Bagaimana sebenarnya rencana anggaran pengadaan alutsista Rp 1,7 kuadriliun dan apa yang perlu dilakukan?

The Conversation – Rencana Kementerian Pertahanan mencari pinjaman hingga Rp 1.700 triliun (Rp 1,7 kuadriliun) untuk memodernisasi alutsista Tentara Nasional Indonesia (TNI) bocor ke publik awal bulan ini.

Berita itu membuat polemik. Jumlah tersebut dinilai fantastis – kuadriliun adalah angka 16-digit. Sebagai perbandingan, pemerintah berencana untuk membelanjakan total Rp 2.750 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021.

Kementerian Pertahanan lalu mengatakan bahwa karena akan dibiayai oleh utang luar negeri, pengadaan tersebut tidak akan membebani anggaran negara. Pernyataan itu juga dipertanyakan.

Jadi, apakah jumlah tersebut masuk akal?

Rencana jangka panjang

Perlu diingat bahwa rencana yang disusun dalam draf peraturan presiden tersebut menguraikan keseluruhan anggaran pengadaan alutsista yang ditujukan untuk periode 25 tahun pada 2020–2044.

Perencanaan pertahanan Indonesia biasanya dilakukan dalam jangka menengah lima tahun yang disebut “rencana strategis” (renstra).

Perencanaan jangka panjang biasanya dilakukan dengan menggabungkan beberapa renstra.

Misalnya, kebijakan modernisasi alutsista yang disebut Minimum Essential Force (MEF) direncanakan untuk 2010–2024, atau 15 tahun. Renstra tersebut terbagi dalam tiga renstra, yaitu 2010–2014, 2015–2019, dan 2020–2024.

Draf yang bocor beberapa waktu lalu itu menggabungkan renstra ketiga MEF (2020–2024) dengan empat renstra baru hingga 2044, yang masih dalam proses finalisasi.

Kementerian Pertahanan dan TNI kemudian akan membahas alutsista apa saja yang akan dibeli dalam setiap renstra.

Menurut analisis Andi Widjajanto dan rekan-rekan di lembaga penelitian Lab 45, jumlah yang direncanakan tersebut masuk akal.

Analisis mereka didasarkan pada pendekatan perencanaan anggaran teknokratis, menggunakan asumsi makroekonomi konservatif dalam menghitung perkiraan pertumbuhan ekonomi.

Pada dasarnya, anggaran tersebut menunjukkan bahwa Kementerian Pertahanan tidak berencana menaikkan anggaran pengadaan alutsista secara tajam.

Alokasi anggaran yang cukup untuk pengadaan alutsista sangat penting untuk meningkatkan kemampuan TNI dalam menjamin keamanan nasional Indonesia.

Hal ini bahkan lebih penting mengingat daftar panjang kecelakaan yang melibatkan alutsista tua Indonesia, termasuk tragedi kapal selam Nanggala baru-baru ini.

Guns versus butter, atau guns and butter?

Namun demikian, argumen yang menentang anggaran tersebut tetap ada, berdasarkan pada model guns versus butter.

Istilah “guns versus butter” mengacu pada model ekonomi makro yang didasarkan pada gagasan bahwa suatu negara harus memilih antara guns (pertahanan/militer) atau butter (barang-barang kebutuhan sipil) ketika memutuskan bagaimana membelanjakan sumber dayanya yang terbatas.

Semakin banyak yang dibelanjakan untuk pertahanan, semakin sedikit yang dapat dibelanjakan untuk produksi sipil yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya.

Pada model guns versus butter, pengeluaran militer akan memiliki efek buruk pada pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pendukung argumen ini mengusulkan agar pemerintah membatasi anggaran pertahanannya untuk memaksimalkan belanja barang-barang yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu, terdapat juga pendapat bahwa pengeluaran militer dapat memiliki efek positif pada perekonomian. Proposisi ini dikenal sebagai “guns and butter”.

Para pendukung argumen ini melihat pengeluaran militer sebagai hal yang penting untuk menjaga keamanan nasional, yang sangat vital untuk mendukung kegiatan ekonomi.

Mereka juga meyakini bahwa pengeluaran militer dapat meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian, menciptakan lapangan kerja, mendorong adaptasi teknologi militer untuk barang-barang sipil, mendukung pengembangan sumber daya manusia, dan menstimulasi perekonomian.

Model mana yang lebih relevan untuk Indonesia?

Studi saya dan rekan-rekan pada 2013 menemukan bahwa pengeluaran militer Indonesia mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara secara positif. Itu kemungkinan besar karena terjadinya pengembangan sumber daya manusia sebagai efek dari pengeluaran militer.

Demikian pula, studi lain pada 2016 menemukan bahwa belanja pertahanan Indonesia berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi.

Temuan bahwa pengeluaran militer Indonesia memiliki efek positif pada perekonomian telah mengarahkan pemerintah untuk fokus pada strategi investasi pertahanan.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo pertama kali mengangkat istilah tersebut pada debat keempat pemilu presiden melawan Prabowo Subianto pada Maret 2019.

Sejak saat itu investasi pertahanan menjadi kebijakan utama Kementerian Pertahanan. Pengadaan alutsista merupakan bagian dari strategi investasi pertahanan.

Secara keseluruhan, pengadaan alutsista Indonesia bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pertahanan negara dan membangun industri pertahanan yang mandiri. Untuk itu, Indonesia mensyaratkan adanya timbal-balik dan transfer teknologi dalam pengadaan dari luar negeri.

Good governance dan akuntabilitas

Seberapa pun besar anggarannya, satu hal yang pasti: pengadaan alutsista perlu memperhatikan prinsip-prinsip good governance, akuntabilitas, dan pengawasan legislatif.

Ini mungkin menjadi perhatian publik yang paling relevan tentang rencana anggaran pengadaan alutsista baru-baru ini. Ditambah lagi, pembelian alutsista Indonesia di masa lalu sering penuh dengan masalah.

Transparency International menempatkan Indonesia pada Band D pada [Government Defense Anti-Corruption Index 2015](http://government.defenceindex.org/countries/indonesia/), ini artinya sektor pertahanan Indonesia memiliki risiko korupsi yang tinggi.

Menurut indeks tersebut, Indonesia memiliki masalah dalam pengawasan aktif terhadap bisnis milik militer, pengawasan pengeluaran di luar anggaran, dan dalam sistem pengadaan.

Satu contoh adalah pengadaan helikopter AW101 buatan Italia pada 2017.

Undang-Undang (UU) Industri Pertahanan mewajibkan TNI untuk memprioritaskan pembelian dari industri pertahanan dalam negeri jika bisa menghasilkan produk serupa. Dalam hal ini, PT Dirgantara Indonesia bisa memproduksi helikopter dengan kemampuan setara.

Pengadaan tersebut sempat diveto oleh Jokowi, Panglima TNI saat itu Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Menteri Pertahanan saat itu Ryamizard Ryacudu.

Namun, helikopter itu tetap tiba di Indonesia pada Februari 2017. Bagaimana bisa? Setelah empat tahun kemudian, hal itu masih menjadi misteri. Penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kasus ini tidak berkembang sejak 2019.

Masalah-masalah ini dapat menyebabkan kecelakaan yang sangat mematikan dan mahal. Beberapa kecelakaan alutsista di Indonesia melibatkan alutsista bekas yang diterima dari pengadaan yang bermasalah.

Misalnya, pada 10 Maret 2018, kendaraan lapis baja M113 TNI Angkatan Darat tenggelam di sungai di Purworejo, Jawa Tengah, saat membawa anak-anak PAUD dan TK, menewaskan dua orang. Kendaraan itu adalah bekas Angkatan Bersenjata Belgia.

Untuk mencegah masalah pada masa depan, terutama dengan jumlah anggaran yang begitu besar, kelompok masyarakat sipil telah mengusulkan bahwa pengadaan alutsista perlu akuntabilitas publik. Pembiayaannya harus transparan. Reformasi pengadilan militer juga sangat dibutuhkan.

Saya sangat setuju.

Akuntabilitas dalam pengadaan alutsista sangat penting untuk menghindari insiden lain yang mematikan dan mahal – serta memastikan Indonesia mendapatkan kinerja, pengoperasian, dan kemudahan servis alutsista yang sesuai dengan nilai uang yang dibayarkan.

______________________

Artikel ini terbit sebelumnya di theconversation.com pada 23 Juni 2021

Tangguh Chairil