Indonesia Butuh Belanja Pesawat Tempur Karena Ancaman Geopolitik

Pada Senin, 14 Februari 2022, dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Bina Nusantara (BINUS), Dr. Curie Maharani Savitri, menjadi narasumber diskusi online bertajuk “Butuh Banget Belanja Pesawat Tempur 315 Triliun?” yang diadakan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Diskusi online ini membahas beberapa rencana pembelian pesawat tempur oleh Indonesia, termasuk pembelian total 42 pesawat tempur Dassault Rafale dari Prancis dan 36 pesawat tempur F-15ID dari Amerika Serikat. Selain Dr. Curie, narasumber diskusi ini antara lain analis pertahanan dan militer Connie Rahakundini Bakrie; anggota Komisi I DPR dari Fraksi Gerindra, Rachel Maryam; dan juru bicara DPP PSI, Rian Ernest. Diskusi dimoderatori juru bicara DPP PSI, Francine Widjojo.

Dalam diskusi ini, Dr. Curie membahas pertimbangan pro dan kontra mengapa Indonesia harus membeli pesawat tempur Rafale sekarang. Mengapa Indonesia “memprioritaskan” pengadaan senjata di era pandemi? Menurut Dr. Curie, sudah ada pembedaan antara anggaran pertahanan dan nonpertahanan, sehingga pembelian alutsista pada momen pandemi bukan berarti mengurangi anggaran penanganan pandemi. Selain itu, terdapat dinamika geopolitik yang meningkatkan urgensi Indonesia membeli pesawat tempur, serta terdapat kebutuhan untuk menjaga kesinambungan modernisasi pertahanan.

Mengapa Indonesia membeli Rafale yang “mahal”? Menurut Dr. Curie, kemungkinan teknologi Perancis dipilih karena memenuhi prasyarat pengadaan sesuai undang-undang: tidak ada potensi embargo (Perancis berstatus ITAR-free[1] alias tidak ada komponen dari Amerika Serikat), tidak memiliki persilangan geopolitik (misal Indonesia dengan Tiongkok di Laut Natuna), battle proven, mendukung kemandirian pertahanan terutama dalam hal operasi dan pemeliharaan alutsista (ofset berupa alih kemampuan pemeliharaan level tinggi), hingga keseragaman (Perancis termasuk penyuplai utama alutsista Indonesia). Bagaimana Indonesia akan membayar pengadaan Rafale? Menurut Dr. Curie, opsi kebijakan luar negeri Indonesia yang netral justru memerlukan biaya tinggi. Sehingga, anggaran pertahanan perlu ditingkatkan untuk dapat memodernisasi alutsista. Meski demikian, tetap perlu waspada terhadap risiko utang dari pengadaan alutsista.

Diskusi online ini disiarkan secara langsung di Facebook PSI: https://www.facebook.com/psi.or.id/videos/652061472573661/?extid=CL-UNK-UNK-UNK-AN_GK0T-GK1C&ref=sharing.


[1] International Traffic in Arms Regulations (ITAR) adalah rezim peraturan Amerika Serikat untuk membatasi dan mengontrol ekspor teknologi terkait pertahanan dan militer untuk menjaga keamanan nasional AS dan tujuan kebijakan luar negeri AS selanjutnya.

Tangguh Chairil