Cina atau Tionghoa: Dehumanisasi Melalui Semantik

Aseng.ID. Dehumanisasi terhadap etnis Tionghoa jelas masalah politik, dilestarikan secara politis, dan muncul pas ada krisis politik. Semantik menjadi kanal ‘political utterances’ yang memperjelas relasi antara “kami” dan “mereka”.

BUKAN HAL BARU kalau prasangka buruk terhadap etnis Tionghoa di Indonesia masih mengendap. Akar dari ini semua sudah banyak yang membahas, tapi intinya adalah pembudidayaan kebencian secara terstruktur-masif-sistematis. Kita mahfum, kebencian mendorong pada kekerasan. Menurut Amartya Sen (2007) dalam Identity and Violence: The Illusion of Destiny, akar kekerasan adalah dehumanisasi.

Dehumanisasi, gampangnya, adalah pelucutan harkat-martabat kemanusiaan. Dehumanisasi berarti membuat makhluk yang namanya manusia jadi tidak lagi punya “makna” sebagai manusia, sehingga layak diperlakukan tidak manusiawi.

Yang menarik, dehumanisasi bisa dilestarikan melalui semantik.

Persepsi curiga atau bahkan ancaman dari negara Republik Rakyat China (di sini disingkat “China” saja), seringkali dirancukan dengan kebencian dan dehumanisasi terhadap etnis Tionghoa. Kita paham, Orde Baru menanamkan ke alam bawah sadar kita tentang ras dan etnis yang berbeda dari “pribumi” –betapapun politically incorrect-nya istilah ini, mengasosiasikan etnis Tionghoa di Indonesia selalu berideologi daripada “kuminis”, seperti counterpart-nya di Daratan. Seolah ada keidentikan antara China dan Tionghoa.

Lalu, ketika ada kecurigaan kepada China (negara), mengapa dilampiaskan ke Tionghoa (etnis)? Di sini, bagi saya, ada kebencian dan dehumanisasi yang dilestarikan melalui semantik.

* * *

Betul bahwa sebelum dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor Se-06/Pres.Kab/6/1967 di zaman SBY, istilah “China” digunakan untuk merujuk golongan etnis. Namun setelah itu, “Tionghoa” digunakan untuk menyebut etnis tersebut.

Hal ini bukan tanpa hasil –setidaknya dari hasil survei kualitatif sangat-sangat sederhana yang saya lakukan bersama dua mahasiswa bimbingan skripsi di dua lokasi, DKI Jakarta dan Banten, medio November-Desember 2020. Survei pada 79 responden random (artinya pada kalangan etnis Tionghoa dan non-Tionghoa) berusia 22-37 tahun (“generasi milenial”), 78,4% responden memahami bahwa “China” adalah negara dan 97,3% responden memahami “Tionghoa” adalah nama resmi bagi kelompok etnis. Rata-rata responden merupakan kalangan umum (bukan karyawan atau mahasiswa) yang tersebar di berbagai wilayah Jakarta (48,6%), sisanya mahasiswa (17,6%) dan karyawan (33,8%).

Di Banten, 88,7% dari 53 responden memahami bahwa “China” adalah negara dan 92,5% responden paham “Tionghoa” adalah etnis. Tipikal responden mirip dengan Jakarta, mayoritas kalangan umum.

Hal ini mengindikasikan bahwa SBY berhasil membuat masyarakat terpapar informasi yang cukup terang mengenai perbedaan antara “China” dan “Tionghoa”.

* * *

Namun, pada 2017, kita masih menjumpai hal-hal semacam “Ganyang Cina, Penjarakan Ahok” dari spanduk yang dipakai buat unjuk rasa sebuah ormas (tahulah yang mana) yang punya aspirasi menghukum “sang penista agama”.

Yang menarik buat saya adalah tulisan di spanduk ini. Saya tidak paham persis “Cina” di sini merujuk kepada negara atau pada golongan etnis.

Apakah ini hanya upaya kanalisasi (dan banalisasi) kebencian yang sudah mengendap demikian dalam? Atau ketidakmampuan membedakan negara dan etnis? Saya bisa salah, tapi interpretasi dangkal saya tergoda untuk mengatakan: itu soal kebencian etnis.

Tetapi, kenapa tidak pakai kata “Tionghoa” –“ganyang Tionghoa”, begitu? Terlalu “bagus” sebagai cara mendehumanisasi?

Biang keladi semantik kebencian/dehumanisasi ini jelas berkaitan dengan politik sejak zaman kolonial yang masih melekat sampai sekarang.

Dari survei kami, 39,5% responden non-Tionghoa di DKI Jakarta dan 18,18% responden non-Tionghoa di Banten merasa bahwa sebutan “Cina” terhadap kalangan etnis Tionghoa merupakan suatu bentuk olok-olok. Tapi, 60,5% responden non-Tionghoa DKI Jakarta dan 70,97% di Banten merasa itu bukan suatu olok-olok. Sedangkan untuk responden kalangan Tionghoa, 80,6% responden Tionghoa Jakarta dan 81,82% responden Tionghoa Banten menilai sebutan “Cina” sebagai ejekan. Sisanya mengatakan sebaliknya.

Jadi, ada dua persepsi. Non-Tionghoa merasa sebutan “Cina” itu bukan olok-olok, sementara bagi kalangan Tionghoa, itu nyakitin kuping.

* * *

Pertanyaannya kemudian: Apakah sebutan “Cina” dalam demo-demo yang terjadi sepanjang 2017-2018 itu merupakan upaya dehumanisasi yang memanfaatkan semantik bernada olok-olok? Di mana dehumanisasinya?

Oke, dalam spanduk di atas tidak tergambar jelas. Tapi di Twitter gambar yang bertuliskan “Jakarta Tolak Babi Ahok”, “Gantung Ahok di sini”, “Gantung Ahok”, merajalela.

Kita paham relasi antara “Ganyang”, “Cina”, dan “Ahok”, plus berbagai macam kata-kata yang mendehumanisasi itu. Ini sebagian kecil dari dehumanisasi melalui semantik terhadap salah satu politikus keturunan Tionghoa.

Usut punya usut, responden kami menyimpulkan dalam survei, bahwa kalangan non-Tionghoa, seberapapun mereka memiliki relasi yang baik dengan rekan Tionghoa (utamanya dalam bisnis dan pergaulan), tetap saja alergi apabila etnis Tionghoa terlibat dalam politik.

Di DKI Jakarta, kalangan non-Tionghoa yang menyetujui etnis Tionghoa menempati posisi politik ada 46,5%. Di Banten, 46,15%. Di dua wilayah ini, meski perbedaannya tidak terlalu signifikan, namun masih terdapat persepsi “ancaman” apabila etnis Tionghoa menempati jabatan politik. Di sisi lain, responden dari etnis Tionghoa Jakarta (74,2%) dan Banten (74,7%) berharap etnis Tionghoa diberi akses ke politik.

Dus, kesimpulannya: Dehumanisasi terhadap etnis Tionghoa jelas masalah politik, dilestarikan secara politis, dan muncul pas ada krisis politik. Semantik menjadi kanal political utterances yang memperjelas relasi antara “kami” dan “mereka”. Di luar itu biasanya adem ayem. Iya, kan? Apa enggak?

___________________________

Artikel ini terbit sebelumnya di aseng.id.

Aditya Permana