Pelajaran untuk pemerintah Indonesia dari “patroli abadi” kapal selam KRI Nanggala-402

Bulan lalu, kapal selam Indonesia KRI Nanggala-402 tenggelam di Laut Bali ketika latihan torpedo, menewaskan semua 53 personel di dalamnya.

Nanggala adalah salah satu dari dua kapal selam kelas Cakra milik Indonesia, yang dikembangkan oleh perusahaan pembuat kapal Jerman, Howaldtswerke-Deutsche Werft (HDW), pada 1977. TNI-AL mengoperasikan kapal selam tersebut sejak 1981. Kedua kapal selam tersebut telah beroperasi selama 40 tahun.

Ketika Nanggala hilang kontak pada 21 April 2021, Indonesia segera menggelar operasi pencarian dibantu negara-negara lain. Namun, setelah puing-puing kapal selam ditemukan empat hari kemudian, kapal selam itu dinyatakan tenggelam. Nanggala dan personelnya dinyatakan “dalam patroli abadi”.

Dari tenggelamnya Nanggala, pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan berbagai pelajaran secara aktif dalam perencanaan pertahanan masa depan, untuk mengurangi kemungkinan, serta mempersiapkan, kecelakaan pada masa depan. Dua pelajaran utamanya adalah sebagai berikut.

 

Bersiap untuk yang terburuk

Sebelum Nanggala, Indonesia telah memiliki daftar panjang kecelakaan alat utama sistem senjata (alutsista).

Ada 18 kecelakaan alutsista Indonesia sejak 2015 yang melibatkan lima pesawat, lima helikopter, enam kapal perang, satu artileri, dan satu kendaraan tempur. Kecelakaan-kecelakaan tersebut tidak hanya memakan korban militer, tetapi juga 86 nyawa warga sipil.

Pada 2020 saja, Indonesia mengalami tiga kecelakaan alutsista: Pada 6 Juni, helikopter Mi-17 TNI-AD jatuh saat pelatihan di Kendal, Jawa Tengah, menewaskan empat prajurit. Sepuluh hari kemudian, pesawat tempur Hawk Mk209 TNI-AU jatuh di dekat Kampar, Riau. Bulan berikutnya, pada 14 Juli, kapal perang KRI Teluk Jakarta-541 TNI-AL tenggelam di dekat Pulau Kangean, Jawa Timur.

Kecelakaan alutsista terlalu sering terjadi di Indonesia sehingga kita harus menganggap risiko kecelakaan sebagai kepastian mutlak, dan bersiap untuk pencarian dan penyelamatan alutsista dan personel bila kecelakaan terjadi.

Kecelakaan Nanggala bisa dibilang adalah yang terburuk yang bisa terjadi karena kapal selam dirancang untuk tidak terdeteksi. Ini membuat pencarian dan penyelamatan kapal selam dan personelnya sangat sulit. Dalam sejarah penyelamatan kapal selam, sangat sedikit operasi demikian yang berhasil.

Namun, kesulitan tersebut bukan berarti Indonesia harus menyerah dalam mempersiapkan pencarian dan penyelamatan kapal selam jika hal itu terulang kembali kemudian hari.

Pemerintah Indonesia perlu memiliki kapal penyelamat kapal selam dan kendaraan penyelamat kapal selam (deep-submergence rescue vehicles atau DSRV). Pemerintah juga perlu meningkatkan kemampuan perang antikapal selam pada kapal perang dan pesawat militer, yang dapat digunakan untuk menemukan dan melacak kapal selam yang hilang.

Indonesia saat ini tidak memiliki kapal penyelamat kapal selam maupun DSRV.

Negara di Asia Tenggara yang memiliki kapal penyelamat kapal selam adalah Malaysia dan Singapura. Dua tetangga itu mengerahkan kapal mereka, MV Mega Bakti dan MV Swift Rescue, untuk membantu pencarian Nanggala.

Kemampuan perang antikapal selam Indonesia juga sangat terbatas. Banyak kapal perang Indonesia tidak dilengkapi dengan perangkat sonar yang mampu mendeteksi kapal selam yang menyelam sangat dalam.

Pesawat patroli maritim Indonesia juga memiliki kemampuan antikapal selam terbatas. Ini masalah yang masih coba diselesaikan oleh TNI-AL.

Penerbangan Angkatan Laut (Penerbal) juga tidak memiliki skuadron antikapal selam sebelum memperoleh helikopter AS565MBe Panther untuk Skuadron Udara 100 pada 2015.

Ke depan, Indonesia perlu mengejar ketertinggalan teknologi terkini dalam pencarian dan penyelamatan kapal selam untuk mempersiapkan skenario terburuk pada masa depan.

 

Pengadaan alutsista yang menyeluruh

Seringkali, pengadaan alutsista Indonesia hanya mempertimbangkan pembelian dan bukan keseluruhan umur alutsista tersebut.

Ini harus dihentikan. Kepemilikan alat pertahanan harus mencakup tidak hanya proses pengadaan (dari desain hingga pembelian awal), tapi juga elemen pendukung selama penggunaan alutsista tersebut (in-life support), hingga pemrosesan setelah alutsista tidak bisa digunakan lagi.

In-life atau in-service support adalah semua dukungan terkait operasional alutsista yang memastikan alat tersebut dapat diandalkan untuk misi dan pelatihan. In-life support juga memastikan alutsista memiliki masa penggunaan yang panjang.

In-life support termasuk – namun tidak terbatas pada – pemeliharaan dan perbaikan alutsista. Ini juga termasuk layanan logistik dan dukungan peralatan. Pabrikan alutsista biasanya menyediakan layanan ini, tapi itu juga dapat dikontrakkan ke perusahaan lain.

Pemerintah harus mempertimbangkan kebutuhan alutsista dari awal proses pengadaan hingga masa penggunaannya sebagai salah satu persyaratan terpenting dalam pengadaan.

Para perencana pertahanan perlu mempertimbangkan semua dukungan yang dibutuhkan setelah membeli alutsista. Mengabaikan hal ini akan menyebabkan masalah saat alutsista perlu diperbaiki.

Dalam kasus Nanggala, masa operasional 40 tahun tampak sangat lama. Tapi, jangka waktu ini tidak akan menjadi masalah jika kapal selam menerima in-life support yang baik.

Banyak kapal selam yang dioperasikan oleh angkatan laut paling maju di dunia dikembangkan dan mulai beroperasi pada 1970-an dan 1980-an. Misalnya, kapal selam kelas Ohio Amerika Serikat telah beroperasi sejak 1981, sedangkan kapal selam kelas Los Angeles sejak 1976.

Kapal selam kelas Archer dan kelas Challenger milik negara tetangga Singapura masing-masing adalah bekas kapal selam Swedia eks-kelas Västergötland dan kelas Sjölejonet. Yang pertama digunakan Angkatan Laut Swedia dari akhir 1980-an hingga 1997, sedangkan yang kedua dari akhir 1960-an hingga 1997.

Kapal selam-kapal selam itu dijual ke Singapura dan menjalani perbaikan besar-besaran sebelum dioperasikan kembali oleh Angkatan Laut Republik Singapura dari 2004 hingga sekarang.

Jika in-life support adalah kuncinya, bagaimana dengan in-life support yang diterima Nanggala? Kapal selam tersebut menjalani perombakan terakhir oleh Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME) Korea Selatan pada 2009-2012.

Menurut TNI-AL, sejak saat itu kapal selam tersebut rutin menjalani perawatan tingkat menengah oleh Komando Utama (Kotama) TNI-AL. Sejauh mana tingkat pemeliharaan itu sudah mencukupi tetap perlu diaudit.

Sementara itu, kapal selam yang satu kelas dengan Nanggala, KRI Cakra-401, telah menjalani perombakan oleh perusahaan pembuat kapal Indonesia, PT PAL, sejak 2018.

PT PAL kini mampu melakukan perombakan kapal selam setelah pembangunan fasilitas produksi kapal selam di galangan kapal milik sendiri di Surabaya, Jawa Timur, pada 2017. Semoga Indonesia dapat memberikan perawatan yang lebih baik untuk kapal selamnya pada masa mendatang.

Ke depan, Indonesia perlu meningkatkan in-life support untuk alutsista yang digunakannya untuk mengurangi kemungkinan kecelakaan pada masa depan.

__________________________________________

Artikel ini telah diterbitkan sebelumnya di theconversation.com tanggal 21 Mei 2021.

Tangguh Chairil