Indonesia Butuh Mengembangkan Teknologi Militer dalam Mendukung Pertempuran Udara di Era Perang Generasi ke-5: Dosen HI Binus

Pada Rabu, 30 Maret 2022, dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Bina Nusantara (BINUS), Dr. Curie Maharani Savitri, menjadi narasumber seminar internasional bertajuk “Air Power: Pembangunan Kekuatan Udara Nasional untuk Menghadapi Ancaman pada Era Perang Generasi ke-5” yang diadakan oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU).

Seminar ini dibuka oleh Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo sebagai keynote speaker. Selain Dr. Curie, narasumber diskusi ini antara lain Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto, Panglima Komando Operasi Udara III (Pangkoopsud III) Marsda TNI Samsul Rizal, Vice President Boeing Lt Gen Steven M. Shepro, perwira Royal Australian Air Force (RAAF) GPCAPT Jason Baldock, dan Direktur Semar Sentinel Alban Sciascia. Diskusi dimoderatori perwira TNI-AU Kolonel Lek Rujito Dibyo Asmoro dan Frisca Clarissa.

Dalam seminar ini, Dr. Curie membahas perkembangan teknologi militer dalam mendukung pertempuran udara di era perang generasi ke-5. Perang generasi ke-5 adalah peperangan yang dilakukan terutama melalui aksi militer nonkinetik, seperti rekayasa sosial, misinformasi, dan serangan siber, bersama dengan teknologi yang muncul seperti kecerdasan buatan (AI) dan sistem otonom penuh.

Dr. Curie memulai pembahasan tentang teknologi perang udara generasi ke-5, seperti pesawat tempur generasi mendatang, pesawat tempur nirawak (UCAV), dan rudal hipersonik. Menurutnya, ASEAN dan Indonesia terperangkap di antara rivalitas Tiongkok dan QUAD/AUKUS. Sementara Amerika Serikat dan sekutunya memimpin dalam kuantitas dan kualitas senjata matra udara, Tiongkok mengejar dan bahkan memimpin dalam pengembangan teknologi baru yang mengganggu seperti rudal hipersonik dan UCAV.

Menurut Dr. Curie, sebagai negara netral, Indonesia tetap butuh mengembangkan teknologi perang udara generasi ke-5 agar tidak tertinggal. Akan tetapi, hal itu tidak mudah karena terdapat berbagai tantangan untuk mengejar teknologi perang udara generasi ke-5. Pertama, biaya produksi unit dan eskalasi biayanya, di mana teknologi matra udara termasuk yang tertinggi. Biaya pengadaan dan biaya siklus hidup teknologi ini juga kurang terjangkau. Selain itu, akses teknologi juga terbatas, karena Indonesia tidak tergabung dalam aliansi manapun, serta adanya embargo perdagangan senjata, seperti kebijakan Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) Amerika Serikat.

Seminar ini disiarkan secara langsung di YouTube Airmen TV Dinas Penerangan Angkatan Udara (Dispenau): https://www.youtube.com/watch?v=0S1AQFN3v9g dan https://www.youtube.com/watch?v=EI4emiYRLFw

Tangguh Chairil