Virus Bukan Insurgen: Salah Kaprah Respons Pemerintah Indonesia terhadap Pandemi COVID-19

Respons pemerintah Indonesia terhadap pandemi penyakit virus korona 2019 (COVID-19) tampak seperti suatu operasi kontrainsurgensi. Pemerintah, yang dipenuhi oleh para purnawirawan jenderal, tampak seakan mereka percaya bahwa pemerintahan harus dilakukan seperti upaya melawan pemberontakan, termasuk dalam merespons pandemi.

Insurgensi, atau pemberontakan, dalam Ilmu Hubungan Internasional dilihat sebagai bagian dari perang ireguler (irregular warfare atau IW), yaitu “konflik antara aktor negara dan aktor nonnegara untuk memperebutkan legitimasi dan pengaruh atas suatu populasi tertentu” (U.S. DoD, 2020).[1] Contoh perang ireguler antara lain perang gerilya, insurgensi, dan terorisme. Sementara, insurgensi didefinisikan sebagai “penggunaan subversi dan kekerasan yang terorganisasi untuk merebut, mencabut, atau menentang kontrol politik suatu wilayah” (U.S. DoD, 2020).[2] Upaya melawan insurgensi disebut kontrainsurgensi (counterinsurgency atau COIN), yaitu “upaya sipil dan militer komprehensif yang dirancang untuk secara bersamaan mengalahkan dan menahan pemberontakan dan mengatasi akar masalahnya” (U.S. DoD, 2020).[3]

Dalam kontrainsurgensi, upaya militer untuk mengalahkan kelompok pemberontak, seperti operasi tempur, intelijen, dan teritorial, tidak cukup. Hal ini karena akar masalah pemberontakan biasanya tidak hanya terkait politik atau wilayah teritorial. Kelompok pemberontak cenderung termotivasi oleh ideologi, ekstremisme agama, separatisme etnis, antikolonialisme, budaya, hingga perubahan rezim. Oleh karena itu, kontrainsurgensi adalah perjuangan politik menggunakan kekuatan bersenjata untuk menciptakan ruang bagi kegiatan ekonomi politik untuk melegitimasi pengaruh negara. Pemerintah harus menggunakan strategi dan program untuk memenangkan dukungan rakyat dalam mengalahkan pemberontakan (“winning hearts and minds”). Kontrainsurgensi ideal adalah 20% aksi militer dan 80% politik (Galula, 1964).[4] Penggunaan kekuatan militer yang berlebihan justru cenderung kontraproduktif, karena dapat menyebabkan korban sipil dan menurunkan legitimasi pemerintah (McFate & Jackson, 2006).[5]

Mengingat sentralnya memenangkan dukungan rakyat dalam mengalahkan pemberontakan, media menjadi unsur penting dalam kontrainsurgensi. Pemerintah berkompetisi dengan kelompok pemberontak di media untuk meyakinkan rakyat tentang posisi mereka. Salah satu praktik kontrainsurgensi pemerintah adalah usaha memengaruhi bagaimana suatu peristiwa dilaporkan oleh media (“spin control”). Akan tetapi, di era globalisasi media dan teknologi informasi, hal ini menjadi semakin sulit dikendalikan. Segala praktik kontrainsurgensi yang dilakukan pemerintah semakin mudah diamati media.

Kontrainsurgensi dan Para Purnawirawan Jenderal Indonesia

Pengalaman Indonesia dalam perang ireguler awalnya adalah sebagai pihak yang lebih lemah melawan aktor negara yang lebih kuat, yaitu dalam perang kemerdekaan melawan Belanda pada 1945–1949. Barulah pasca-1949, Indonesia menjadi pihak yang menghadapi kelompok pemberontak. Sepanjang sejarah, Indonesia telah menghadapi berbagai kelompok pemberontak: Darul Islam (DI), Partai Komunis Indonesia (PKI) 1948, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), Andi Azis, Republik Maluku Selatan (RMS), Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta), PKI 1965, Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Fretilin-Falintil, dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Kesuksesan tiap-tiap kontrainsurgensi berbeda, terutama jika ditinjau dari tiga wilayah yang yang menjadi lokasi pemberontakan sejak Orde Baru. Di Aceh, konflik berakhir setelah tsunami di akhir 2004 menyebabkan kehancuran massif, yang memaksa GAM dan pemerintah melakukan gencatan senjata dan mencapai kesepakatan damai pada 2005. Di Timor Timur, konflik berakhir setelah referendum kemerdekaan pada 1999, karena rakyat Timor Timur menolak otonomi khusus dan memilih memisahkan wilayah tersebut dari Indonesia.

Sementara itu, pemberontakan di Papua masih aktif hingga sekarang. Selain OPM, terdapat beberapa kelompok insurgen yang bergabung dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Pemerintah Indonesia menyebut berbagai kelompok ini sebagai “kelompok kriminal bersenjata” (KKB). Pemerintah juga meningkatkan kehadiran TNI dan Polri di Papua sejak serangan di Kabupaten Nduga, Papua di akhir 2018.

Banyak purnawirawan jenderal dalam pemerintah Indonesia sekarang pernah terlibat dalam operasi kontrainsurgensi di Aceh, Timor Timur, maupun Papua. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan pernah terlibat dalam kontrainsurgensi di Kalimantan Barat ketika menjadi Komandan Peleton Batalion Siliwangi dalam Operasi Penumpasan PGRS/Paraku pada 1972. Luhut juga pernah terlibat dalam kontrainsurgensi di Timor Timur ketika menjadi Komandan Kompi Pasukan Pemburu Kopassandha dalam Operasi Seroja pada 1976 dan Komandan Satgas Tempur Khusus Pasukan Pemburu Kopassus (Detasemen 86) di Timor-Timur pada 1986.

Menteri Pertahanan (Menhan) Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto pernah terlibat dalam kontrainsurgensi di Timor Timur ketika menjadi Komandan Peleton Grup I/Para Komando Tim Nanggala pada 1977, ketika Prabowo memimpin misi penangkapan pemimpin Fretilin Nicolau dos Reis Lobato. Prabowo juga terlibat dalam operasi penangkapan pemimpin Fretilin Xanana Gusmao pada 1991. Selain itu, Prabowo juga pernah terlibat dalam kontrainsurgensi di Papua ketika memimpin operasi pembebasan sandera di Mapenduma, Irian Jaya (sekarang Papua) pada 1996. Selain itu, Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn.) Moeldoko pernah terlibat dalam kontrainsurgensi di Timor Timur pada 1984.

Selain para figur militer di atas, purnawirawan jenderal TNI dan Polri lainnya yang memenuhi pemerintah Indonesia sekarang antara lain Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jenderal Polisi (Purn.) Tito Karnavian, yang pernah menjadi Kapolda Papua pada 2012–2014, Menteri Agama (Menag) Jenderal TNI (Purn.) Fachrul Razi, dan Menteri Kesehatan (Menkes) Letjen TNI (Purn.) Terawan Agus Putranto, yang merupakan dokter militer. Bahkan, juru bicara untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, juga dokter militer.

Figur Militer dalam Respons COVID-19 Pemerintah

Dalam hal respons pemerintah Indonesia terhadap pandemi COVID-19, Gugus Tugas COVID-19 pemerintah yang dibentuk pada 13 Maret 2020 dipenuhi oleh figur militer dan polisi. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo ditunjuk sebagai Ketua Gugus Tugas, sementara Asisten Operasi (Asops) Panglima TNI dan Kapolri ditunjuk sebagai dua Wakil Ketua Gugus Tugas. Unsur 12 kementerian/lembaga menjadi anggota struktur pelaksana [6], sementara empat menteri menjadi anggota struktur pengarah, termasuk Menkes Terawan Agus Putranto.

Seminggu kemudian pada 20 Maret 2020, susunan keanggotaan Gugus Tugas COVID-19 diubah. Kepala BNPB tetap menjadi Ketua Gugus Tugas, sementara jumlah Wakil Ketua Gugus Tugas ditambah Sekjen Kemenkes; Sesmen BUMN, dan Sekjen Wantannas, menjadi lima Wakil Ketua. Unsur kementerian/lembaga dalam struktur pelaksana dan struktur pengarah juga ditambah.[7] Perubahan ini memasukkan Plt. Menhub Luhut Binsar Pandjaitan, Menhan Prabowo Subianto, Mendagri Tito Karnavian, Menag Fachrul Razi, dan KSP Moeldoko – para purnawirawan jenderal TNI dan Polri – ke dalam struktur pengarah. Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis, sebelumnya hanya diwakili oleh para Asops dalam struktur Gugus Tugas, juga menjadi anggota struktur pengarah.

The Jakarta Post telah menyebut Gugus Tugas COVID-19 ini sebagai “military star wars”, menulis “Menunjuk aktor keamanan daripada pakar kesehatan masyarakat untuk mengatasi krisis kesehatan publik skala nasional telah meyakinkan pengamat bahwa Jokowi tidak memiliki pilihan selain mengandalkan pendekatan keamanan untuk mendukung prioritas ekonominya, sebagian besar karena keterlambatan respons pemerintah terhadap pandemi”.[8]

Para purnawirawan jenderal serta figur militer dan polisi tersebut membuat respons COVID-19 pemerintah tampak seperti suatu operasi kontrainsurgensi. Paralel antara respons COVID-19 dan kontrainsurgensi ini tampak dari beberapa indikator. Tulisan ini akan berfokus pada dua indikator utama.  Pertama, kurangnya transparansi pemerintah pusat tentang data COVID-19 di Indonesia, yang mencerminkan usaha spin control. Kedua, sengketa antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam usaha respons COVID-19, yang merefleksikan ajang pertarungan legitimasi (winning hearts and minds).

Kurangnya Transparansi = Spin Control

Alih-alih menegakkan transparansi tentang COVID-19 di Indonesia, pemerintah malah sengaja menahan informasi tentang kasus COVID-19. Presiden Joko Widodo mengatakan hal ini dilakukan untuk mencegah masyarakat panik.[9] Juru bicara untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, mengatakan bahwa pemerintah tidak berbohong tentang kasus COVID-19, hanya “mengatur informasi” yang diberikan kepada masyarakat.[10] Kurangnya transparansi ini tampak seperti usaha pemerintah melakukan spin control, seperti dalam kontrainsurgensi. Tujuannya adalah untuk mencegah kepanikan masyarakat dan mengesankan pemerintah mampu memegang kendali.

Akan tetapi, sebagaimana telah dibahas, usaha spin control telah menjadi semakin sulit di era globalisasi media dan teknologi informasi. Media dan masyarakat berhasil membongkar hal ini karena berbagai hal. Pertama, pada 17 Maret 2020, BNPB mengumumkan telah memperpanjang perpanjangan status darurat COVID-19 dari 29 Februari 2020 sampai dengan 29 Mei 2020 [11], setelah sebelumnya menetapkan status darurat COVID-19 sejak 28 Januari 2020.[12] Padahal, pemerintah belum pernah mengumumkan status darurat yang ditetapkan sejak Januari, dan penetapan status darurat ini baru bocor ke publik di awal Maret 2020.

Kedua, data kasus COVID-19 yang disajikan oleh pemerintah pusat tidak sesuai dengan dari data pemerintah daerah. Pada awalnya, juru bicara untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, berdalih bahwa perbedaan tersebut disebabkan pemerintah pusat mengelompokan data kasus per provinsi berdasarkan lokasi rumah sakit tempat pasien dirawat atau meninggal dunia, bukan berdasarkan alamat KTP pasien.[13] Akan tetapi, media kemudian menyoroti perbedaan data kematian COVID-19 di Provinsi DKI Jakarta yang disajikan pemerintah pusat dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tentang jumlah pasien meninggal yang telah dikuburkan sesuai dengan protokol untuk kematian COVID-19.[14] Pada akhirnya, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Agus Wibowo, mengakui bahwa perbedaan data terjadi karena input data dari Kementerian Kesehatan, yang dirujuk oleh Gugus Tugas COVID-19, juga terbatas.[15]

Pusat vs. Daerah = Winning Hearts and Minds

Tidak hanya data kasus COVID-19 pemerintah pusat yang berbeda dari pemerintah daerah. Pemerintah pusat juga seringkali bersengketa dengan pemerintah daerah dalam usaha respons COVID-19. Sengketa pusat vs. daerah ini mencerminkan pemerintah pusat kurang melihat pemerintah daerah sebagai mitra yang memiliki kepentingan bersama dalam respons COVID-19.

Sebaliknya, pemerintah pusat justru cenderung memandang pemerintah daerah sebagai rival dalam memenangkan dukungan rakyat dan melegitimasi pengaruh (winning hearts and minds). Respons COVID-19 pun menjadi ajang pertarungan politik antara pusat dan daerah.

Sengketa pusat vs. daerah ini tampak dalam berbagai hal. Pertama, masih terkait juga dengan isu transparansi. Tidak lama setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan ia sengaja tidak mengungkapkan area distribusi COVID-19 untuk mencegah masyarakat panik, pada 13 Maret 2020 Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan segera mengungkapkan distribusi pasien positif COVID-19 di Jakarta.[16] Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga mengumumkan ada 46 pasien dalam pengawasan COVID-19 di provinsi tersebut.[17] Barulah setelah dua pemerintah daerah tersebut mengungkapkan data kasus COVID-19 di daerahnya, pada 14 Maret 2020 pemerintah pusat akhirnya mengumumkan daerah penyebaran COVID-19.[18]

Kedua, sengketa pusat vs. daerah juga tampak dalam penetapan karantina wilayah (lockdown). Pemerintah pusat menghindari opsi lockdown karena menganggap Indonesia memiliki karakter yang berbeda dari negara-negara yang berhasil melakukan lockdown [19], dan lebih memilih penegakan physical distancing di publik melibatkan TNI dan Polri.[20] Di lain pihak, beberapa pemerintah daerah yang di wilayahnya terdapat kasus COVID-19 yang tinggi menetapkan lockdown lokal, seperti Kota Tegal [21], Kota Tasikmalaya, dan Provinsi Papua.[22] Merespons hal tersebut, pemerintah pusat menyebut lockdown lokal tidak ada dasar hukumnya [23], dan mengatakan pemerintah pusat masih menyusun peraturan pemerintah (PP) yang mengatur kapan pemerintah daerah dapat menetapkan lockdown lokal.[24]

Di akhir Maret 2020, tuntutan masyarakat agar pemerintah pusat menetapkan lockdown semakin meningkat, sementara Pemerintah Kabupaten dan Kota Bogor mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menerapkan lockdown lokal karena Jakarta menjadi pusat penyebaran COVID-19.[25] Akan tetapi, pemerintah pusat tetap tidak menetapkan lockdown. Sebaliknya, pada 30 Maret 2020 Presiden Joko Widodo mengumumkan implementasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan physical distancing yang ketat. Jika situasinya memburuk secara signifikan, pemerintah akan mengumumkan darurat sipil.[26] Ketua Gugus Tugas COVID-19, Doni Monardo, juga mengumumkan pemerintah pusat tidak akan mengimplementasikan lockdown karena menganggap kebijakan lockdown yang diterapkan oleh beberapa negara lain telah gagal.[27] Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rachman, bahkan secara spesifik mengumumkan bahwa pemerintah pusat menolak keinginan Pemprov DKI Jakarta untuk menetapkan lockdown lokal.[28]

Sengketa pusat vs. daerah memang tampak jelas dalam hubungan antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta, yang sering berselisih dengan pemerintah pusat dalam respons COVID-19. Persepsi terhadap Pemprov DKI Jakarta sebagai rival politik dapat disebabkan oleh fakta bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan adalah mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di bawah Presiden Joko Widodo pada 2014–2016. Setelah digantikan, Anies mendekati partai politik oposisi pemerintah pusat, Gerindra dan PKS, untuk mendapat dukungan dalam Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2017. Sejak saat itu, persepsi bahwa Anies merupakan rival politik pemerintah pusat terus-menerus berkembang dan semakin menajam.

Penutup

Berdasarkan pembahasan di atas, respons COVID-19 pemerintah tampak seperti suatu operasi kontrainsurgensi karena pengaruh para purnawirawan jenderal yang berpengalaman dalam operasi penumpasan pemberontakan dalam posisi-posisi pemerintahan. Banyaknya figur militer dan polisi dalam respons COVID-19 pemerintah menyebabkan kurangnya transparansi pemerintah pusat tentang data COVID-19 di Indonesia, serta sengketa antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kedua hal ini mencerminkan usaha spin control dan pertarungan legitimasi, yang umum dilakukan pemerintah dalam operasi kontrainsurgensi menumpas pemberontakan. Sayangnya, pendekatan kontrainsurgensi yang dilakukan pemerintah dalam respons COVID-19 membatasi efektivitas respons pemerintah tersebut.

Oleh karena itu, penulis menyarankan pemerintah menegakkan transparansi tentang COVID-19 di Indonesia. Kurangnya transparansi justru menurunkan kepercayaan publik terhadap respons pemerintah. Hanya dengan transparansi, pemerintah dapat mengembalikan kepercayaan publik dan memperbaiki respons COVID-19. Kedua, pemerintah pusat dan daerah perlu mengesampingkan pertarungan politik yang ada dan memperbaiki koordinasi dalam respons COVID-19. Jika tidak, taruhannya adalah nyawa 264 juta penduduk Indonesia.

Referensi

  1. (2020), DOD Dictionary of Military and Associated Terms, January 2020, United States Department of Defense, diambil dari https://www.jcs.mil/Portals/36/Documents/Doctrine/pubs/dictionary.pdf
  2. Ibid.
  3. Ibid.
  4. “’Perang revolusioner adalah 20% aksi militer dan 80% politik’ adalah formula yang mencerminkan kebenaran.” David Galula (1964), Counterinsurgency Warfare: Theory and Practice, Praeger Security International, hlm. 63.
  5. Montgomery McFate dan Andrea V. Jackson (2006), “The object beyond war: Counterinsurgency and the four
    tools of political competition”, Alexandria, Virginia: Institute for Defense Analyses, Joint Warfighting Analysis
    Program, hlm. 15.
  6. Setkab RI (14 Maret 2020), “Presiden Teken Keppres Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19”, diambil
    dari https://setkab.go.id/presiden-teken-keppres-gugus-tugas-percepatan-penanganan-covid-19/
  7. Setkab RI (23 Maret 2020), “Perkuat Pelaksanaan, Presiden Tambah K/L dalam Susunan Gugus Tugas
    Penanganan Covid-19”, diambil dari https://setkab.go.id/perkuat-pelaksanaan-presiden-tambah-k-l-dalam-susunan-gugus-tugas-penanganan-covid-19/
  8. The Jakarta Post (26 Maret 2020), “In COVID-19 Response, Can Jokowi avoid Military ‘Star Wars’?”, diambil
    dari https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/26/in-covid-19-response-can-jokowi-avoid-military-star-wars.html
  9. The Jakarta Post (14 Maret 2020), “’We don’t want people to panic’: Jokowi says on lack of transparency
    about COVID cases”, diambil dari https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/13/we-dont-want-people- to-panic-jokowi-says-on-lack-of-transparency-about-covid-cases.html
  10. Merdeka (17 Maret 2020), “Achmad Yurianto: Saya Tidak Berbohong, Cuma Mengatur Informasi”, diambil
    dari https://www.merdeka.com/peristiwa/achmad-yurianto-saya-tidak-berbohong-cuma-mengatur-informasi.html
  11. CNN Indonesia (17 Maret 2020), “BNPB Perpanjang Status Darurat Corona: Sudah Skala Nasional”, diambil
    dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200317181635-20-484298/bnpb-perpanjang-status-darurat-corona-sudah-skala-nasional
  12. Kompas (17 Maret 2020), “BNPB: Status Darurat Bencana akibat Virus Corona Sudah Ditetapkan sejak
    Januari”, diambil dari https://nasional.kompas.com/read/2020/03/17/16510921/bnpb-status-darurat-bencana-akibat-virus-corona-sudah-ditetapkan-sejak
  13. Detik (20 Maret 2020), “Data Corona Pemerintah Pusat dan Pemprov Berbeda, Kok Bisa?”, diambil dari
    https://news.detik.com/berita/d-4947653/data-corona-pemerintah-pusat-dan-pemprov-berbeda-kok-bisa
  14. Jawa Pos (30 Maret 2020), “Memahami Beda Data Kasus Covid-19 Milik Pemprov DKI dan Pusat”, diambil
    dari https://www.jawapos.com/jabodetabek/30/03/2020/memahami-beda-data-kasus-covid-19-milik-pemprov-dki-dan-pusat/
  15. Tempo (5 April 2020), “BNPB Blak-blakan Data Kasus Positif COVID-19 Tidak Sesuai”, diambil dari
    https://nasional.tempo.co/read/1328220/bnpb-blak-blakan-data-kasus-positif-covid-19-tidak-sesuai
  16. Kumparan (13 Maret 2020), “Peta Persebaran Virus Corona di DKI Jakarta”, diambil dari
    https://kumparan.com/kumparannews/anies-ungkap-sebaran-kasus-corona-cilandak-hingga-kebayoran-1t1Be2oVNGD
  17. Kompas (13 Maret 2020), “Ganjar: 46 Pasien dalam Pengawasan Corona di Jateng, 37 Negatif, 2 Positif”,
    diambil dari https://regional.kompas.com/read/2020/03/13/18401621/ganjar-46-pasien-dalam-pengawasan-corona-di-jateng-37-negatif-2-positif
  18. Merdeka (14 Maret 2020), “Jogja Masuk Daftar Sebaran Corona, Ini Daftar Lengkap Daerah Lainnya”, diambil
    dari https://www.merdeka.com/jateng/jogja-masuk-daftar-sebaran-corona-ini-daftar-lengkap-daerah-lainnya.html
  19. CNN Indonesia (24 Maret 2020), “Jokowi Ungkap Alasan Tak Tetapkan Lockdown Corona”, diambil dari
    https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200324095851-20-486338/jokowi-ungkap-alasan-tak-tetapkan-lockdown-corona
  20. Jakarta Globe (23 Maret 2020), “Lockdown Still Not an Option for Indonesia: Chief Security Minister”, diambil
    dari https://jakartaglobe.id/news/lockdown-still-not-an-option-for-indonesia-chief-security-minister
  21. Kompas (26 Maret 2020), “Tegal Terapkan "Local Lockdown", Wali Kota: Lebih Baik Saya Dibenci Warga
    Daripada…”, diambil dari https://regional.kompas.com/read/2020/03/26/19282661/tegal-terapkan-local-lockdown-wali-kota-lebih-baik-saya-dibenci-warga
  22. Kompas (29 Maret 2020), “Daftar Wilayah di Indonesia yang Terapkan "Local Lockdown"”, diambil dari
    https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/29/083900665/daftar-wilayah-di-indonesia-yang-terapkan-local-lockdown-
  23. Kumparan (29 Maret 2020), “Istana soal Tegal hingga Tasikmalaya Lockdown Lokal: Tak Ada Dasar
    Hukumnya”, diambil dari https://kumparan.com/kumparannews/istana-soal-tegal-hingga-tasikmalaya- lockdown-lokal-tak-ada-dasar-hukumnya-1t7DjicUjry
  24. Kompas (27 Maret 2020), “Mahfud Sebut Pemerintah Siapkan PP soal Ketentuan Karantina oleh Daerah”,
    diambil dari https://nasional.kompas.com/read/2020/03/27/17212441/mahfud-sebut-pemerintah-siapkan-pp-soal-ketentuan-karantina-oleh-daerah
  25. CNN Indonesia (29 Maret 2020), “Epicentrum Corona, Dua Kepala Daerah Bogor Minta DKI Lockdown”,
    diambil dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200329232810-20-488076/epicentrum-corona-dua-kepala-daerah-bogor-minta-dki-lockdown
  26. CNN Indonesia (30 Maret 2020), “Jokowi Ingin Pembatasan Sosial Skala Besar dan Darurat Sipil”, diambil dari
    https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200330145024-20-488291/jokowi-ingin-pembatasan-sosial-skala-besar-dan-darurat-sipil
  27. Liputan 6 (30 Maret 2020), “Indonesia Tegaskan Tak Akan Lockdown karena Ada Beberapa Negara Gagal”,
    diambil dari https://www.liputan6.com/news/read/4215060/indonesia-tegaskan-tak-akan-lockdown-karena-ada-beberapa-negara-gagal
  28. Liputan 6 (31 Maret 2020), “Istana Tolak Keinginan Anies Baswedan untuk Karantina Jakarta”, diambil dari https://www.liputan6.com/news/read/4215397/istana-tolak-keinginan-anies-baswedan-untuk-karantina-jakarta

 

 

Tangguh Chairil