Kala AS Ingin Pastikan Indonesia tak di Bawah Pengaruh China

REPUBLIKA.co.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (29/10) siang. Pertemuan berlangsung sekitar pukul 11.00 WIB.

Saat bertemu, keduanya pun tampak mengikuti protokol kesehatan dengan mengenakan masker. Setelah melakukan veranda talk, keduanya langsung melakukan pertemuan bilateral. Presiden Jokowi mengatakan, kunjungan Menlu AS ke Indonesia ini menunjukan arti penting kemitraan strategis antara kedua negara.

“Kunjungan Anda di tengah pandemi ini menunjukkan arti penting kemitraan strategis antara Indonesia dan Amerika,” kata Jokowi.

Bahkan, menurut Jokowi, selama pandemi Covid-19, saling kunjung antara pejabat Indonesia dan AS berlangsung cukup intensif.

“Bahkan dapat saya sampaikan paling intensif,” tambahnya.

Mike Pompeo tiba di Jakarta pada Kamis (29/10) dini hari dalam rangka kunjungan kerjanya ke sejumlah negara di Asia. Selama di Jakarta, Pompeo melakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan juga menghadiri acara Forum Gerakan Pemuda Anshor mengenai dialog agama dan peradaban,

Foto selebaran yang disediakan oleh Istana Kepresidenan Indonesia menunjukkan Presiden Indonesia Joko Widodo (kiri) menyapa Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo (kanan) selama pertemuan mereka di Istana Kepresidenan di Bogor, Indonesia, 29 Oktober 2020. Pompeo sedang dalam kunjungan resmi ke Indonesia untuk bertemu pejabat tinggi negara dan menghadiri dialog dengan kelompok pemuda muslim GP Ansor. (doc. Republika)

 

Sebelum ke Indonesia, Pompeo terlebih dulu melakukan kunjungan ke India, Kolombo, Sri Lanka, dan Male, Maladewa untuk membahas kerjasama AS dengan negara-negara tersebut.

Lawatan Pompeo ke Tanah Air kali ini pun memantik ragam spekulasi para analis. Namun, sebagian senada, bahwa AS tengah meminta kepastian tentang keberpihakan Indonesia.

“Dunia sekarang terbelah dua antara pro-China dan pro-Amerika Serikat, jadi AS ingin mendapat kepastian dari negara non-blok, karena saat ini situasi sangat kritis, jadi dia ingin mendapat kepastian,” kata pengamat geopolitik internasional Teuku Rezasyah, Kamis (29/10).

Teuku mengatakan, AS berusaha menahan pengaruh China di berbagai belahan dunia. Terutama banyak kepentingan China yang bertabrakan dengan kepentingan negara lain seperti yang terjadi di Laut Cina Selatan (LCS), perbatasan dengan India, dengan Jepang dan memaksakan kendali di Taiwan.

“AS berpikir harus bertindak terhadap China yang tidak taat dan berbahaya bagi keamanan dunia, karena itu dia menggalang persatuan di mana-mana,” kata Teuku.

Dalam pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi di kantor ASEAN, Pompeo memuji kepemimpinan Jakarta untuk memukul mundur klaim-klaim China ‘yang melanggar hukum’. Ia juga memuji Indonesia yang menurutnya berhasil mempertahankan wilayahnya.

Menurut Teuku, Indonesia akan tetap mempertahankan posisi non-blok. Ia mengatakan prinsip diplomasi bebas aktif yang Indonesia terapkan harus berkualitas. Indonesia, kata Teuku, harus bisa membeli alutsista dari negara mana pun yang dirasa cocok.

Dalam pertemuan dengan Pompeo, Retno juga kembali menawarkan Washington untuk melakukan investasi di pulau-pulau terluar Indonesia seperti Natuna. “Saya mendorong pengusaha AS berinvestasi lebih banyak di Indonesia termasuk di pulau-pulau terluar seperti Natuna,” kata Retno.

Bagi Teuku, tawaran itu lebih bersifat investasi dibandingkan urusan pertahanan dan geopolitik. Menurutnya, AS dapat berinvestasi di bidang penyimpanan ikan, budidaya ikan, pariwisata, pelayaran, dan eksplorasi gas dan minyak

“Karena itu AS membutuhkan Indonesia menjaga stabilitas dan mengawal zona ekslusif,” kata Teuku.

Pengamat geopolitik internasional dari Universitas Bina Nusantara Aditya Permana mengatakan, Natuna akan menjadi wilayah yang riskan. Terutama bila AS benar-benar berinvestasi di salah satu pulau terluar di Indonesia itu.

“Bila kerja sama di Indo-Pasifiknya lancar, Natuna akan menjadi daerah yang sengit untuk konflik karena itu daerah yang head-to-head dengan China,” kata Aditya, Kamis (29/10).

Pada tahun ini menurut Aditya memang sudah ada tanda Natuna akan menjadi wilayah yang sarat konflik. Salah satunya ketika AS memperkuat kembali kemitraan strategis dengan Filipina bulan Juli lalu.

Pemerintah Presiden Filipina Rodrigo Duterte diketahui telah perpanjang The Visiting Forces Agreement (VFA) atau perjanjian kunjungan pasukan dengan AS di Filipina. Perjanjian yang ditandatangani pada 1988 tersebut, memberikan akses bagi pesawat dan kapal militer AS masuk ke Filipina.

“Jadi AS memiliki pangkalan militer yang tidak jauh dari situ, yang pasti akan mempengaruhi secara strategis, secara geopolitik, dalam konteks Natuna, dalam konteks antara Amerika dengan Indo-Pasifik, China dengan yang lainnya,” kata Aditya.

Adapun, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, lawatan Pompeo ke Indonesia adalah untuk memberi pesan kepada China.

“Kehadiran Menteri Luar Negeri Pompeo ke Indonesia untuk bertemu dengan mitranya Menlu Retno Marsudi dan beraudiensi dengan Presiden Joko Widodo positif untuk memberi pesan kepada China yang belakangan sangat agresif di Laut China Selatan,” ujar Hikmahanto Juwana dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

Hikmahanto menggarisbawahi pernyataan Menlu Retno Marsudi bahwa semua negara diminta untuk menghormati UNCLOS di LCS yang sangat diapresiasi oleh Pompeo. Pernyataan ini tentu mengkritik klaim China atas wilayah di sembilan garis putus yang tidak memiliki dasar dalam UNCLOS dan telah dinyatakan demikian oleh putusan Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016.

Indonesia menunjukkan sikap tidak gentar untuk menyampaikan kritik tersebut meski Indonesia bergantung pada utang dari China. Menurut Hikmahanto, itu menunjukkan Indonesia telah menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif dimana Indonesia tidak berpihak ke China maupun AS tetapi pada hukum internasional, khususnya UNCLOS.

Namun di sisi lain, menurut dia, ada hal yang diharapkan oleh Menteri Luar Negeri Pompeo yang tidak mungkin direalisaikan oleh Indonesia. Harapan tersebut, tambah dia, adalah Indonesia menjadi pilar bagi ASEAN, terutama untuk menghadapi China.

“Harapan ini sulit untuk direalisasi oleh Indonesia mengingat Indonesia menjalankan kebijakan luar negeri yang bebas aktif sehingga tidak mungkin akan menbawa ASEAN untuk berada di belakang AS dalam menghadapi China.”

Pada tahun ini pemerintah Presiden AS Donald Trump memang telah mempertegas sikap Washington di LCS dengan menolak semua klaim China di perairan kaya sumber daya alam tersebut. Keputusan bulan Juli itu menjadi salah satu bahan kampanye Trump untuk menyerang lawannya Joe Biden.

Trump mengatakan, kandidat dari Partai Demokrat itu lemah terhadap China selama menjabat sebagai wakil presiden Barack Obama. Pada era kepemimpinan Obama, AS memang selalu mendesak agar sengketa di Laut Cina Selatan diselesaikan melalui dialog.

Belakangan, China semakin menegaskan kehadiran mereka di LCS sehingga memicu gesekan dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina dan Malaysia. Beijing mengabaikan putusan arbitrase yang memutuskan sengketa diselesaikan melalui perundingan.

Dalam pernyataan 13 Juli lalu, Pompeo mengatakan, China tidak bisa mengklaim secara ilegal pulau James Shoal dekat Malaysia, perairan sekitar Vanguard Bank lepas pantai Vietnam, Luconia Shoals dekat Brunei atau pulau Natuna Besar di perairan Indonesia. Pada Kamis ini di Jakarta, Pompeo menilai, langkah Indonesia melindungi Natuna Besar menjadi contoh ‘langkah yang menentukan dalam menjaga kedaulatan maritim’.

“Saya menantikan kerja sama dengan cara baru dalam bidang keamanan maritim dan melindungi sejumlah jalur perdagangan tersibuk di dunia,” kata Pompeo.

_______________________________________________

Artikel ini telah dirilis oleh Republika.co.id pada Jumat 30 Oktober 2020 di https://republika.co.id/berita/qiz3cb409/kala-as-ingin-pastikan-ri-tak-di-bawah-pengaruh-china