Big Data dan HI: Potensi Riset

Big Data semakin memengaruhi politik internasional dalam berbagai cara. Big Data menyingkap dimensi baru dari perubahan ini, yang baru mulai kita pahami sebagai ilmuwan politik dan pengamat urusan internasional (Zwitter 2015). Jadi, apa itu Big Data? Dan bagaimana kita menggunakan Big Data untuk penelitian kita dalam studi Hubungan Internasional (HI)?

Sebagai bagian dari upaya Jurusan Hubungan Internasional (HI), Universitas Bina Nusantara, mendukung transformasi digital dalam pengajaran dan penelitian, kami mengundang para pakar untuk mempresentasikan wawasan mereka tentang penggunaan Big Data di HI. Kami merancang empat sesi webinar yang akan dihadiri oleh anggota fakultas dan mahasiswa kami.

Sesi pertama berhasil disampaikan pada 21 April 2021 dengan Profesor Andrej Zwitter (Ketua Tata Kelola dan Inovasi, Universitas Groningen) mempresentasikan gagasannya tentang bagaimana teori HI perlu diperbarui karena pertumbuhan eksponensial data selama beberapa dekade terakhir.

Dia menjelaskan bahwa Big Data mengacu pada sejumlah besar data yang, dengan menggunakan teknik analitik canggih, dapat ditambang untuk mendapatkan informasi guna mengungkap pola, titik, tren dan korelasi. Ide kunci di balik konsep ini adalah volume data yang besar memungkinkan pengguna untuk menemukan informasi — khususnya, korelasi dan pola — itu tidak akan tersedia dengan melihat sampel yang lebih kecil. Ini juga terkait dengan peningkatan kemampuan untuk mengekstrak informasi dari, dan menafsirkan, sejumlah besar informasi yang berupa data tidak terstruktur. Ide kunci lainnya adalah Big Data diperbarui hampir secara real-time.

Big Data memiliki empat Vs: Volume, Variety, Velocity, dan Veracity. Jika dalam teori HI konvensional kita memahami bahwa aktor adalah Negara, Perusahaan, Organisasi Internasional, Masyarakat Sipil, dan LSM, di dunia maya, aktor HI meliputi Entitas Digital, Perusahaan Teknologi, Partai Politik, Stakeholder, Organisasi Kriminal, dan Negara.

Dalam urusan internasional konvensional, kita mengakui uang, bahan mentah, dan wilayah sebagai sumber daya utama yang memerlukan ekstraksi melalui produktivitas fisik. Di dunia maya, sumber daya paling berharga adalah data, yang diperlakukan seperti minyak dan pengguna sebagai wilayah, dengan ekstraksi yang menghargai produktivitas digital.

Dengan perkembangan pesat ini, tantangan Big Data dalam Hubungan Internasional di masa depan meliputi:

  • Pergeseran kuasa/power
  • Regulasi Cyber
  • Sumber daya (material dan digital)
  • Agen dan Atribusi Buatan
  • Etika Kecerdasan Buatan dan Pengambilan Keputusan Otonom
  • Kepemilikan Data
  • Identitas Digital
  • Blockchain
  • Tata Kelola Cyber
Ella S. Prihatini