World Class Professor Program 2022 Jurusan Hubungan Internasional Binus University
Pada Selasa 4 Oktober 2022 pukul 13:30-16:00 waktu Jakarta, Indonesia, Jurusan Hubungan Internasional Binus University melalui Center for Business and Diplomatic Studies (CBDS) Binus University menyelenggarakan workshop yang merupakan bagian dari World Class Professor Program 2022 yang disponsori oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Indonesia (DIKTI). Acara ini menghadirkan empat professor kelas dunia yang mendiskusikan mengenai “State of Debate in International Political Economy”. Keempat professor tersebut adalah Prof. Lena Rethel, Chief Editor of Review of International Political Economy Journal dari University of Warwick, Prof. Aleksius Jemadu dari Universitas Pelita Harapan, Dr. Poppy Winanti dari Universitas Gajah Mada, dan Dr. Shofwan Al Banna dari Universitas Indonesia.
Acara dibuka dengan sambutan oleh Prof. Tirta Mursitama selaku Vice Rector of Research and Technology Transfer Binus University and Rangga Aditya, Ph.D. selaku Kepala Jurusan Hubungan Internasional Binus University dan dimoderasi oleh Moch. Faisal Karim, Ph.D. selaku Faculty Member Jurusan Hubungan Internasional Binus University dan dihadiri oleh sekitar 100 peserta yang bergabung melalui Zoom meeting platform.
Prof. Rethel mengawali workshop dengan paparan berjudul “State of Debate in International Political Economy” yang berfokus pada debat terkini mengenai Ekonomi Politik Internasional (IPE), rekomendasi publisher untuk karya-karya IPE, topik-topik yang sering dipublikasikan terkait IPE, Indonesia dalam debat IPE, serta focus riset pribadinya tentang Islamic economy.
Menurut prof. Rethel, debat mengenai IPE kini banyak menyangkut mengenai Hubungan antara “state and the market” hingga “economic cultures and global flows”, serta menegaskan bahwa debat IPE sangat fluid mengingat karakteristik diskusinya itu sendiri yang luas. Dalam kaitannya dengan debat IPE yang ditulis oleh Indonesian scholars, salah satu kritik yang dilontarkan oleh prof. Rethel adalah mengenai publikasi Indonesian scholars yang banyak menggunakan Bahasa Indonesia sehingga eksposur internasionalnya sangat kurang. Prof. Rethel kemudian memberikan sejumlah topik debat IPE bagi Indonesian scholars, di antaranya mengenai pemikir-pemikir ekonomi Indonesia seperti Tan Malaka, “ibuisme”, “gotong royong”, Islamic finance, serta topik-topik kekinian seperti kelapa sawit dan digital economy.
Paparan dilanjutkan oleh prof. Aleksius Jemadu yang mendiskusikan mengenai lemahnya kontribusi Indonesian scholars pada debat IPE dan mengajak mereka untuk lebih berkontribusi. Bagi prof. Jemadu, Indonesia memiliki banyak potensi, terutama mengingat kini Indonesia memegang presidensi G20 sehingga dapat turut menentukan dinamika politik internasional. Paparan prof. Jemadu kemudian disusul oleh Dr. Winanti yang mengomentari tentang IPE sebagai ilmu yang relative baru jika dibandingkan dengan Security Studies yang menjadi mainstream Hubungan Internasional. Melalui presentasi yang merupakan bagian dari focus penelitiannya kini tentang climate change and extractivism, Dr. Winanti memaparkan bahwa climate change and extractivism perlu didiskusikan sebagai topik IPE yang penting, terutama Ketika menyangkut dinamikanya di Global South.
Acara workshop ini ditutup oleh paparan dari Dr. Al Banna mengenai “Decolonizing Decolonization Agenda” yang memancing debat melalui topik “decolonization turn (?)”. Topik ini menyoroti asimetri komunitas epistemic antara scholars barat dan timur (atau kini Utara dan Selatan), seraya mengingatkan kembali bahwa diskusi mengenai IPE terkait dengan berbagai perubahan yang terjadi, salah satunya karena kolonialisme. Dalam kaitannya dengan topik IPE, Dr. Al Banna mengomentari tentang Eurosentrisme IPE yang dianggap memarginalkan scholars dari timur seraya menegaskan bahwa mungkin studi IPE perlu memperhatikan dinamika yang terjadi di negara-negara bekas jajahan Eropa, alih-alih menjadikan Global South sebagai sumber data untuk studi kasus bagi scholars dari barat.