Kuliah Tamu Taktik Kontraterorisme

Pada Senin, 24 Mei 2021, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara mengadakan kegiatan kuliah tamu mata kuliah Terorisme bertajuk “Taktik Kontraterorisme”. Kuliah tamu ini diisi oleh Alban Sciascia, Ph.D, Direktur Semar Sentinel. Kuliah tamu dilaksanakan secara daring pada 09:20–10:50 WIB dalam platform Zoom. Kuliah tamu ini dihadiri oleh dosen dan 42 mahasiswa HI Binus.

Dr. Sciascia memulai kuliah tamu dengan menjelaskan perspektif sejarah kontraterorisme. Menurut Dr. Sciascia, praktik kontraterorisme telah berkembang secara luas sejak 1970-an, terutama setelah pembantaian München selama Olimpiade Musim Panas 1972. Ini adalah pertama kalinya dimensi transnasional terorisme menjadi nyata. Sejak itu, ancaman terorisme berkembang dan menyebabkan berkembangnya pemikiran kontraterorisme.

Terorisme dapat didefinisikan sebagai “penggunaan dan intimidasi kekerasan yang melanggar hukum, terutama terhadap warga sipil, dalam mengejar tujuan politik, ideologis, agama atau sosial”. Namun, ancaman terorisme telah berkembang menjadi ancaman transnasional selama akhir 1970-an dan awal 1980-an. Pada periode ini, sebagian besar kelompok teroris beroperasi di daerah konflik, seperti konflik Palestina, konflik Irlandia Utara, konflik Basque, dll.). Kelompok-kelompok ini memiliki motivasi ideologis, terutama diilhami oleh teori-teori Marxis.

Alban Sciascia, Ph.D, Direktur Semar Sentinel

Pergeseran utama ancaman terorisme terjadi pada akhir 1980-an selama Perang Soviet–Afganistan, ketika konsep “jihad global” mulai muncul. Saat ini, pejuang dari seluruh dunia memutuskan untuk bergabung dengan medan perang Afghanistan untuk berjuang melawan rezim yang didukung Soviet. Mobilisasi didukung terutama oleh faktor ideologis, seperti gagasan Jihad dan visi kebangkitan Islam, serta faktor struktural, seperti konteks untuk mobilisasi dan sekutu serta dukungan yang kuat, seperti Pakistan dan Saudi Arab, dengan backup negara-negara Barat yang melawan Pakta Warsawa.

Pada awal 1990-an, kontingen relawan Arab dan veteran jihad Afghanistan memainkan peran dalam perubahan ideologis utama terorisme: musuh gerakan jihadis tidak lagi (terbatas) pada penguasa sekuler nasional mereka, dan Perang Soviet–Afganistan telah membuktikan bahwa jihad global adalah cara baru untuk menjadi dan bertindak. Hal ini menciptakan momentum ganda bagi gerakan jihad: Pertama, jihad global memberikan beberapa manfaat kepada kelompok nasional seperti pelatihan di luar negeri, pendanaan dan pengembangan jaringan. Kedua, ia juga mendukung jihad terus menerus bila tidak mungkin dilakukan di dalam wilayah nasional.

Dr. Sciascia kemudian menjelaskan perbedaan antiterorisme dan kontraterorisme. Penanggulangan terorisme dapat dilakukan melalui berbagai strategi, yang dapat berupa tindakan aktif/ofensif atau pasif/defensif. Kesalahpahaman yang umum adalah melihat kontraterorisme hanya sebagai tindakan ofensif, dan antiterorisme hanya sebagai tindakan pasif. Di sisi lain, setiap negara/organisasi mungkin memiliki definisinya sendiri-sendiri, bergantung pada strateginya. Penanggulangan terorisme dapat dilihat sebagai tugas keamanan yang dilakukan oleh komponen/pasukan keamanan di tingkat nasional/internasional, sedangkan antiterorisme dapat mencakup instrumen politik, ekonomi, hukum, dan instrumen lain yang digunakan untuk mencegah dan melawan terorisme. Baik antiterorisme dan kontraterorisme adalah dasar strategi untuk melawan terorisme.

Penanggulangan terorisme terdiri atas empat unsur: Pertama, pencegahan terorisme, yang mencakup upaya menghentikan orang menjadi teroris atau bergabung dengan kelompok teroris; menghentikan dukungan untuk kelompok teroris; melawan ideologi teroris; melindungi orang yang rentan; serta melawan radikalisasi. Kedua, perlindungan dari terorisme, yang mencakup upaya melindungi orang dan infrastruktur; mengurangi kerentanan terhadap serangan; serta memperbaiki perbatasan, infrastruktur penting, dan keamanan masyarakat. Ketiga, pengejaran terhadap teroris, yang mencakup upaya mengejar teroris dan menyelidiki di dalam dan di luar perbatasan; mencegah perencanaan dan mengganggu jaringan pendukung; serta memotong pendanaan dan akses ke peralatan. Terakhir, tanggapan terhadap teroris, yang mencakup upaya bersiaplah terhadap aksi teroris; mengurangi tindakan teroris; meminimalkan konsekuensi dari tindakan teroris; serta mengoordinasikan respons terhadap aksi teroris.

Aset kontraterorisme mengandalkan kemampuan untuk mendeteksi dan menganalisis ancaman. Hal ini terutama bergantung pada kemampuan untuk menemukan informasi dan mengolahnya menjadi intelijen. Untuk melakukannya, pemangku kepentingan kontraterorisme mengandalkan banyak aset untuk mengumpulkan data dan menggunakan intelijen untuk membasmi jaringan teroris. Salah satu perubahan besar aset kontraterorisme sejak awal 2010-an adalah meningkatnya penggunaan jejaring sosial, yang dapat digunakan untuk propaganda dan perekrutan; pelatihan dan formasi; serta koordinasi untuk aksi teroris.

Aset utama kontraterorisme adalah kemampuan untuk menggunakan pasukan keamanan untuk mengatasi ancaman. Itu bisa dilakukan di dalam wilayah nasional (unit penegakan hukum) dan juga di luar negeri, baik dengan penyebaran aset tertentu atau dengan kerja sama dengan pemangku kepentingan lokal. Kerja sama bisa dalam beberapa bentuk, seperti pelatihan dan pembentukan unit lokal, serta juga operasi bersama. Aset utama kontraterorisme adalah kemampuan mengoperasikan unit untuk menetralkan atau mengurangi dampak kelompok teroris. Namun, penting untuk diingat bahwa kontraterorisme hanya efektif jika perangkat hukum mendukung strategi.

Karena sifatnya yang transnasional, cara paling efektif untuk menanggulangi terorisme adalah melalui kemitraan keamanan internasional. Kemitraan keamanan ini dapat mengambil beberapa bentuk: dengan institusi (seperti NATO, Uni Eropa, dll.), multilateral (seperti G5 Sahel, dll.), atau bilateral, berkat kemitraan strategis atau komando lokal (seperti USAFRICOM, USPACOM, USCENTCOM, dll.). Kemitraan ini bukanlah konflik proksi. Sebaliknya, mereka terutama mengandalkan pelatihan dan pembentukan aset kontraterorisme lokal, termasuk aparat keamanan, dan juga pada peningkatan kapasitas (intelijen).

Dr. Sciascia lalu membahas beberapa studi kasus kontraterorisme. Pertama, dalam konflik Irlandia Utara. Ancaman yang dihadapi adalah Irish Republican Army (IRA), kelompok paramiliter yang dipengaruhi ideologi Marxis. Tujuan IRA adalah memfasilitasi reunifikasi Irlandia dan mengakhiri pemerintahan Inggris di Irlandia Utara. Strategi kontraterorisme yang dilakukan Inggris adalah penggunaan penegakan hukum dan pasukan khusus (SAS) untuk menargetkan langsung IRA dan dukungannya, serta operasi penegakan hukum yang dipimpin oleh Angkatan Bersenjata di lapangan untuk mengamankan Irlandia Utara. Hasil dari strategi ini adalah 30 tahun konflik.

Kedua, dalam menghadapi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), kelompok teroris Islamis yang bertujuan menerapkan kekhalifahan di seluruh dunia. Strategi kontraterorisme yang dilakukan adalah penggunaan penegakan hukum di dalam negeri untuk mengatasi perekrutan pejuang ISIS, serta penggunaan aset militer di medan perang, seperti Suriah, Irak, Sahel, Libya Afghanistan, dan Filipina Selatan, untuk membasmi ancaman. Hasil dari strategi ini adalah keberhasilan relatif di Suriah dan Irak, sehingga ISIS bergeser ke medan perang lain, seperti Afghanistan, Yaman, Libya, dll.

Ketiga, dalam pertempuran Marawi. Ancaman yang dihadapi adalah kelompok-kelompok yang berjanji setia kepada ISIS, seperti Abu Sayyaf, kelompok Maute, Ansar Khalifa Philippines (AKP), dan Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF), yang mengambil alih seluruh Kota Maute dan mengendalikannya. Tujuan kelompok-kelompok itu adalah mengganggu pasukan keamanan dan menciptakan tempat yang aman bagi para jihadis di Asia Tenggara. Strategi kontraterorisme yang dilakukan adalah strategi pengepungan yang melibatkan semua aset kekuatan militer. Hasil dari strategi ini adalah pengepungan selama lima bulan yang menyebabkan 1,1 juta warga sipil mengungsi dan 1,1 ribu lebih korban, termasuk 978 teroris.

Keempat, dalam Operasi Barkhane dan Takuba di kawasan Sahel. Ancaman yang dihadapi adalah kelompok-kelompok Al-Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM), Islamic State in the Greater Sahara (IS-GS), dan Boko Haram. Tujuan kelompok-kelompok itu adalah mengganggu pasukan keamanan dan negara-negara demokrasi, serta menciptakan tempat berlindung yang aman bagi para jihadis. Strategi kontraterorisme yang dilakukan adalah aksi langsung dan pembangunan kapasitas untuk negara tuan rumah melalui kemitraan G5 Sahel. Hasil dari strategi ini adalah operasi yang sedang berlangsung telah menyebabkan tersingkirnya beberapa pemimpin kunci dari kelompok-kelompok tersebut.

Salah satu ancaman yang paling relevan adalah munculnya pejuang teroris asing (foreign terrorist fighters.FTF). Tren ini bukanlah sesuatu yang baru karena kerja sama antara kelompok teroris dan keterlibatan dalam konflik luar negeri telah terlihat jelas sejak tahun 1970-an/1980-an, misalnya oleh IRA atau Hizbullah. Namun, pola ini mencuat setelah Perang Soviet–Afganistan, seperti di kawasan bekas Yugoslavia dan Chechnya. FTF adalah bahaya yang jelas dan aktual karena mereka dapat meningkatkan konflik jika melawan dan mengguncang negara-negara yang akan mereka tempuh selanjutnya. FTF juga membawa kembali pengetahuan dan kapasitas ke negara asalnya.

Dr. Sciascia menutup pembahasan dengan menjelaskan bahwa kontraterorisme memiliki batasan. Misalnya, bagaimana dengan akuntabilitas demokratis? Bagaimana dengan dampak penggunaan kekuatan? Apa yang mungkin dilakukan untuk melindungi suatu negara?

Sesi kuliah tamu ini diakhiri dengan sesi diskusi dan tanya-jawab antara para mahasiswa HI Binus dan Dr. Sciascia.

Tangguh Chairil