Hambatan laju perempuan soal korupsi, intoleransi, dan kesenjangan gender di Indonesia di masa depan

Ella S. Prihatini

Perempuan di Indonesia telah mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum (pemilu) sejak kemerdekaan pada tahun 1945. Namun representasi perempuan di politik masih rendah, salah satunya terlihat dari perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 2019 sebanyak 20.7 persen. Angka ini adalah yang tertinggi dalam sejarah modern Indonesia, meskipun strategi kuota gender 30 persen telah diterapkan sejak beberapa periode Pemilu Legislatif.

Kinerja rendah perempuan dalam kompetisi pemilu sebagian disebabkan oleh ketidaksetaraan gender. Hasil penelitian World Value Survey tahun ini mendapati 72% responden Indonesia setuju dan sangat setuju dengan pernyataan bahwa laki-laki lebih baik daripada perempuan sebagai pemimpin politik.

Ella S. Phihatini (dok. pribadi)

Di sektor pendidikan, rata-rata jumlah tahun perempuan bersekolah masih lebih rendah 1 tahun dibanding laki-laki. Di sektor ekonomi, pendapatan per kapita perempuan dalam setahun hanya separuh dari uang yang diperoleh laki-laki.

Meski demikian, di bidang politik, Indonesia memiliki modal positif yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini. Secara institutional, kuota gender, misalnya, bisa menjadi salah satu hal positif dari reformasi sistem pemilu dan bertujuan untuk mendorong pencalonan perempuan oleh partai.

Kuota gender saja tentu tidak bisa menyudahi ketimpangan gender. Tingkat pendidikan perempuan yang terus membaik juga merupakan modal positif bagi perempuan untuk bisa bergabung ke dalam lapangan kerja dan memaksimalkan potensinya. Kuota gender diberlakukan untuk meningkatkan minat perempuan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Namun, penelitian saya yang mencermati pola dinasti politik di DPR hasil Pemilu 2019-2024 mendapati bahwa lebih dari separuh perempuan di parlemen memiliki suami atau ayah yang juga politikus atau pejabat pemerintah. Laki-laki lebih bisa mengakses modal untuk menjadi politikus. Performa kandidat perempuan juga tidak maksimal di tengah pemilu berbiaya tinggi seperti sekarang.

Tren ini tampaknya akan semakin menguat dalam 10-20 tahun mendatang, yang mengakibatkan kursi perempuan akan tetap lebih rendah daripada laki-laki, dan perempuan terpilih merupakan anggota dinasti politik.

__________________________________________________

Artikel ini dicuplik dari theconversation.com. Artikel lengkap dapat dibaca di sini.