TNI–Polri Aktif Rangkap Jabatan: Problematik

Oleh Tangguh Chairil

Versi PDF: TNI-Polri Aktif-CBDS-Juli-2020

Ringkasan

Anggota TNI dan Polri aktif semakin banyak menjabat di kementerian/lembaga negara atau sebagai komisaris BUMN. Fenomena ini problematik karena alasan hukum, etik, dan profesionalisme. Rangkap jabatan ini melanggar UU TNI dan UU Polri, menciptakan konflik kepentingan, serta tidak sesuai dengan salah satu alasannya untuk menangani konflik dan kasus di BUMN.

 

Komentar

Dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan fenomena meluasnya jabatan yang dapat diisi anggota TNI dan Polri aktif. Misalnya, Pasal 48 RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memuat aturan bahwa anggota dewan pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dapat berasal dari unsur TNI–Polri aktif, selain purnawirawan.[1] RUU ini merupakan usulan hasil rapat Badan Legislasi DPR per 22 April 2020. Sebelum adanya RUU ini, Pasal 7 Perpres No. 7 Tahun 2018 tentang BPIP mengatur bahwa anggota dewan pengarah BPIP dapat berasal dari tokoh purnawirawan TNI–Polri, tapi tidak dapat berasal dari unsur TNI–Polri aktif. Terdapat anggota dewan pengarah BPIP sekarang yang berasal dari unsur TNI–Polri, tetapi sudah purnawirawan, yaitu Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno dan Mayjen TNI (Purn.) Wisnu Bawa Tenaya.

Pada 16 Juni 2020, pemerintah mengumumkan menunda pembahasan RUU HIP bersama DPR, sehingga rencana mengangkat anggota TNI–Polri aktif sebagai anggota dewan pengarah BPIP belum akan terlaksana dalam waktu dekat. Akan tetapi, BPIP bukan satu-satunya kementerian/lembaga negara tempat anggota TNI–Polri aktif menjabat. Setidaknya, terdapat tiga anggota Polri aktif yang menjabat di kementerian negara sekarang, yaitu Komjen Pol. Antam Novambar sebagai Sekretaris Jenderal KKP, Irjen Pol. Andap Budhi Revianto sebagai Inspektur Jenderal Kemenkumham, dan Irjen Pol. Reynhard Saut Poltak Silitonga sebagai Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham.

Selain fenomena rangkap jabatan, Menteri BUMN Erick Thohir mengangkat beberapa anggota TNI–Polri aktif sebagai komisaris BUMN. Menurut Erick Thohir, pengangkatan tersebut agar anggota TNI–Polri aktif dapat menangani jika BUMN menghadapi konflik seperti sengketa tanah dan perizinan serta menangani kasus seperti penipuan keuangan.[2] Pengangkatan ini menjadi lebih problematik karena para anggota TNI–Polri aktif tersebut juga masih menjabat di kementerian/lembaga negara lainnya (lihat Tabel 1). Menurut anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih, terdapat 564 komisaris BUMN yang terindikasi rangkap jabatan, 27 orang di antaranya adalah anggota TNI aktif, sementara 13 orang adalah anggota Polri aktif.[3]

Tabel 1 Beberapa Anggota TNI–Polri Aktif sebagai Komisaris BUMN

TNI–Polri Aktif

Kedinasan Jabatan K/L Negara Jabatan Komisaris BUMN
Laksdya TNI Achmad Djamaludin TNI-AL Sekretaris Jenderal Wantannas Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia I
Marsdya TNI Andi Pahril Pawi TNI-AU Komisaris PT Bukit Asam
Komjen Pol. Bambang Sunarwibowo Polri Sekretaris Utama BIN Komisaris PT Aneka Tambang
Irjen Pol. Arman Depari Polri Deputi Bidang Pemberantasan BNN Komisaris PT Pelabuhan Indonesia I
Irjen Pol. Carlo Brix Tewu Polri Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan Kementerian BUMN Komisaris PT Bukit Asam

Para pengamat membandingkan fenomena meluasnya jabatan yang dapat diisi anggota TNI–Polri aktif ini dengan masa Orde Baru. Misalnya, Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri mengatakan bahwa rencana mengangkat anggota TNI–Polri aktif sebagai anggota dewan pengarah BPIP akan “memicu pendekatan keamanan yang represif dalam pembinaan ideologi Pancasila kepada masyarakat, seperti yang dilakukan melalui P4 pada masa Orde Baru”.[4] Peneliti Setara Institute Ikhsan Yosarie mengatakan bahwa pengangkatan anggota TNI–Polri aktif sebagai komisaris BUMN “menunjukkan kemunduran reformasi dan menarik-narik TNI-Polri kembali ‘berbisnis’ sebagaimana masa Orde Baru”.[5] Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane, menyebutnya sama seperti kondisi masa Orde Baru.[6] Direktur Eksekutif Haidar Alwi Institute, R Haidar Alwi, mengatakan bahwa hal tersebut “menghidupkan kembali warisan Orde Baru”.[7] Koordinator Pusat Generasi Muda Kasih Bangsa, Noman Silitonga, menyebutnya “akan mengulang romantisme Orde Baru”.

Mengapa jabatan yang dapat diisi anggota TNI–Polri aktif dapat meluas? Beberapa akademisi telah berusaha menjelaskan fenomena ini. Terkait TNI, Evan A. Laksmana (2019a) berargumen bahwa kemacetan promosi perwira TNI – karena terlalu banyak perwira tetapi terlalu sedikit posisi yang tersedia – selama dekade terakhir menjelaskan beberapa perilaku regresif TNI, termasuk meningkatnya intrusi ke dalam jabatan sipil.8[] Laksmana (2019b) juga menulis bahwa Presiden Joko Widodo cenderung mengadopsi pendekatan lepas tangan dalam mengelola urusan militer dan kebijakan pertahanan sehari-hari. Jokowi mengandalkan sekelompok purnawirawan jenderal sebagai perantara dengan TNI dan juga memberikan otonomi organisasi TNI.[9] Sementara itu, terkait Polri, Mufti Makaarim (2020) menemukan bahwa Polri telah “terseret” gejolak politik elite, yang menyeret Polri tampil dalam politik kepentingan pembangunan dan stabilitas keamanan.[10]

Fenomena meluasnya jabatan yang dapat diisi anggota TNI–Polri aktif ini problematik karena tiga alasan: hukum, etik, dan profesionalisme. Dari aspek hukum, fenomena ini bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal 47 UU TNI mengatur bahwa prajurit TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan, kecuali di kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Selain lembaga-lembaga tersebut, Setara Institute (2019) juga melaporkan bahwa wacana revisi UU TNI mencakup penambahan enam kementerian/lembaga negara yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif, yakni Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Staf Kepresidenan, BNPT, BNPB, BNPP, dan Bakamla.[11]

Sementara itu, Pasal 28 UU Polri juga mengatur bahwa anggota Polri aktif hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Akan tetapi, berbeda dari UU TNI, UU Polri tidak memberikan daftar jabatan sipil yang dikecualikan sehingga bisa dijabat oleh anggota Polri aktif. Hanya saja, penjelasan atas UU Polri menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian” adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.

Selain UU TNI dan UU Polri, rangkap jabatan anggota TNI–Polri aktif juga bertentangan dengan Pasal 17 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mengatur bahwa pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha. Berdasarkan ketiga UU tersebut, seharusnya anggota TNI–Polri aktif tidak menjabat di kementerian/lembaga negara maupun di BUMN.

Dari aspek etik, fenomena ini menyebabkan pelanggaran etis khususnya “korupsi lunak”. William E. Schluter (2017) berargumen bahwa rangkap jabatan dapat menciptakan konflik kepentingan dan menimbulkan banyak keburukan terkait dengan patronasi.[12] Hal ini karena fenomena rangkap jabatan membatasi peluang bagi orang lain yang berkualifikasi untuk mendapatkan jabatan tersebut. Jika dikaitkan dengan rangkap jabatan anggota TNI–Polri aktif, dapatkah kita membayangkan bahwa ada orang lain yang lebih berkualifikasi melakukan audit dan memantau risiko keuangan BUMN serta memahami tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), kompetensi yang tidak diajarkan di akademi militer atau kepolisian?[13]

Schluter juga menulis bahwa rangkap jabatan dapat melekat dalam budaya politik jika jabatan tersebut bersifat paruh waktu sementara gajinya rendah, sehingga pemegang jabatan merasa perlu memiliki sumber pendapatan lain.[14] Tanpa berdebat apakah jabatan di kementerian/lembaga negara bersifat paruh waktu atau tidak, dapatkah kita sepakat bahwa gaji para anggota TNI–Polri tersebut tidak begitu rendah sehingga mereka perlu sumber pendapatan lain? Gaji pokok perwira tinggi TNI–Polri berkisar antara Rp3,2 juta–Rp5,9 juta,[15] sementara tunjangan kinerja perwira tinggi TNI–Polri (kelas jabatan 12 ke atas) berkisar antara Rp7,2 juta–Rp34,9 juta,[16] ditambah tunjangan-tunjangan lainnya.[17]

Terakhir, dari aspek profesionalisme, fenomena rangkap jabatan dapat menyebabkan menurunnya kinerja anggota TNI–Polri aktif yang bersangkutan. Schluter menulis, “konflik kepentingan mendasar terjadi … karena, sebagai masalah etis, pemegang rangkap jabatan tidak selalu dapat melayani dua tuan sekaligus”. Schluter berargumen bahwa kinerja seorang pemegang rangkap jabatan seringkali menurun karena ia “tidak dapat mencurahkan waktu dan perhatian yang cukup untuk peran tersebut”.[18]

Bayangkan, bagaimana para anggota TNI–Polri aktif tersebut mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk mengerjakan tugas kepolisian dan peran di kementerian/lembaga negara lainnya sementara menjalankan fungsi sebagai komisaris BUMN pada saat yang bersamaan? Misalnya, Irjen Pol. Arman Depari mungkin akan kesulitan menjalankan fungsi sebagai Komisaris PT Pelabuhan Indonesia I, karena sebagai Deputi Bidang Pemerantasan BNN ia juga dipusingkan oleh pasokan narkoba ke Indonesia yang tidak menurun selama pandemi COVID-19, sebagaimana ia sampaikan akhir Juni lalu.[19]

Apakah pengangkatan anggota TNI–Polri aktif sebagai komisaris BUMN akan dapat membantu BUMN tersebut menghadapi konflik dan menangani kasus, seperti apa yang menurut Menteri BUMN Erick Thohir adalah alasan pengangkatannya? Yang pasti, keterlibatan TNI–Polri dalam konflik seperti sengketa tanah dan perizinan seringkali berujung insiden kekerasan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan bahwa pada 2019, terdapat 279 konflik agraria. Jumlah konflik tersebut menurun dari tahun sebelumnya, akan tetapi tingkat kebrutalan meningkat seperti ditunjukkan dari jumlah korban yang meningkat. Di antara aktor kekerasan dalam konflik lahan tersebut, Polri mendominasi dalam 37 kasus, sementara anggota TNI terlibat dalam enam kasus.[20] Hal ini diperparah fakta bahwa, menurut komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Polri cenderung mengabaikan masukan dan rekomendasi Komnas HAM terkait dugaan pelanggaran HAM yang melibatkan anggota Polri.[21] Potensi eskalasi konflik tersebut menunjukkan bahwa penanganan konflik seperti sengketa tanah dan perizinan mungkin bukanlah alasan yang tepat untuk mengangkat anggota TNI–Polri aktif di BUMN.

Karena permasalahan di atas, penulis menyarankan pemerintah tidak menambah luasnya jabatan yang dapat diisi anggota TNI–Polri aktif, baik di kementerian/lembaga negara, BUMN, maupun jabatan sipil lainnya. Anggota TNI–Polri aktif yang telah menjabat di kementerian/lembaga dapat pensiun dini atau mengundurkan diri dari posisi mereka di kementerian/lembaga tersebut. Selain itu, Menteri BUMN Erick Thohir perlu memberhentikan anggota TNI–Polri aktif dari jabatan sebagai komisaris BUMN, kecuali yang bersangkutan pensiun dini. Terakhir, pemerintah perlu memberikan daftar jabatan sipil yang dikecualikan dalam UU Polri sehingga bisa dijabat oleh anggota Polri aktif, tidak hanya menjelaskan bahwa yang tidak dapat dijabat adalah “jabatan di luar kepolisian” karena maknanya samar-samar.

Daftar Singkatan / Referensi

Bakamla Badan Keamanan Laut Laksdya

 

Laksamana Madya (pangkat bintang tiga bagi perwira tinggi TNI-AL)
BIN Badan Intelijen Negara Marsdya

 

Marsekal Madya (pangkat bintang tiga bagi perwira tinggi TNI-AU)
BNN Badan Narkotika Nasional Mayjen Mayor Jenderal (pangkat bintang dua bagi perwira tinggi TNI-AD)
BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana P4 Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara semasa Orde Baru)
BNPP Badan Nasional Pengelola Perbatasan Perpres Peraturan Presiden

 

BNPT Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Pol. Polisi
BPIP Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Polri Kepolisian Negara Republik Indonesia
BUMN Badan Usaha Milik Negara Purn. Purnawirawan (pensiunan TNI dan Polri)
DPR Dewan Perwakilan Rakyat RUU Rancangan Undang-Undang
Irjen Inspektur Jenderal (pangkat bintang dua bagi perwira tinggi Polri) RUU HIP Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila
Kapolri Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia TNI Tentara Nasional Indonesia
Kemenkumham Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia TNI-AL Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut
KKP Kementerian Kelautan dan Perikanan TNI-AU Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Udara
Komjen Komisaris Jenderal (pangkat bintang tiga bagi perwira tinggi Polri) UU Undang-Undang
Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (National Commission on Human Rights) Wantannas Dewan Ketahanan Nasional

____________________________________________________

  1. Lihat RUU HIP di http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200609-010923-6831.pdf.
  2. Lihat keterangan Menteri BUMN Erick Thohir di Tempo (13 Juni 2020), “Alasan Jenderal TNI-Polisi di BUMN: Tangani Konflik hingga Kasus”, diambil dari https://bisnis.tempo.co/read/1352947/alasan-jenderal-tni-polisidi-bumn-tangani-konflik-hingga-kasus.
  3. Lihat uraian anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih di Kompas (28 Juni 2020), “397 Komisaris BUMN Terindikasi Rangkap Jabatan, Ini Rinciannya…”, diambil dari https://nasional.kompas.com/read/2020/06/28/15282151/397-komisaris-bumn-terindikasi-rangkap-jabatanini-rinciannya.
  4. Lihat komentar Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri di CNN Indonesia (13 Juni 2020), “LSM Khawatir TNI-Polri di BPIP Jadi Alat Politik Ala Orba”, diambil dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200612153227-20-512690/lsm-khawatir-tni-polri-di-bpip-jadialat-politik-ala-orba.
  5. Lihat komentar peneliti Setara Institute Ikhsan Yosarie di Tirto (24 Juni 2020), “Risiko & Potensi Masalah Perwira TNI-Polri Menjabat Komisaris BUMN”, diambil dari https://tirto.id/risiko-potensi-masalah-perwira-tnipolri-menjabat-komisaris-bumn-fKPN.
  6. Lihat komentar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane di JPNN (20 Juni 2020), “Perwira Tinggi Jabat Komisaris BUMN, Dwifungsi ABRI Jadi Dwifungsi Polri?”, diambil dari https://www.jpnn.com/news/perwira-tinggi-jabat-komisaris-bumn-dwifungsi-abri-jadi-dwifungsi-polri.
  7. Lihat komentar Direktur Eksekutif Haidar Alwi Institute, R Haidar Alwi di ThreeChannel (14 Juni 2020), “Kangkangi UU TNI-POLRI, Erick Thohir Hidupkan Kembali Warisan Orde Baru”, diambil dari https://threechannel.co/2020/06/kangkangi-uu-tni-polri-erick-thohir-hidupkan-kembali-warisan-orde-baru/.
  8. Evan A. Laksmana (2019a), “Reshuffling the Deck? Military Corporatism, Promotional Logjams and PostAuthoritarian Civil-Military Relations in Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, 49(5), hlm. 806–836.
  9. Evan A. Laksmana (2019b), “Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interests and Presidential Handholding”, Asia Policy, 26(4), hlm. 63–71.
  10. Mufti Makaarim (2020), “Polri dalam Pusaran Politik Kepentingan Pembangunan dan Stabilitas Keamanan”, dalam Anton Aliabbas dan Hussein Ahmad (peny.), Involusi Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Imparsial, hlm. 71–86.
  11. Setara Institute (8 Oktober 2019), “Jalan Sunyi Reformasi TNI”, diambil dari http://setara-institute.org/jalansunyi-reformasi-tni/.
  12. William E. Schluter (2017), Soft Corruption: How Unethical Conduct Undermines Good Government and What to Do About It, Rutgers University Press, hlm. 109–113.
  13. Ibid.
  14. Ibid.
  15. Lihat PP No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Keduabelas Atas PP No. 28 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota TNI dan PP No. 17 Tahun 2019 tentang Perubahan Keduabelas atas PP No. 29 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota Polri.
  16. Lihat Perpres No. 102 Tahun 2018 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan TNI dan Perpres No. 103 Tahun 2018 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Polri.
  17. Lihat Permenhan No. 33 Tahun 2017 tentang Penghasilan Prajurit TNI di Lingkungan Kemhan dan TNI.
  18. Schluter (2017), op cit.
  19. Lihat uraian Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Irjen Pol. Arman Depari, di Merdeka (29 Juni 2020), “BNN Sebut Pandemi Covid-19 Tidak Kurangi Pasokan Narkoba ke Indonesia”, diambil dari https://www.merdeka.com/peristiwa/bnn-sebut-pandemi-covid-19-tidak-kurangi-pasokan-narkoba-keindonesia.html.
  20. Lihat uraian KPA di CNN Indonesia (7 Januari 2020), “Catatan KPA 2019: Polisi Aktor Utama Kekerasan Konflik Lahan”, diambil dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200107065718-12-462975/catatan-kpa-2019polisi-aktor-utama-kekerasan-konflik-lahan.
  21. Lihat uraian komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, di Tempo (30 Juni 2020), “Watchdog: Police Subjected to Many Human Rights Violation Reports”, diambil dari https://en.tempo.co/read/1359459/watchdog-police-subjected-to-many-human-rights-violation-reports.