BAGAIMANA POLITIK RIZOMATIK DAN GERAKAN AKAR RUMPUT MENGATASI PANDEMI GLOBAL?

YouTube link: https://www.youtube.com/watch?v=_e-BmOKvwC0&feature=youtu.be

Ade M. Wirasenjaya : Untuk Webinar yang seri-4 ini, kami akan mendiskusikan tentang grassroot, untuk kita elaborasi dan beruntung hari ini, Mba Maharani Hapsari dari UGM, dan Sylvia Yazid dari UNPAD bisa untuk mengisi sesi kita di awal bulan puasa ini, Mba Maharani saya tau kajiannya banyak tentang isu-isu tradisional, dengan perspektif yang tidak mainstream, yang mungkin mbak Rani sudah menyiapkan slide yang nanti akan kita nikmati Bersama, dan diskusikan Bersama

Mbak Sylvi juga saya tahu, beliau juga menggeluti isu-isu tradisional, isu tentang kota, isu tentang ekologi, sehingga dua narasumber ini sayang kalau kita potong-potong waktunya dengan introduction yang kepanjangan ini, jadi silahkan Mba Rani silahkan sudah sediakan slide Prof, sudah saya kirim, Mbak Rani menyiapkan slide tentang Rizoma, saya kira itu kajian-kajian yang cukup kontemporer banget, mbak Rani tidak suka dengan istilah international relations, Sukanya dengan world order/tatanan dunia. 

Prof Tirta Mursitama : Silahkan mulai Mbak Rani.

Maharani Hapsari : Terimakasih Prof Tirta dan Mas Ade, Mba Sylvia yang saya hormati, bapak ibu sekalian dan para hadirin. Terimakasih juga pada HI Binus yang sudah mengajak saya untuk berkontribusi pada diskusi kita hari ini, suatu kebanggaan tersendiri bagi saya, apalagi topik yang diangkat sangat menarik, COVID-19 dan gerakan akar rumput.

Di hari-hari ini kita menyaksikan banyak sekali inisiatif akar rumput di negara-negara terdampak COVID, dan kita juga tahu bahwa di media massa, dan berbagai platform informasi publik gitu ya, kita bicara mengenai inisiatif di banyak skala, kita juga lihat keragaman isunya dan kalau kita di dalam kajian HI biasanya terminologi akar rumput ini dilekatkan pada aktor-aktor non negara begitu yang representasinya cukup luas dan biasanya berkarakter non-addictive, mereka juga memiliki fleksibilitas yang tinggi begitu dalam mencapai tujuan politiknya, dan biasanya aksi-aksinya berlangsung sangat cair.

Mungkin kita bisa masuk ke dalam slide berikutnya, saya memilih untuk engage dengan konsep Rizoma, juga state of exception Bare life begitu, dari Giorgio Agamben, dan juga Deleuze dan Guattari yang saya pikir kita bisa mengambil beberapa aspek dari  konsep mereka, cukup menarik kalau kita melihat pergerakan akar rumput kontemporer ini bisa membantu kita memahami seputar respon public atau quality atau citizen dalam menghadapi pandemic.

Lalu juga kesempatan kita untuk membangun sebuah agenda politik yang  sifatnya deliberative gitu, termasuk juga cara kita berpikir tentang kelembagaan gerakan-gerakan akar rumput, di dalam diskusi saya kali ini, saya lebih banyak berfokus pada keamanan manusia dan problematisasi apa yang bisa kita diskusikan terkait pengorganisasian aksi kolektif yang sifatnya cenderung hierarkis, ini bukan hanya soal prosedural saja, tetapi kalau kita berbicara tentang gerakan akar rumput bukan hanya melihat ada banyak spora, namun juga melihat dibalik spora yang muncul, mengapa muncul dengan cara seperti itu.

Pendekatan keamanan manusia sendiri akan bilang bahwa kalau dalam menghadapi pandemic itu, satu nyawa hilang saja sudah menjadi tragedi yang luar biasa, itu tragedy systemic atau kegagalan sistemik. Nah, tapi kalau kita bicara dalam praktiknya keamanan manusia ini selalu dinegosiasikan ulang dengan dominasi keamanan yang sudah sangat kuat, tidak mengherankan jika merecognisi resiko keterpaparan manusia terhadap COVID sendiri merupakan sebuah problematika politik bagi otoritas.

Saya akan memulai dari slide sebelumnya, nomor dua. Slide kedua yang Bare Life, kita lihat dalam konteks respon terhadap pandemic COVID ini mungkin sedikit banyak situasi yang kita hadapi itu seperti yang digambarkan Agamben seperti Bare Life dimana manusia itu mengalami kerentanan begitu dari banyak aspek, kita tidak tahu informasi mana yang reliable, kita tidak tahu minggu depan atau dua tiga bulan kedepan kita bisa menjalani perkuliahan dengan normal, kita belum tahu nanti kehidupan masyarakat terutama masyarakat, terutama masyarakat yang ekonomi rentan itu seperti apa, dan eksposur terhadap risiko menjadi sangat tajam.

Di level individual sendiri jika kita berbicara keamanan manusia, tentunya kita dalam situasi saat ini merasakan bahwa kita sendiri semua, bahkan saya kira merasakan menyusutnya tubuh kita, yang biasanya tubuh kita sangat social menjadi terbatasi geraknya secara fisik maupun non fisik, dan berpengaruh pada kualitas kehidupan kita, meskipun ini juga menjadi pilihan pribadi ketika kita memproses segala macam informasi public tetapi kemudian ada batasan-batasan terhadap kita yang kadang tidak bisa ditawar, kita harus stay di rumah, mematuhi berbagai aturan dan saya coba link dengan konsep rezim state of exception, yang nanti kalau di cek di berbagai negara bentuknya bisa bermacam-macam ya, kalau di Indonesia sendiri kita mengenal istilah lockdown, social distancing, terus masyarakat juga menginisiasi karantina mandiri, kita juga masuk ke dalam proses pendisiplinan melalui disinfektanisasi begitu ya, di mana orang-orang meributkan tentang ini, lalu rezim sanitasi, kita juga berbicara bagaimana caranya mengamankan penghidupan sosial ekonomi dan jangan lupa kita kemudian engage dalam system surveillance.

Intinya semua state of exception ini tertuju pada satu poin yaitu Denormalisasi fondasi kehidupan kita di kala pandemic ini. Melalui beragam perangkat legal dan apparatus pemerintah, manusia dikondisikan untuk masuk ke dalam ruang subsistence, yang diasumsikan dapat menjustifikasi berfungsinya kedaulatan dan ini yang disebut dengan kedaulatan bisa pada berbagai arah, kita bisa bicara pemerintah global governance, kita bicara institusi multilateral, kita bicara mengenai kebijakan Indonesia di level pusat dan daerah bahkan sampai ke level-level local, masyarakat sendiri yang mengoperasikan. Ini adalah instrumen yang sekarang sedang  meregulasi kita di situasi yang sangat contingent.

Di dalam state exception ini kita menjadi sulit untuk membedakan mana yang hukum, dan mana juga yang kekerasan seperti semuanya menjadi satu, dan dalam kritik Agamben narasi-narasi state of exception bermunculan untuk melokalisir manusia sebagai subjek intervensi keamanan diluar standar normalitas yang selaku. Lalu kita melihat banyak prosedur, ekonomi sosial politik diatur lagi, sehingga compatible dengan penerjemahan agenda keamanan, selama masa pandemic beragam bentuk ketidakamanan manusia semakin terekspos, mungkin kita bisa masuk ke dalam slide ketiga, disini tantangan-tantangan terhadap keamanan manusia.

Jika kita masuk kedalam kategorisasi PBB setidaknya kita bisa bicara tiga ancaman terhadap freedom from want, freedom to leave and dignity. Dalam freedom from want, narasi medis dan higienitas yang berlaku lintas kelas social memunculkan isu-isu keterampasan hak masyarakat miskin, lalu akses terhadap sumber daya moneter yang sangat krusial terutama ketika kita berbicara transportasi industria masyarakat dari rural ke urban yang dimana mereka sangat tergantung pada sumber daya moneter, sebagian masyarakat tidak bisa memproduksi pangannya sendiri. Kaum buruh yang mungkin paling terdampak juga selain petani ya dan sumber – sumber kehidupannya terbatas jika tidak dikelola dengan baik.

Di Brazil misalnya yang notabene adalah ekonomi terbesar di Amerika Latin kerjanya protes ketika pembatasan social diberlakukan, Menteri Kesehatannya dipecat, masyarakat terbagi dari mereka yang mendukung pembatasan social dengan mereka yang menghendaki ruang penghidupan publiknya tetap dibuka.

Masyarakat adat misalnya yang tinggal di seputar wilayah pertambangan, yang hendak dibuka menyatakan  keberatan  atas posisi Presiden yang menolak pembatasan social, karena bagi mereka kalau ada pertambangan berarti mereka akan terekspos dengan risiko. Kelompok – kelompok yang pro terhadap pembatasan social tampaknya memiliki kesesuaian kepentingan dengan masyarakat yang menghendaki pembatasan ekstraksi sumber daya alam di level local. Masyarakat yang anti karantina memiliki argumen tersendiri dalam debat public.

Nah, di Indonesia potensi pengangguran terbuka sudah mencapai 9,35 juta. Maka ini menjadi isu yang penting bagi kita, di ranah freedom from fear muncul banyak ketakutan luar biasa, trauma, paranoid, banyak ekspresi negative dalam psikologis masyarakat terdampak. Pembebasan para narapidana dari penjara itu kan misalnya yang sangat mereka reuse di Amerika Serikat, China dan Rusia menampung 9 juta narapidana, terus negara-negara Brazil, India, Meksiko dan Afrika memiliki persoalan yang kurang lebih sama antara 100 ribu hingga sekian ratus ribu.

Gerakan-gerakan prison abolish ini bermunculan untuk menentang sistem yang berlangsung meski mereka sudah melakukan berbagai upaya untuk mendorong rehabilitasi yang tidak berfokus pada penghukuman dan institusionalisasi pemerintah, kita mengalami banyak sekali dilemma keamanan manusia disini, yang terakhir terkait dengan freedom to live and dignity, kita juga menemukan banyak stigmatisasi terhadap banyak populasi yang terdampak, bagaimana kategorisasi APDP, ODP, suspect, OTG dan positif Corona memberikan implikasi yang luas terhadap martabat manusia, bukan hanya pada individu yang terdapat tapi juga keluarganya, atau masyarakat sekitarnya semakin kentara bahwa ancaman eksistensial terhadap kehidupan manusia dapat dipahami secara relasional, Bukan subjeknya yang menentukan hajat hidupnya tetapi bagaimana ia diposisikan pada skema upnormal ini.

Alih-alih bekerja sebagai tiga ranah agenda yang terpisah, kita melihat bahwa dalam praktiknya muncul tumpeng tindih, lalu bagaimana kita memahami grassroots atau inisiatif akar rumput dalam akar rumput, saya kira dalam banyak konteks kita melihat aksi-aksi yang sifatnya self-help itu bertransformasi menjadi yang sifatnya kolektif. Jadi poin utama, saya kira dalam gerakan akar rumput ini bagaimana transisi dari self help menjadi sebuah kolektif self-help di seputar freedom from want, freedom from fear dan freedom to live and dignity.

Ada banyak kontentasi dan aliansi yang terjadi di level akar rumput karena agenda kepentingan dan juga sisi normatifnya berbeda-beda, rhizomatik ini menjadi sebuah gambaran yang saya kira cukup menarik untuk didiskusikan nanti kalau kita lihat di slide nomor 4 itu kan, disitu kan ada banyak sekali agenda-agenda keamanan manusia yang terfragmentasi. Itu dari 3 aspek keamanan manusia yang saya ulas sedikit. Kita juga lihat PBB memiliki kategorisasi sampai tujuh kategori keamanan manusia dan bagaimana kemudian inisiatif-inisiatif sub-sub agenda itu muncul didalam ranah public yang sifatnya cukup tertunda satu sama lain.

Lalu bagaimana dengan lebih organisasi semua ini, ada aktornya juga, ada gerakan di berbagai level, saya kira kita bisa masuk ke dalam slide ke 5, disitu saya coba mengambil ilustrasi rizoma dari Deleuze dan Guattari, kita engage dengan kata kunci politik Rhizomatik. Saya kira mungkin agak mirip-mirip dengan Jahe gambarnya. Ini cukup menjadi barang langka. Jahe kan salah satu bentuk rizoma, dan menariknya strukturnya tidak biasa ya, kita tidak melihatnya sebagai struktur yang hierarki, sangat random, ada yang gelap, ada yang terang, ada yang gemuk, ada yang kurus gitu tapi dia merupakan satu jalinan proses yang cukup kompleks, dan mengandung banyak konten disitu, setidaknya dari banyak kata kunci yang saya temukan di media massa gitu misalnya pada beberapa analisis terakhir.

Itu kita melihat tidak hanya melihat aktor yang hanya disitu, misalnya ada relawan, pemerintah, universitas juga masuk disitu kan, banyak universitas itu mencoba untuk memproduksi masker, hand sanitizer untuk didistribusikan kepada masyarakat, mencoba mendistribusikan informasi untuk mengurangi kepanikan yang terjadi pada masyarakat. Itu hal yang sangat berharga, dan memasukan hajat hidup dimana manusia dapat terjadi dalam waktu yang lama hingga sekarang ini.

Mekanisme untuk menjamin keamanan manusia pun beraneka ragam, kita bisa melihat ada banyak support group yang muncul, bagaimana akses kelompok rentan dapat terjaga disini, jangan sampai ada kelaparan, jangan sampai masyarakat yang difabel itu tidak bisa memenuhi hidupnya, bagaimana ketidaksetaraan itu kita respon dengan baik. Kita juga melihat peran teknologi terus proses-proses multilateral, sampai di level local, kita gotong royong, banyak ide kreatif bagaimana caranya mendorong masyarakat agar tetap dirumah untuk meminimalkan resiko.

Saya kira di situ yang penting bagi gerakan akar rumput adalah koneksi yang tadinya semua tercerai berai kemudian sekarang koneksi lah yang semua menjadi make sense lalu heterogenitas sendiri sebagai resources begitu, bagaimana kita bisa menemukan informasi yang tepat, dan sumber daya yang tepat, orang yang tepat untuk diajak memikirkan solusi-solusi inovatif untuk menyediakan material-material yang teruji, lalu juga multi simplicity bagaimana sebuah aksi bisa dibingkai ulang oleh aktor-aktor yang mendapatkan informasi dari satu lokasi ke lokasi yang lain, dan bagaimana kemudian koneksi heterogenitas dan multi simplicity ini menjadi satu rangkaian yang sangat politis, karena kalau kita bicara tujuan normatif, ini pasti menyangkut hal-hal yang fundamental, kualitas kehidupan manusia bukan hanya sekedar subsistensi saja, asal sekadar hidup, namun kita sebagai manusia itu naturenya untuk memaksimalkan potensi kita.