Postur TNI AL Dinilai Kurang Mampu Hadapi Perang Masa Depan

Pada Rabu, 8 Desember 2021, dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Bina Nusantara (BINUS), Dr. Curie Maharani Savitri, menjadi narasumber webinar bertajuk “AUKUS: Rethinking Indonesia’s Naval Posture” yang diadakan oleh PT Semar Sentinel Indonesia.

Webinar ini membahas bagaimana AUKUS, pakta keamanan Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat, telah menjadi isu yang menimbulkan pertanyaan tentang masa depan lingkungan keamanan regional. Bagaimana pengaruhnya terhadap ketidakpastian di kawasan Indo-Pasifik? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap rencana Indonesia untuk memodernisasi TNI, khususnya TNI-AL? Mempertimbangkan risiko ketegangan dan konflik baru-baru ini, Indonesia harus menilai kembali rencana modernisasi dan postur pertahanan TNI-AL.

Selain Dr. Curie, narasumber lain webinar ini antara lain Novan Iman Santosa, editor The Jakarta Post dan salah satu pendiri Jakarta Defence Studies, dan Alman Helvas Ali, ahli bidang pertahanan dan konsultan PT Semar Sentinel Indonesia. Alumni Manajemen BINUS, Aliyah Nurjannah Aswin, menjadi moderator webinar.

Dalam diskusi ini, Dr. Curie membahas apakah postur TNI-AL akan mampu menghadapi perang masa depan. Pertama-tama, Dr. Curie membahas skenario perang masa depan, dengan membahas titik nyala konflik di kawasan Indo-Pasifik dan skenario perang yang dapat memengaruhi Indonesia. Terdapat berbagai titik nyala konflik di kawasan, antara lain di Laut Tiongkok Timur, Selat Taiwan, dan Laut Tiongkok Selatan. Skenario perang yang dapat memengaruhi Indonesia antara lain perang terbuka dan hibrida, dengan metode invasi, blokade, dan zona abu-abu. Jika konflik terjadi antara Tiongkok dan sekutu Amerika Serikat di kawasan (AUKUS dan Quad), Tiongkok diprediksi akan melakukan blokade ke Selat Taiwan dan Laut Tiongkok Selatan, kemudian Amerika Serikat akan merespons. Hal ini akan berdampak bagi Indonesia, yang berada di antara Tiongkok dan AUKUS/Quad.

Kemudian, Dr. Curie membahas keseimbangan kekuatan antara Tiongkok dan AUKUS/Quad serta ASEAN. Dalam hal dinamika senjata, negara-negara yang berhasil melakukan revolusi militer di dunia hanya Amerika Serikat, Tiongkok, dan Korea Selatan. Negara-negara AUKUS/Quad melakukan pembangunan senjata dan modernisasi senjata. Antara Tiongkok dan AUKUS/Quad, Amerika Serikat memiliki kekuatan paling dominan dalam sebagian besar sistem senjata, diikuti Tiongkok, kemudian diikuti negara-negara AUKUS/Quad lainnya. Sementara itu, antara negara-negara yang bersengketa di Laut Tiongkok Selatan, Tiongkok memiliki kekuatan paling dominan dalam sistem senjata angkatan laut, diikuti Taiwan, kemudian diikuti negara-negara pengeklaim dan Indonesia. Pengumuman AUKUS dianggap telah menunjukkan perpecahan dan kelumpuhan strategis ASEAN. Negara-negara ASEAN gagal mengimbangi (underbalance) kekuatan Tiongkok.

Terakhir, Dr. Curie membahas kemampuan TNI-AL, dalam hal strategi, postur, dan kesiapan. Menurutnya, Indonesia harus mengejar netralitas bersenjata di antara AUKUS/Quad dan Tiongkok. Postur TNI-AL harus terus ditransformasi, dari angkatan laut green water menjadi blue water, ditandai dengan peningkatan anggaran pertahanan dan pembangunan senjata angkatan laut. Sementara itu, kesiapan TNI-AL harus terus ditingkatkan dengan modernisasi senjata hingga melakukan revolusi militer, seperti mengembangkan sistem anti-access/area denial (A2/AD).

Diskusi dilaksanakan melalui Zoom oleh PT Semar Sentinel Indonesia, perusahaan consulting bisnis keamanan dan dirgantara. Diskusi ini disiarkan secara langsung di kanal YouTube Semar Sentinel: https://www.youtube.com/watch?v=BCsYE_TqgQ0.