Penyerangan Polsek Ciracas: Masalah yang Perlu Diselesaikan Pimpinan TNI dan Polri

Tangguh Chairil

Read the pdf version here: Serangan Polsek Ciracas.docx-edited

Ringkasan

Penyerangan prajurit TNI ke kantor Polsek Ciracas, Jakarta Timur pada 29 Agustus 2020 menunjukkan masih ada masalah dalam hubungan antara prajurit TNI dan anggota Polri, disiplin keprajuritan TNI dan anggota Polri, serta budaya kekerasan yang masih kental di tubuh TNI dan Polri. Pimpinan TNI dan Polri harus secara konkret menyelesaikan masalah ini.

Komentar

Pada Sabtu, 29 Agustus 2020 pukul 01.45 WIB, ratusan orang tak dikenal menyerang kantor Polsek Ciracas, Jakarta Timur. TNI dan Polri pun membentuk tim gabungan untuk menyelidiki penyerangan tersebut.

Dalam keterangan pers pada hari yang sama, Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya menyampaikan bahwa penyerangan tersebut diduga dipicu oleh Prajurit Dua TNI berinisial MI yang mengalami kecelakaan. Akan tetapi, Prada MI berbohong kepada teman-teman sekelasnya dengan mengatakan bahwa ia dikeroyok oleh sekelompok orang yang telah diamankan oleh Polsek Ciracas. Karena disinformasi itu, teman-teman Prada MI terprovokasi mendatangi Polsek Ciracas untuk mencari pengeroyok Prada MI. Kapolsek Ciracas dan Danramil memberi penjelasan, tetapi massa tidak percaya sehingga mereka merusak kendaraan dan membakar kantor Polsek Ciracas.

Dalam konferensi pers esok harinya pada Minggu, 30 Agustus 2020, Kasad Jenderal TNI Andika Perkasa mengumumkan bahwa 31 prajurit TNI-AD diduga terlibat dalam penyerangan ke Polsek Ciracas. 12 prajurit di antaranya telah diperiksa oleh Polisi Militer Kodam Jaya, sementara 19 prajurit lainnya akan segera diperiksa. Kasad Andika juga mengatakan akan memecat semua prajurit TNI-AD pelaku penyerangan Polsek Ciracas.

Dari peristiwa penyerangan Polsek Ciracas ini, ada beberapa hal yang penting untuk disoroti: Pertama, hubungan antara TNI dan Polri, terutama di level prajurit dan anggota. Kedua, masalah disiplin keprajuritan TNI dan anggota Polri. Terakhir, budaya kekerasan yang masih kental di tubuh TNI dan Polri.

Hubungan antara prajurit TNI dan anggota Polri menjadi penting karena kedua lembaga merupakan “saudara tua” yang tergabung dengan nama ABRI pada tahun 1962–1999 sejak akhir Orde Lama dan selama rezim Orde Baru. Kedua lembaga tersebut kemudian dipisahkan pada tahun 1999 dan masing-masing mengalami perubahan selama masa Reformasi.

Selama itu pula, telah sering terjadi perseteruan antara prajurit TNI dan anggota Polri. Situs berita Tirto.id melaporkan bahwa dari September 2002 hingga Juni 2018, terjadi 13 bentrokan dan perkelahian antara prajurit TNI dan anggota Polri yang mengakibatkan enam orang tewas dan sedikitnya 24 korban luka-luka. Setelah periode yang dilaporkan Tirto tersebut, telah terjadi paling tidak lima kali perseteruan prajurit TNI dan anggota Polri yang mengakibatkan tiga orang tewas:

  • Pada 12 Desember 2018, bentrokan keduanya berujung pada pembakaran Polsek Ciracas dan mengakibatkan empat polisi luka-luka.
  • Pada 21 Desember 2019, perseteruan antara prajurit Yonif 734 dan anggota Brimob di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku mengakibatkan empat polisi luka-luka.
  • Pada 27 Februari 2020, bentrokan prajurit Yonif 123 dan anggota Polsek Pahae Jae di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara mengakibatkan enam polisi luka-luka.
  • Pada 12 April 2020, kesalahpahaman antara prajurit Yonif 755 dengan anggota Polres Mamberamo Raya di Kabupaten Mamberamo Raya, Papua mengakibatkan tiga polisi tewas dan dua lainnya luka-luka.
  • Terakhir, penyerangan prajurit TNI ke kantor Polsek Ciracas pada 29 Agustus 2020.

Rentetan perseteruan antara prajurit TNI dan anggota Polri membuktikan bahwa walau pimpinan TNI dan Polri terlihat akur, bawahannya tidak. Para akademisi dan pengamat, seperti Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Beni Sukadis dan pengamat militer Aris Santoso, mengatakan bahwa permusuhan antara prajurit TNI dan anggota Polri ini dipicu oleh kecemburuan prajurit TNI terhadap polisi terkait kesejahteraan, peluang politik, dan kontak dengan masyarakat.

Meski demikian, hubungan TNI–Polri yang sehat tetap penting bagi keamanan nasional kita. Oleh karena itu, para pimpinan TNI dan Polri harus secara konkret menyelesaikan masalah ini hingga ke level akar rumput. Masalah ini tidak dapat dikesampingkan dengan mengatakan ini adalah “ulah oknum” seperti dikatakan Wakapolri Komjen Pol. Gatot Eddy Pramono, apalagi mengingat perseteruan antara prajurit TNI dan anggota Polri telah sering terjadi.

Untuk membina hubungan baik antara prajurit TNI dan anggota Polri, disiplin keprajuritan TNI dan anggota Polri menjadi unsur penting. Dari keterangan pers Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya, diketahui bahwa penyerangan Polsek Ciracas dipicu kebohongan Prada MI kepada teman-teman sekelasnya. Ini kemudian diikuti pelanggaran disiplin berikutnya ketika para prajurit TNI mendatangi Polsek Ciracas untuk mencari pengeroyok dan main hakim sendiri, bukannya menyerahkan penegakan hukum kepada pihak berwenang.

Kebohongan Prada MI menjadi problematik karena TNI memosisikan diri sebagai lembaga yang turut melawan hoaks di masyarakat. Akan tetapi, dalam insiden penyerangan Polsek Ciracas, justru prajurit TNI yang menyebarkan hoaks. Di lain pihak, massa para prajurit TNI teman-teman sekelas Prada MI juga tidak mengecek fakta sebelum melakukan penyerangan. Bahkan setelah Kapolsek Ciracas dan Danramil memberi penjelasan, massa tidak percaya dan tetap melakukan perusakan.

Ini bukan pertama kalinya unsur TNI terlibat dalam hoaks: Sebelumnya pada Mei 2020, istri prajurit TNI Sersan Dua berinisial K mengunggah foto hoaks Presiden Joko Widodo di konser “Bersatu Melawan Corona” di tengah keramaian, ketika pemerintah telah menginstruksikan agar masyarakat menjaga jarak. Serda K pun dihukum melalui sidang disiplin militer, sementara sang istri diproses secara hukum.

Tampaknya, sebelum melawan hoaks di masyarakat, TNI dan Polri perlu terlebih dahulu melawan budaya hoaks di lingkungannya sendiri. Pendidikan dan pelatihan literasi antihoaks menjadi penting untuk mencegah prajurit TNI dan anggota Polri terkecoh oleh berita bohong atau informasi yang dipelintir, serta memberi kemampuan untuk meneliti kebenaran suatu berita. Sistem kendali dan pengawasan terhadap prajurit dan anggota juga perlu ditingkatkan untuk mencegah pelanggaran disiplin.

Bahkan jika informasi bahwa Prada MI dikeroyok oleh sekelompok orang itu benar dan bukan hoaks, tindakan para prajurit TNI teman-teman sekelasnya mencari pengeroyok untuk main hakim sendiri tidak dapat dibenarkan. Menurut Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman, penyerangan ke kantor Polsek Ciracas dipicu jiwa korsa teman-teman Prada MI, yang merasa mereka perlu menjaga kehormatan korps dengan membalas dendam kepada pengeroyok.

Dalam hal ini, penulis sepakat dengan Direktur Imparsial Al Araf yang menyatakan bahwa konsep jiwa korsa (esprit de corps) sering disalahartikan prajurit TNI. Jiwa korsa seharusnya diartikan sebagai moral dan semangat juang dalam perang melawan musuh negara, bukan dalam melakukan kekerasan di luar masa perang.

Tidak hanya dalam perseteruan antara prajurit TNI dan anggota Polri, penggunaan kekerasan oleh aparat TNI dan Polri justru masih sering terjadi terhadap warga sipil. LSM KontraS melaporkan bahwa dari Juni 2019 hingga Mei 2020, terjadi 62 kasus penyiksaan di Indonesia, dengan rincian 48 kasus dilakukan oleh polisi, sembilan kasus oleh TNI, dan lima kasus oleh sipir lembaga pemasyarakatan. Kasus-kasus penyiksaan tersebut mengakibatkan 21 orang tewas dan 199 orang luka-luka. Pada 2019, terjadi paling tidak empat kasus besar kekerasan aparat di Indonesia:

  • Selama demonstrasi penolakan hasil Pemilu Presiden di Jakarta pada Mei 2019, terjadi bentrokan massa dengan aparat yang mengakibatkan delapan orang tewas.
  • Saat penangkapan mahasiswa Papua dari asrama di Surabaya pada 16 Agustus 2019, anggota polisi menggunakan kekerasan yang mengakibatkan tiga orang luka-luka.
  • Selama aksi antirasisme di Wamena pada September 2019, terjadi kerusuhan yang mengakibatkan 31 orang tewas.
  • Selama demonstrasi “Reformasi Dikorupsi” pada September 2019, terjadi bentrokan massa dengan aparat yang mengakibatkan tiga orang tewas di Jakarta dan dua lainnya tewas di Kendari. Enam anggota polisi yang membawa senjata api saat pengamanan demonstrasi di Kendari dihukum melalui sidang disiplin.
  • Saat penggusuran rumah warga di Tamansari, Bandung pada 12 Desember 2019, terjadi kerusuhan di mana lima anggota Brimob terbukti bersalah memukul warga.

Rentetan kasus kekerasan dan penyiksaan oleh aparat TNI dan Polri di atas membuktikan bahwa insiden penyerangan Polsek Ciracas bukan hanya masalah perseteruan antara prajurit TNI dan anggota Polri, melainkan masalah budaya kekerasan yang masih kental di tubuh TNI dan Polri. Padahal, penggunaan kekerasan oleh tentara hanya sah dilaksanakan melawan musuh negara dalam masa perang, sementara penggunaan kekuatan oleh penegak hukum hanya sah dilaksanakan secara proporsional dalam penegakan hukum atau pemulihan ketertiban hanya jika persuasi, nasihat, dan peringatan ternyata tidak cukup.

Jika pimpinan TNI dan Polri secara konkret memperhatikan masalah-masalah hubungan antara TNI dan Polri di level akar rumput, disiplin keprajuritan TNI dan anggota Polri, serta budaya kekerasan di tubuh TNI dan Polri, barulah kita dapat berekspektasi bahwa insiden-insiden seperti penyerangan Polsek Ciracas ini tidak akan terjadi lagi di masa depan. Jika tidak, kita ditakdirkan untuk mengulang kembali realitas ini.