Konflik Papua: Pemerintah Perlu Mengubah Pendekatan Keamanan dengan Pendekatan Humanis

Tangguh Chairil, Wendsney A. Sadi

 

Pdf version available Konflik Papua (fin.)

 

Ringkasan

Konflik Papua terus memanas sejak serangan di Nduga akhir 2018 dan unjuk rasa di Papua pada 2019. Hingga sekarang, pemerintah terus melanjutkan pendekatan berbasis keamanan di Papua, dengan meningkatkan kehadiran aparat keamanan (TNI dan Polri) melawan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) seperti TPNPB-OPM. Seiring dengan pendekatan keamanan ini, jumlah korban di Papua terus meningkat, baik dari pihak aparat keamanan, KKSB, maupun warga sipil. Sementara itu, akar penyebab konflik Papua, yaitu sengketa historis terkait integrasi Irian Barat ke Indonesia, kasus pelanggaran hak asasi manusia yang belum terselesaikan, dan meningkatnya marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua, masih belum terselesaikan. Kami menyimpulkan bahwa pemerintah perlu mengubah pendekatan keamanan terhadap konflik Papua, dan menyarankan pemerintah melakukan pendekatan humanis yang menyentuh akar penyebab konflik tersebut.

Komentar

Akhir-akhir ini, warga Indonesia marak memperbincangkan Vanuatu. Pasalnya, Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman mengangkat masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua pada Sesi ke-75 Sidang Umum PBB pada 26 September 2020.[1] Indonesia menjawab dengan mengatakan bahwa Vanuatu mengangkat “masalah HAM yang artifisial” dan bahwa Vanuatu “bukan perwakilan Papua”.[2] Warganet Indonesia pun ikut “menyerang” Vanuatu melalui media sosial dengan meninggalkan komentar-komentar rasis di akun Facebook dan Instagram Vanuatu Tourism Office.[3]

Alih-alih menyerang Vanuatu, kami berpikir bahwa momen ini sesungguhnya penting untuk merefleksikan tudingan Vanuatu tersebut: Apakah benar pelanggaran HAM di Papua adalah masalah yang artifisial? Yang jelas, konflik Papua terus memanas hingga sekarang, dan tidak ada tanda-tanda konflik ini akan teresolusi dalam waktu dekat. Konflik Papua telah berlangsung selama lebih dari setengah abad, tetapi terus memanas dalam dua tahun terakhir. Pemicunya antara lain serangan yang menewaskan 31 pekerja konstruksi di Kabupaten Nduga pada 1 Desember 2018, dan serangkaian unjuk rasa di Papua pada Agustus–September 2019.

Terkait serangan di Nduga pada 2018, aparat keamanan Indonesia menduga bahwa serangan tersebut diatur oleh Egianus Kogoya, pemimpin sayap bersenjata OPM di Nduga. Pemerintah pusat pun mengirimkan 154 tentara dan polisi untuk memulihkan keamanan.[4] Akan tetapi, konflik di Nduga justru tereskalasi, yang berdampak langsung pada penduduk sipil. Pada 20 Desember 2018, Pemerintah Kabupaten Nduga menemukan jenazah empat warga sipil,[5] yang menurut juru bicara TNI diduga terjebak dalam baku tembak antara militer dan kelompok bersenjata.[6] Pada 14 Agustus 2019, tim kemanusiaan yang dibentuk oleh Pemkab Nduga mengatakan bahwa 182 orang telah tewas di kamp-kamp pengungsi, tetapi pemerintah pusat mengatakan bahwa jumlah pengungsi yang meninggal adalah 53 orang.[7] Pada 10 Oktober 2019, warga menemukan lima jenazah di dalam lubang yang ditutupi dedaunan dan terkubur tanah.[8] Akhirnya, pada 24 Desember 2019, Wakil Bupati Nduga Wentius Nimiangge mengundurkan diri dari jabatannya karena terus berlangsungnya kekerasan dan pembunuhan warga sipil di Papua.[9]

Adapun unjuk rasa di Papua pada 2019 dipicu oleh insiden rasis di Surabaya, di mana 43 mahasiswa Papua ditangkap karena dituduh tidak menghormati bendera Indonesia. Dalam kurun waktu sebulan, ribuan orang Papua melakukan protes di seluruh Papua Barat dan Papua. Di beberapa lokasi, unjuk rasa berkembang menjadi kerusuhan yang menewaskan lebih dari 30 orang.[10] Pemerintah merespons dengan menerapkan pemadaman internet di Papua mulai 22 Agustus 2019, mengirim 6.000 tentara dan polisi tambahan ke Papua,[11] melarang unjuk rasa,[12] membatasi akses warga negara asing ke Papua,[13] dan menangkap 733 orang.[14] Kerusuhan tersebut menyebabkan 15.000 warga sipil dievakuasi dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya.[15]

Sepanjang 2019, tercatat ada 21 kali baku tembak antara aparat keamanan (TNI dan Polri) dan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB), menewaskan sembilan prajurit TNI dan dua personel Polri serta sepuluh warga sipil.[16] Tingkat kekerasan ini berlanjut hingga 2020. Armed Conflict Location and Event Data Project (ACLED) mencatat bahwa pada 1 Januari-26 September 2020, terdapat 100 peristiwa konflik di Papua dan Papua Barat, yang terdiri atas 40 pertempuran, 22 kerusuhan, dan 38 kekerasan terhadap warga sipil, dengan jumlah korban jiwa mencapai 57 orang. Sebagai perbandingan, jumlah peristiwa konflik di Papua dan Papua Barat sepanjang 2019 adalah 96 peristiwa (lihat Tabel 1).[17]

Tabel 1. Jumlah Peristiwa Konflik di Papua dan Papua Barat, 2019 dan 2020

Konflik Papua 1 Januari-31 Desember 2019 1 Januari-26 September 2020
Peristiwa konflik (events) 96 100
●       Pertempuran (battles) 27 40
●       Kerusuhan (riots) 19 22
●       Kekerasan terhadap warga sipil (violence against civilians) 50 38
Korban jiwa (fatalities) 145 57

Sumber: ACLED

Data di atas menunjukkan bahwa jika pemerintah terus melanjutkan pendekatan berbasis keamanan terhadap konflik Papua, konflik akan terus berlarut-larut dan meningkatkan jumlah korban. Sebenarnya, selain pendekatan keamanan, pemerintah pada masa jabatan pertama Presiden Joko Widodo (2014-2019) juga telah meningkatkan fokus pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Papua. Pendekatan ini adalah pendekatan yang baik dan harus diperpanjang dalam periode kedua Jokowi sekarang. Pada 17 Desember 2019, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD telah mengatakan bahwa dalam lima tahun ke depan, pemerintah akan mendorong lima program pembangunan di Papua.[18] Hal ini menandakan bahwa pemerintah akan melanjutkan fokus pada pendekatan ekonomi.

Akan tetapi, selain pendekatan ekonomi, hal yang lebih mendesak adalah pemerintah harus memecahkan akar penyebab konflik Papua, yang hingga sekarang masih belum terselesaikan. Hal ini sesuai dengan teori-teori tentang kontrainsurgensi atau penumpasan pemberontakan, yang melihat bahwa akar masalah pemberontakan biasanya tidak hanya terkait politik atau wilayah teritorial. Lebih dari itu, suatu pemberontakan cenderung berkembang dalam kondisi represi ideologi, agama, etnis, budaya, hingga ekonomi. Oleh karena itu, negara yang melakukan kontrainsurgensi harus menggunakan strategi dan program untuk memenangkan dukungan rakyat dalam mengalahkan pemberontakan (“winning hearts and minds”) untuk melegitimasi pengaruh negara. Seperti dirumuskan oleh pakar kontrainsurgensi Prancis, David Galula, kontrainsurgensi ideal adalah 20% aksi militer dan 80% politik untuk memenangkan dukungan rakyat tersebut.[19] Penggunaan kekuatan militer yang berlebihan justru cenderung kontraproduktif, karena dapat menyebabkan korban sipil dan menurunkan legitimasi pemerintah.[20]

Apa saja akar penyebab konflik Papua, yang harus diselesaikan pemerintah untuk memenangkan dukungan rakyat Papua? Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah merumuskan empat akar permasalahan yang menyebabkan konflik di Papua, yaitu:[21]

  1. Sejarah integrasi Papua ke Indonesia yang dilakukan melalui referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 terindikasi adanya kecurangan yang dilakukan pemerintah Indonesia karena tidak sesuai dengan isi dari Perjanjian New York, yaitu “one man one vote”;[22]
  2. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan negara yang berlangsung hingga saat ini;
  3. Marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua yang terus meningkat; serta
  4. Kegagalan pembangunan infrastruktur sosial yang terjadi di Papua, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, serta ekonomi rakyat.

Alih-alih diselesaikan, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan negara di Papua justru meningkat akhir-akhir ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) perwakilan Papua mencatat terdapat 159 kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan sepanjang tahun 2019. Sebagai perbandingan, sepanjang 2018 Komnas HAM Papua menerima 68 pengaduan dan sepanjang 2017 menerima 89 pengaduan.[23] Selain itu, Amnesty International Indonesia juga mencatat setidaknya terdapat 26 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan terhadap warga sipil di Papua antara Maret 2018 hingga 14 Mei 2020.[24] Beberapa kasus pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan, di antaranya peristiwa Paniai, Wasior, dan Wamena, menambah kompleksitas konflik di Papua.[25] Bentuk kekerasan lainnya yang dilaporkan Amnesty International Indonesia terkait kondisi HAM di Papua kepada Komisi HAM PBB di antaranya terkait pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai, diskriminasi rasial, dan hak untuk menentukan nasib sendiri, tidak adanya proses hukum yang adil terhadap aktivis damai Papua, pembatasan maupun pemblokiran akses informasi baik ke dalam maupun ke luar Papua, hingga kepada tidak layaknya kondisi hidup yang dialami pengungsi Nduga yang menyebabkan trauma berkepanjangan.[26]

Selain masalah pelanggaran HAM, marginalisasi dan diskriminasi rasial yang kerap terjadi terhadap identitas orang Papua juga terus meningkat. Marginalisasi yang dirasakan terjadi pada beberapa sektor, seperti ekonomi, pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, hingga pada level politik.[27] Misalnya, kebijakan transmigrasi dan tingginya arus migrasi ke Papua menyebabkan jumlah pendatang melebihi orang asli Papua (OAP) yang menjadi minoritas di wilayahnya sendiri.[28] Diprediksi pada tahun 2030, jumlah penduduk OAP hanya sekitar 15,2 persen dari total 15,6 juta jiwa penduduk di wilayah Papua, atau dengan perbandingan 1:6,5.[29] Sementara itu, pada sektor politik, marginalisasi dapat dilihat  dari minimnya keterwakilan OAP di lembaga legislatif Papua dan Papua Barat, bahkan di bawah 50% (lihat Tabel 2). Kondisi ini dikhawatirkan berdampak pada kecemburuan akibat kesenjangan.[30]

Tabel 2. Keterlibatan Orang Asli Papua (OAP) di Kursi DPRD Papua dan Papua Barat 2019

Kota/Kabupaten Total Kursi Perwakilan OAP Persentase
Kota Jayapura 40 13 orang 32,5%
Kabupaten Jayapura 25 7 orang 28%
Kabupaten Sarmi 20 7 orang 35%
Kabupaten Boven Digoel 20 4 orang 20%
Kabupaten Merauke 30 3 orang 10%
Kabupaten Keerom 23 7 orang 30,4%
Kabupaten Sorong 20 3 orang 15%
Kabupaten Fakfak 20 8 orang 40%
Kabupaten Raja Ampat 20 9 orang 45%
Kota Sorong 30 6 orang 20%
Kabupaten Teluk Wondama 25 11 orang 44%

Sumber: DPR Papua

 Sementara itu, diskriminasi rasial yang terjadi di kalangan orang Papua juga terus meningkat. Selain peristiwa Surabaya dan Jawa Timur yang terjadi pada 2019, stigma negatif dan diskriminasi terhadap orang Papua masih sering terjadi, baik di kalangan masyarakat biasa, pelajar/mahasiswa, guru/dosen hingga kepada pejabat/elit politik yang memiliki ras asli Papua (Melanesia). Berbagai lontaran kata-kata rasis sudah sering disampaikan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Selain itu, berbagai bentuk diskriminasi secara umum seperti ketidakadilan dalam proses penegakan hukum, hak ekonomi yang dirampas, serta kesenjangan sosial yang tinggi hingga pelecehan terhadap budaya asli orang Papua masih sering terjadi.[31]

Gagalnya pembangunan infrastruktur sosial juga menjadi akar konflik di Papua. Hal ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa angka harapan hidup orang Papua dan Papua Barat pada tahun 2019 adalah yang paling pendek se-Indonesia, yaitu antara 65,65 tahun hingga 65,90 tahun. Ini bahkan jauh lebih rendah dari rata-rata nasional, yaitu 71,34 tahun. Sedangkan pada sektor pendidikan, rasio buta huruf di wilayah Papua pada 2018 adalah yang paling tinggi se-Indonesia, yaitu 28,75%. Rasio ini jauh lebih tinggi dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menempati posisi ke-2, yaitu 7,9%. Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah Papua pada 2019 menempati posisi paling rendah di Indonesia, yaitu berkisar antara 64,7 poin untuk Papua Barat dan 60,84 poin untuk Papua. Angka ini jauh lebih rendah dari rata-rata nasional, yaitu 71,92 poin.[32] Selain itu kebijakan otonomi khusus (Otsus) yang diberlakukan mulai 2001 di Papua dianggap gagal. Dana Otsus yang pada awalnya diasumsikan dapat menyejahterakan orang Papua gagal karena hingga saat ini wilayah Papua merupakan daerah paling miskin di Indonesia, di mana angka kemiskinan di Provinsi Papua mencapai 38% dan di Provinsi Papua Barat mencapai 40%.[33] Persoalan-persoalan di atas kemudian menjadi dasar dari konflik yang selama ini terjadi di Papua sehingga menyebabkan peningkatan aksi protes dan kemunculan kelompok-kelompok proreferendum baru.

Terakhir, seperti telah disampaikan oleh LIPI, penyelesaian akar masalah konflik Papua hanya dapat dilakukan dengan dialog, tidak dapat dengan intervensi kekerasan. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu memulai dialog dengan tokoh separatis Papua di bawah mediasi pihak ketiga yang netral. Sebenarnya, pada September 2019, Presiden Jokowi menyatakan bahwa ia tidak ada masalah dengan usulan untuk bertemu dengan tokoh pro referendum Papua seperti Benny Wenda,[34] tetapi belum ada jadwal yang disepakati. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, yang juga mantan Panglima TNI, mengatakan sebelum bertemu dengan Presiden Jokowi, Benny Wenda harus bertemu dengannya terlebih dahulu.[35] Ini menandakan bahwa setiap upaya untuk melakukan dialog dengan tokoh separatis Papua akan menghadapi perlawanan dari anggota Kabinet yang banyak di antaranya adalah mantan perwira TNI atau Polri. Padahal, ini adalah langkah penting untuk menyelesaikan konflik Papua, yang hingga kini terus memanas dan memakan korban.

“NKRI harga mati”, demikian slogan bangsa ini terkait kedaulatan dan keutuhan wilayah teritorial. Kami merasa jumlah korban jiwa dari konflik ini telah lebih dari cukup. Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa pemerintah perlu mengubah pendekatan keamanan terhadap konflik Papua, dan menyarankan pemerintah melakukan pendekatan humanis yang menyentuh akar penyebab konflik tersebut.

________________________________________________

Tangguh Chairil adalah Dosen Studi Keamanan di Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara dengan konsentrasi studi keamanan. Wendsney A. Sadi merupakan mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara dengan konsentrasi studi keamanan. Memiliki antusiasme tinggi terhadap isu keamanan internasional, konflik dan perdamaian, isu keamanan di Timur Tengah, isu terorisme, dan konflik di Papua.

Referensi

[1] Lihat rekaman pernyataan PM Vanuatu Bob Loughman di United Nations YouTube, 26 September 2020, “Vanuatu – Prime Minister Addresses General Debate, 75th Session”, https://www.youtube.com/watch?v=Pd6q1W2VMag dan naskah pernyataannya di United Nations Meetings, 26 September 2020, “Statement by Hon. Bob Loughman Weibur, Prime Minister of the Republic of Vanuatu”, https://estatements.unmeetings.org/estatements/10.0010/20200926/zRoJPMqtsmnf/jbPyft3mwCRj_en.pdf.

[2] Lihat rekaman hak jawab Indonesia di United Nations YouTube, 26 September 2020, “Indonesia – 1st Right of Reply, General Debate, 75th Session”, https://www.youtube.com/watch?v=3xrFo8ZrRv4.

[3] Lihat https://www.liputan6.com/global/read/4370990/begini-tanggapan-vanuatu-soal-komentar-rasis-netizen-indonesia-di-instagram.

[4] Kompas.com, 5 Desember 2018, “154 Personel TNI/Polri Dikirim ke Papua untuk Pulihkan Keamanan”, https://nasional.kompas.com/read/2018/12/05/10222021/154-personel-tnipolri-dikirim-ke-papua-untuk-pulihkan-keamanan?page=all.

[5] Kumparan.com, 20 Desember 2018, “Pemkab Nduga: 4 Warga Sipil Ditemukan Tewas, Diduga Tertembak”, https://kumparan.com/bumi-papua/pemkab-nduga-4-warga-sipil-diduga-tewas-tertembak-senjata-api-1545261880277687566.

[6] BBC News Indonesia, 20 Desember 2018, “Empat Tewas di Nduga, Papua: ‘Mereka Warga Sipil yang Melarikan Diri ke Hutan’”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46625432.

[7] BBC News Indonesia, 14 Agustus 2019, “Korban Meninggal Akibat Konflik di Nduga, Papua 182 Orang: ‘Bencana Besar Tapi di Jakarta Santai-Santai Saja’”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49345664.

[8] Suara.com, 13 Oktober 2019, “Lima 5 Mayat Ditemukan dalam 1 Lubang di Nduga Papua, TNI Bantah Menembak”, https://www.suara.com/news/2019/10/13/154702/lima-5-mayat-ditemukan-dalam-1-lubang-di-nduga-papua-tni-bantah-menembak.

[9] CNN Indonesia, 24 Desember 2019, “Wabup Nduga Papua Mundur: Jabatan Ini Dilepas dengan Jenazah”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191224190238-20-459716/wabup-nduga-papua-mundur-jabatan-ini-dilepas-dengan-jenazah.

[10] Kompas.com, 25 September 2019, “Korban Kerusuhan Wamena Bertambah Jadi 30 Orang, Ini Pernyataan Gubernur Papua”, https://regional.kompas.com/read/2019/09/25/19283921/korban-kerusuhan-wamena-bertambah-jadi-30-orang-ini-pernyataan-gubernur?page=all.

[11] Okezone, 1 September 2019, “6.000 TNI-Polri Dikirim ke Papua dan Papua Barat”, https://nasional.okezone.com/read/2019/09/01/337/2099211/6-000-tni-polri-dikirim-ke-papua-dan-papua-barat.

[12] Detikcom, 1 September 2019, “Kapolda Papua Terbitkan Maklumat Larangan Demo Rusuh-Sebar Hasutan”, https://news.detik.com/berita/d-4689640/kapolda-papua-terbitkan-maklumat-larangan-demo-rusuh-sebar-hasutan.

[13] Katadata.co.id, 2 September 2019, “Pemerintah Batasi Akses Warga Negara Asing Kunjungi Papua”, https://katadata.co.id/berita/2019/09/02/pemerintah-batasi-akses-warga-negara-asing-kunjungi-papua.

[14] CNN Indonesia, 24 September 2019, “733 Orang Ditangkap Usai Rusuh di Jayapura”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190924092527-12-433261/733-orang-ditangkap-usai-rusuh-di-jayapura.

[15] Kompas.com, 5 Oktober 2019, “Hampir 15.000 Warga Telah Dievakuasi dari Wamena”, https://regional.kompas.com/read/2019/10/05/14304401/hampir-15000-warga-telah-dievakuasi-dari-wamena-ke-jayapura?page=all.

[16] Liputan6.com, 28 Desember 2019, “10 Anggota TNI – Polri Tewas Akibat Baku Tembak dengan KKB di Papua Selama 2019”, https://www.liputan6.com/regional/read/4143923/10-anggota-tni-polri-tewas-akibat-baku-tembak-dengan-kkb-di-papua-selama-2019, dan CNN Indonesia, 30 Desember 2019, “Seorang Anggota TNI Tewas Saat Baku Tembak dengan KKB Papua”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191230162326-20-461079/seorang-anggota-tni-tewas-saat-baku-tembak-dengan-kkb-papua.

[17] Armed Conflict Location and Event Data Project, diakses pada 30 September 2020 dari https://acleddata.com/.

[18] Detikcom, 17 Desember 2019, “Mahfud Md: Membangun Papua Harus Holistik, Tidak Bisa Sendiri-sendiri”, https://news.detik.com/berita/d-4825774/mahfud-md-membangun-papua-harus-holistik-tidak-bisa-sendiri-sendiri.

[19] “’Perang revolusioner adalah 20% aksi militer dan 80% politik’ adalah formula yang mencerminkan kebenaran.” David Galula (1964), Counterinsurgency Warfare: Theory and Practice, Praeger Security International, hlm. 63.

[20] Montgomery McFate dan Andrea V. Jackson (2006), “The Object Beyond War: Counterinsurgency and the Four Tools of Political Competition”, Alexandria, Virginia: Institute for Defense Analyses, Joint Warfighting Analysis Program, hlm. 15.

[21] Pusat Penelitian Politik LIPI (2011), “Riset LIPI: Empat Akar Masalah Konflik Papua Penyelesaian Hanya dengan Dialog, Tak Bisa dengan Intervensi Kekerasan”, http://politik.lipi.go.id/in/kolom/kolom-papua/547-riset-lipi-empat-akar-masalah-konflik-papua-penyelesaian-hanya-dengan-dialog-tak-bisa-dengan-intervensi-kekerasan-.html.

[22] CNN Indonesia, 21 Agustus 2019, “Perjanjian New York 1962 dan Pangkal Kisruh di Tanah Papua”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190820184732-20-423159/perjanjian-new-york-1962-dan-pangkal-kisruh-di-tanah-papua.

[23] CNN Indonesia, 11 Desember 2019, “Komnas HAM Papua Terima 154 Pengaduan Sepanjang 2019”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191211080848-20-455921/komnas-ham-papua-terima-154-pengaduan-sepanjang-2019.

[24] Amnesty International Indonesia (2020), “Civil and Political Rights’ Violations in Papua and West Papua”, https://www.amnesty.id/wp-content/uploads/2020/06/ASA2124452020ENGLISH.pdf.

[25] Adriana Elisabeth (2017), “Memahami Akar Masalah Papua dan Kemungkinan Solusinya”,  The Conversation, 22 November 2017, https://theconversation.com/memahami-akar-masalah-papua-dan-penyelesaiannya-jangan-gegabah-87785.

[26] Amnesty International Indonesia, 8 Juni 2020, “Papua: 5 Masalah HAM yang Harus Diselesaikan”, https://www.amnesty.id/papua-5-masalah-ham-yang-harus-diselesaikan/.

[27] Media Indonesia, 29 November 2019, “Masalah Utama Papua adalah Marjinalisasi”, https://mediaindonesia.com/read/detail/274675-masalah-utama-papua-adalah-marjinalisasi.

[28] MRP Papua, 30 November 2019, “Majelis Rakyat Papua: Pendatang Melebihi Jumlah Penduduk Asli”, http://mrp.papua.go.id/2019/11/30/majelis-rakyat-papua-pendatang-melebihi-jumlah-penduduk-asli/.

[29] Suara Papua, 7 Juli 2019, “Operasi Militer dan Depopulasi Orang Asli Papua”, https://suarapapua.com/2019/07/07/operasi-militer-dan-depopulasi-orang-asli-papua/.

[30] Dewan Perwakilan Rakyat Papua, “Keterwakilan OAP di DPRD se-Papua Sangat Minim”, https://dpr-papua.go.id/keterwakilan-oap-di-dprd-se-papua-sangat-minim/.

[31] Jubi.co.id, 21 Oktober 2019, “Korban dalam Keberagaman: Kentalnya Rasisme dan Diskriminasi Terhadap Orang Papua”, https://jubi.co.id/korban-dalam-keberagaman-kentalnya-rasisme-dan-diskriminasi-terhadap-orang-papua/

[32] Republika Online, 20 Juni 2020, “#PapuaLivesMatter, Kelindan Rasialisme dan Separatisme”, https://www.republika.co.id/berita/qc7hiu393/papualivesmatter-kelindan-rasialisme-dan-separatisme.

[33] IndoProgress, 24 Juli 2019, “Menimbang Pendekatan Baru untuk Papua: Rekomendasi untuk Jokowi”, https://indoprogress.com/2019/07/menimbang-pendekatan-baru-untuk-papua-rekomendasi-untuk-jokowi/.

[34] CNN Indonesia, 30 September 2019, “Jokowi Siap Bertemu Tokoh Pro Referendum Papua”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190930140128-12-435335/jokowi-siap-bertemu-tokoh-pro-referendum-papua.

[35] Kompas.com, 10 Oktober 2019, “Moeldoko: Sebelum Bertemu Jokowi, Benny Wenda Bertemu Saya Dulu”, https://nasional.kompas.com/read/2019/10/10/12574231/moeldoko-sebelum-bertemu-jokowi-benny-wenda-bertemu-saya-dulu.