Penyebab Masyarakat Indonesia Lebih Percaya Mitos Ketimbang Fakta Tentang China

Orde Baru yang anti-China dan program studi China di perguruan tinggi Indonesia yang terbatas pada bidang bahasa dan sastra, menyebabkan minimnya informasi dan orang-orang yang paham tentang China secara menyeluruh.

MINGGU LALU saya membaca sebuah artikel tentang China di Indonesia dan juga mengikuti sebuah acara bedah buku mengenai Islam di China. Salah satu kesimpulan di artikel tersebut adalah “di Indonesia tidak ada pakar China beserta lembaganya yang mampu memberikan informasi dan pengetahuan mutakhir plus mendalam tentang China kepada kalangan pemerintah, partai-partai politik, maupun publik luas yang punya minat pada China”. Selanjutnya, di webinar yang saya ikuti ada sebuah kesimpulan bahwa informasi tentang China di Indonesia masih banyak diisi oleh mitos. Dua kesimpulan ini sebenarnya saling berkaitan dengan satu akar masalah yang sama dan saya akan membahas akar masalah tersebut melalui tulisan ini.

* * *

Pada masa Orde Baru berkuasa, China dianggap sebagai ancaman nasional sehingga apapun yang berkaitan dengan China dipangkas oleh rezim, termasuk di dalamnya adalah mempelajari China beserta kebudayaannya. Segala hal yang berkaitan dengan kepentingan mempelajari China diawasi secara ketat oleh penguasa. Salah satu pengajar di Program Studi Cina (dulu: Sastra Cina) UI menyatakan bahwa pada masa Orde Baru program studinya berada di bawah pengawasan aparat keamanan Orde Baru.

Salah satu konsekuensi dari kebijakan anti-China Orde Baru ini adalah terbatasnya jumlah program studi di universitas yang mempelajari China dan seluruh turunannya. Pada masa ini hanya ada dua Program Studi Sastra Cina di Indonesia. Yang pertama adalah Program Studi Sastra Cina di Universitas Indonesia yang telah berdiri sejak 1950-an. Sementara yang kedua adalah Program Studi Sastra Cina di Universitas Darma Persada yang berdiri pada 1986.

Implikasinya: Pertama, minimnya pasokan orang-orang yang mempelajari China secara akademik dan komprehensif di tengah-tengah masyarakat Indonesia, sebagaimana disampaikan oleh Saiful Hakam dalam artikelnya di atas. Kedua, kajian mengenai China menjadi sulit untuk berkembang karena akses informasi mengenai China sekaligus perdebatan akademik di dalam kajian tersebut juga menjadi terbatas. Ketiga, karena minimnya informasi mengenai China dan juga orang-orang yang memahami China secara akademik dan komprehensif, informasi yang diterima publik mengenai China menjadi sangat terbatas pula. Ketika kekosongan informasi ini terjadi, mitos dan dongeng tentang China mengisi kekosongan tersebut.

* * *

Setelah Orde Baru tumbang pada penghujung tahun 1990-an, kesempatan untuk mempelajari China terbuka luas, terutama setelah K.H. Abdurrahman Wahid –yang saat itu menjabat sebagai presiden Indonesia– mencabut aturan Orde Baru yang membatasi eksistensi budaya China di Indonesia. Perubahan ini mendorong euforia masyarakat untuk mempelajari China. Program studi sastra China berkembang di Indonesia. Banyak universitas membuka program studi sastra/bahasa China, baik di level sarjana maupun diploma.

Namun, program-program studi ini terjebak pada satu masalah: didominasi oleh pelajaran tata bahasa China. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kurikulum program Sastra China di Universitas Bina Nusantara dan Universitas Petra yang didominasi oleh pelajaran tata bahasa China. Padahal, China bukan sekadar bahasa semata. China juga sebuah entitas politik, ekonomi, sejarah, dan sosial-budaya. Konsekuensinya, kajian China di Indonesia kembali sulit berkembang.

Kondisi ini masih diperburuk oleh empat faktor pendukung lainnya. Pertama, iklim akademik yang tidak berjalan di Indonesia. Ini sudah menjadi pemahaman umum bahwa iklim akademik di Indonesia tidak representatif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Perdebatan akademis atas sebuah isu, baik teoritis maupun empiris, minim terjadi.

Sebagai contoh, ketika kita membaca jurnal-jurnal sosial di Indonesia, akan sulit ditemukan adanya perdebatan akademis di sana. Hal yang sama juga ditemukan pada kolom-kolom opini di media massa. Padahal, tanpa perdebatan (yang konstruktif) akan sangat sulit untuk mengembangkan kajian China di Indonesia serta juga memberikan bacaan berkualitas terkait China kepada masyarakat umum. Di luar itu, masih ada masalah kebebasan akademik dan plagiarisme juga yang ikut memperburuk iklim akademik di Indonesia dan menyulitkan perkembangan kajian China di Indonesia.

Kedua, dukungan riset yang tidak representatif. Ini juga masalah laten di dunia akademik Indonesia. Kritik atas anggaran dana penelitian dan fasilitas perpustakaan yang minim untuk mendukung riset sudah jamak didengar. Namun, jika kita tidak ingin mengatakan mandek, perbaikannya berjalan lambat. Hingga saat ini anggaran penelitian di Indonesia hanya 0,25% dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto). Kemudian, proses administratif untuk mendapatkan dana penelitian tersebut pun sungguhlah birokratis.

Lalu, bagaimana dengan fasilitas perpustakaan di lingkungan kampus? Coba saja Anda pergi ke salah satu universitas di Indonesia lalu cek kelengkapan koleksinya. Anda akan menemukan jumlah koleksi yang terbatas. Selain itu, jumlah koleksi barunya pun minim.

Terakhir, politisasi isu China yang terus berlangsung pascademokratisasi dan hoaks yang semakin masif sejak demokratisasi Indonesia terjadi. Dua hal ini sangat terkait. Politisasi isu China dengan menggunakan hoaks semakin umum terjadi. Politisasi dan hoaks ini terlihat jelas pada isu-isu seperti investasi China di Indonesia, tenaga kerja asing dari China, dan represi terhadap masyarakat Uighur di Xinjiang.

Tiga masalah di atas, selanjutnya, berkontribusi pada makin sulitnya informasi yang benar dan inovatif tentang China untuk berkembang di negara kita. Akhirnya, menyebabkan lambannya (kalau bukan tidak adanya) kemajuan yang pesat terkait pemahaman publik atas China dan segala isu turunannya. Jadinya, mitos pun acap lebih dipercaya ketimbang fakta.

______________________________

Wendy Prajuli adalah dosen HI Binus University yang setelah menamatkan S-2 di Tamkang University, Taiwan, melanjutkan S-3 di Departemen Asia Tenggara, Humboldt-Universität zu Berlin, Jerman.

Artikel ini terbit pada aseng.id, 2 Maret 2021.

Wendy Prajuli