Partai Liberal cenderung mendukung penggunaan energi fosil terutama karena Australia adalah negara yang sangat kaya dengan kandungan batu bara. Di lain pihak, Partai Liberal lebih cenderung untuk mendorong transformasi Australia dalam menggunakan energi yang ramah lingkungan, apalagi negara ini juga berkelimpahan sumber energi terbarukan seperti sinar matahari dan angin.

Negara lain yang mengalami politisasi dan kecenderungan keterbelahan untuk isu perubahan iklim adalah Amerika Serikat. Negara ini juga mengalami kebakaran hutan dan lahan yang cukup parah yang terjadi hampir setiap tahun di negara bagian California. Partai Republik secara umum tidak menunjukkan ketertarikan terhadap pentingnya isu perubahan iklim, dibuktikan dengan ucapan Presiden Trump yang menyebut climate change sebagai hoax dan berkeinginan untuk menarik mundur AS dari Perjanjian Paris.

Trump beralasan bahwa kebijakan pengurangan emisi memakan biaya besar serta didasari keinginannya untuk memajukan industri batu bara AS yang tersaingi oleh gas alam. Sementara Partai Demokrat mengambil posisi mendukung isu perubahan iklim ini sebagai kebijakan utama untuk presiden dan kongres seperti yang ditunjukkan oleh survei Pew Research Center pada 2018. Kecenderungan partisan ini pada akhirnya sangat merugikan kemajuan penanganan masalah perubahan iklim iklim karena sikap publik terhadap isu lingkungan menjadi terbelah berdasarkan afiliasi politik.

 

Indonesia

Indonesia sendiri berkomitmen untuk menurunkan kadar emisi sebesar 29 persen tanpa bantuan luar negeri dan 41 persen dengan bantuan luar negeri pada 2030. Sebagai salah satu negara dengan kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia menunjukkan sikap yang mendukung dalam isu perubahan iklim ini di antaranya dengan bertindak sebagai tuan rumah pada COP 13 Konferensi Perubahan Iklim PBB pada 2007 dan merumuskan Bali Road Map.Namun tidak berarti bahwa isu perubahan iklim ini tidak akan menjadi isu politis yang memecah di Indonesia. Karena partai politik di Indonesia pada umumnya tidak berdasarkan ideologi dan sikap yang tegas pada sebuah isu, termasuk isu lingkungan hidup, maka kecenderungan partisan akan terjadi di antara kelompok masyarakat.

Pada Maret 2019, perubahan iklim menjadi isu politis saat Luhut Panjaitan mengancam untuk menarik Indonesia dari Perjanjian Paris apabila Uni Eropa tetap memberlakukan larangan penggunaan sawit sebagai sumber energi terbarukan. Penggunaan sawit sebagai bahan bakar dianggap mengganggu lingkungan hidup karena potensi kerusakan ekosistem yang ditimbulkannya. Sementara Indonesia menganggap bahwa sikap Uni Eropa ditujukan untuk melindungi produk minyak bunga matahari dan minyak rapeseed mereka.

 

Potensi keterbelahan lain adalah pada subjek penggunaan batu bara untuk sumber energi di Indonesia. Indonesia masih menyandarkan pada batu bara bagi kebutuhan energinya karena ketersediaannya yang besar dan murah. Sementara itu kelompok aktivis lingkungan mengecam masifnya pembangunan PLTU batu bara karena menyebabkan polusi, beragam penyakit, serta pencemaran air. Pada saat kebakaran hutan, terjadi juga saling menyalahkan antara peladang tradisional dengan perusahaan besar sebagai penyebab bencana.

Contoh lainnya adalah saat banjir di Jakarta yang intensitasnya dipengaruhi juga oleh perubahan iklim, menjadi komoditas politik yang diperburuk dengan keterbelahan masyarakat pasca pemilihan Gubernur DKI. Intensitas banjir di Jakarta seolah hanya diasosiasikan sebagai keberhasilan atau kegagalan pemimpinnya. Padahal masalah banjir di Jakarta sangat kompleks, karena selain diakibatkan faktor perubahan iklim, hal ini juga terkait dengan tata ruang daerah resapan serta kebiasaan masyarakat dalam membuang sampah.

Banyak tantangan untuk menjadikan masalah lingkungan hidup termasuk yang diakibatkan oleh perubahan iklim ini menjadi isu yang harus ditangani bersama sebagai ancaman keamanan masa depan. Karena bencana, termasuk banjir atau kebakaran hutan dapat menimpa siapa saja tanpa melihat afiliasi politik dan ideologi.

Amalia Sustikarini kandidat Doktor pada Program Ilmu Politik University of Canterbury Selandia Baru, Research Associate CBDS Departemen Hubungan Internasional Binus University
Amalia Sustikarini