Mudah namun Bisa Jadi Rumit: Komunikasi di Tahun 2020
Pernahkah anda mendapat masalah karena komunikasi yang buruk? Entah itu pertengkaran dengan kerabat atau teman, kesempatan karier atau bisnis yang hilang, atau sekadar memberikan kesan yang berbeda dari apa yang anda niatkan, komunikasi yang buruk dapat menjadi sumber dari banyak malapetaka dalam kehidupan sehari-hari.
Pada Selasa (10/11), Universitas Bina Nusantara mengadakan webinar bertajuk “Communication Skills”. Ditujukan kepada para mahasiswa yang tergabung dalam program Combination Track semester ganjil 2020/2021, seminar tersebut dimaksudkan untuk mempersiapkan para mahasiswa dengan berbagai skills yang dibutuhkan untuk terjun ke dunia pekerjaan nantinya. Seminar tersebut membuktikan bahwa kemampuan komunikasi adalah salah satu, jika bukan yang paling penting, dari berbagai skills yang diperlukan tersebut.
Pembicara pertama adalah Naila. Seorang relationship officer di Bank BCA, ia lebih dari sekadar tahu perihal komunikasi dengan pelanggan; sehari-hari, tugasnya meliputi menerima telefon, email, dan melakukan kunjungan dan presentasi produk kepada para nasabah. Ia telah belajar banyak dari pengalamannya selama kurang lebih lima tahun di posisi tersebut, dan sebagai relationship officer yang juga terpilih sebagai Duta Relationship Officer 2019, ia punya banyak hal untuk dibagi kepada para peserta webinar.
Ia membagi kuliahnya dalam dua topik besar: “Pentingnya komunikasi” dan “Poin-poin penting untuk komunikasi yang efektif”.
Komunikasi—atau mungkin lebih tepatnya, komunikasi yang baik—diperlukan untuk: 1) menyampaikan gagasan, dan 2) membangun hubungan antar-orang. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, jika tidak dieksekusi dengan baik, komunikasi justru dapat mencegah kita untuk mencapai kedua hal tersebut. Ide-ide brilian yang sebenarnya dapat memberikan kontribusi positif di kampus maupun tempat kerja malah berakhir diabaikan oleh teman atau kolega; tawaran pekerjaan atau peluang bisnis lenyap begitu saja karena terlambat membalas email; perkataan yang diniatkan sebagai pujian malah dianggap sebagai sindiran, dan sebagainya.
Topik kedua, yakni poin-poin penting untuk komunikasi yang efektif, disampaikan secara ringkas namun tetap berisi. Poin pertama adalah soal menjaga mood. Ini diperlukan bahkan sebelum komunikasi itu dimulai. Dengan pikiran yang jernih, kata-kata yang kita keluarkan secara otomatis akan lebih baik dibanding jika kita berada dalam mood yang buruk. Dan dengan pikiran yang jernih pula, kita akan dapat lebih mengontrol suara kita, baik dari segi volume maupun intonasi. Meski terdengar sepele, dua hal tersebut adalah penting untuk diperhatikan karena sangat bisa menentukan kesan yang akan didapatkan oleh lawan bicara kita.
Poin selanjutnya adalah tentang menghargai orang lain. Selain dengan membuat perkataan kita terdengar sesopan mungkin, kita juga harus berusaha untuk menjadi pribadi yang hangat dan menyenangkan sebagai lawan bicara. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan berusaha banyak mendengarkan sang lawan bicara, baik itu pendapat, keluhan, bahkan kritikan sekalipun. Mungkin perkataan yang akan kita dengar tidak akan selalu menyenangkan, tetapi dengan mendengarkan, orang-orang yang berbicara dengan kita akan merasa pendapat dan isi hatinya dihargai.
Yang ketiga dan yang terakhir adalah mengenai isi atau konten dari pembicaraan yang kita lakukan. Pastikan pembicaraan kita memang betul-betul dianggap relevan oleh sang lawan bicara. Karena jika tidak, untuk apa pula mereka mendengarkan? Selain menarik, apa yang kita bicarakan juga sebaiknya bernilai, dalam artian dapat memberikan hal-hal berarti seperti pengetahuan, kritik, saran, dan lain sebagainya. Jika tidak bisa berkata yang baik, lebih baik diam, bukan?
Namun, hei, ini 2020. Kita sedang hidup di dalam dunia di mana komunikasi tatap muka akan selalu tergantikan oleh komunikasi daring selama memungkinkan. Lalu bagaimana kita bisa melakukan komunikasi non-tatap muka dengan baik?
Mia Angeline, pembicara kedua pada webinar ini, rasanya merupakan orang yang sangat tepat untuk menjawab pertanyaan ini. Ia merupakan seorang dosen sekaligus Deputy Head of Communication Department di Universitas Bina Nusantara. Seakan dapat membaca pikiran para mahasiswa yang hadir, ia membuka kuliahnya dengan mengakui bahwa virtual meeting memang sering kali lebih melelahkan dibanding non-virtual meeting. Namun, melelahkan tentu bukan berarti dapat diabaikan, sehingga suka atau tidak, kita harus bisa beradaptasi dengan salah satu dari segudang kebiasaan baru ini.
Mia memberikan beberapa tips yang secara spesifik dapat diaplikasikan dalam berkomunikasi melalui berbagai media digital yang ada. Pertama adalah Zoom Meeting. Ada tiga hal yang menurut Mia harus diperhatikan: keperluan teknis, penampilan, dan cara berkomunikasi. Keperluan teknis meliputi segala sesuatu yang berkaitan langsung dengan kelancaran pertemuan, seperti audio dan video. Untuk urusan video, tentu kebanyakan orang sudah mengerti: pilih tempat yang memiliki pencahayaan baik dan jangan membelakangi cahaya. Mia justru lebih menekankan penggunaan mic eksternal untuk meningkatkan kualitas audio yang dihasilkan. Tidak perlu membeli mic yang biasa dipakai dalam pembuatan film atau podcast, katanya. Cukup dengan memakai headphones apa pun yang dilengkapi dengan mic, bahkan jika itu berarti earphones yang kita dapatkan saat membeli smartphone kita.
Selanjutnya adalah terkait penampilan. Kesimpulannya sederhana saja: usahakan jangan memakai kaos atau pakaian lainnya yang dapat memberikan kesan “serampangan” pada diri kita. Meski hal ini dapat sangat bergantung pada dengan siapa kita melakukan Zoom Meeting tersebut, rasanya cukup aman untuk menjadikan aturan ini sebagai “default”.
Yang kedua adalah berkomunikasi lewat chat. Entah itu melalui WhatsApp, LINE, atau platform lainnya, kita harus memperhatikan betul dengan siapa kita berbicara. Jika itu adalah dosen, bos, atau orang yang lebih tua, tentu kita akan menggunakan bahasa yang berbeda dengan jika kita sedang chatting dengan teman sekelas atau rekan kerja. Hal kedua yang harus diingat adalah jangan terlalu banyak berasumsi buruk terkait lawan bicara kita. Karena pesan teks tidak memiliki suara, sering kali kita dihadapkan dengan rasa bingung terkait intonasi dan mood dari sang lawan bicara; apakah suatu kalimat diucapkan dengan nada datar, bersahabat, atau marah. Begitu pula dengan pesan yang terlalu singkat, di mana sering kali kita otomatis berasumsi bahwa pesan yang terlalu singkat = marah. Asumsi-asumsi buruk seperti ini harus kita kurangi, karena bagaimana pun, setiap orang memiliki gaya chatting-nya masing-masing. Ketiga, tetap junjung tinggi etika. Pikir kembali jika kita merasa harus menghubungi orang lain, terutama mereka yang tergolong VIP, lewat jam dua belas malam, misalnya. Kecuali betul-betul darurat, kita selalu bisa menunggu hingga matahari kembali terbit, bukan?
Yang ketiga dan yang terakhir berkaitan dengan komunikasi melalui surel. Mia menegaskan, surel haruslah lebih formal dibanding pesan singkat, sehingga dalam setiap surel, selain menggunakan bahasa yang lebih baku, kita juga harus menggunakan salam pembuka dan penutup.
Tips berikutnya, masih seputar surel, cukup lucu bagi saya. Mia menyebut kesalahan yang masih sering terjadi di masyarakat Indonesia, yakni mengosongkan kolom subjek sama sekali, atau, kekeliruan yang sama umumnya—dan lebih parah—adalah penggunaan kolom subjek dan badan yang terbalik. Saya jadi teringat akan tweet yang viral beberapa waktu lalu, di mana seorang HRD mengeluhkan betapa banyaknya surel lamaran pekerjaan yang dianggapnya tidak sopan. Salah satu yang ia sebut memiliki subjek seperti ini: “Ini Bos Surat Lamaran Kerja Saya, Semoga Bisa Bekerja di Perusahaan Bos”. Mendapatkan ribuan retweets dan likes, cuitan tersebut merefleksikan kenyataan yang masih ada di masyarakat kita.
Pada akhirnya, komunikasi memang ibarat pedang bermata dua. Jika digunakan dengan baik, ia akan dapat membantu kita menciptakan hubungan baik dan memunculkan kesempatan-kesempatan baru untuk kita. Sebaliknya, jika eksekusinya buruk, maka keadaan justru akan dapat menjadi lebih buruk dibanding sebelum komunikasi itu dilakukan. Dan jika urusan sehari-hari yang sepele dapat menjadi kacau karena komunikasi yang kurang baik, bagaimana dengan hal-hal besar seperti pekerjaan?