Upaya Indonesia dalam Menangani Nasionalisme Vaksin Selama Pandemi COVID-19

Pada hari Jumat, 8 Aptil 2022, FPCI Chapter BINUS University mengadakan perekaman podcast dengan judul “Upaya Indonesia dalam Menangani Nasionalisme Vaksin Selama Pandemi COVID-19”. Dalam episode podcast ketiga ini, FPCI Chapter BINUS University mengundang dua narasumber, yakni Intan Ully Athalia Sihombing, Clinical Research Assistant dan Duta Kesehatan Indonesia 2022, dan Michel Kezia Yoshephine selaku Planning and Evaluation Staff di National Cardiovascular Center RS. Harapan Kita. Adanya podcast ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman para pendengar mengenai fenomena nasionalisme vaksin.

Sesi diskusi pada podcast ini dibuka dengan membahas mengenai indikator yang menunjukkan bahwa satu negara melakukan nasionalisme vaksin. Ibu Michel mengawali jawabannya dengan menjelaskan bahwa nasionalisme vaksin merupakan strategi ekonomi yang dilakukan negara-negara untuk menimbun vaksin yang didapat dari produsen dalam rangka pelaksanaan vaksinasi bagi masyarakat di negara tersebut. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan topik mengenai usaha diplomasi yang dilakukan Indonesia dalam mendapatkan pasokan vaksin COVID-19. Menurut pendapat Ibu Intan, Indonesia telah melakukan upaya yang cukup baik dan efektif dalam proses pengadaan vaksin, baik itu secara bilateral ataupun multilateral. Dalam diplomasinya, Indonesia juga menginisiasi sebuah resolusi “Global Health and Foreign Policy: Strengthening Health System Resilience through Affordable Healthcare for All” kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) dan mendukung fasilitas COVAX dalam upaya mewujudkan kesetaraan vaksin bagi negara lain. Namun, Ibu Michel mengatakan bahwa hambatan terhadap diplomasi vaksin bisa saja terjadi. Ia menambahkan bahwa langkah diplomasi negara-negara besar bisa saja dibatasi, mengingat keanggotaannya yang kurang diprioritaskan dalam mekanisme COVAX bila dibandingkan dengan negara berpenghasilan rendah.

Diskusi kemudian beralih ke topik bahasan mengenai pentingnya vaksin booster, Ibu Michel mengatakan vaksin booster tetap diperlukan sebagai bentuk pertahanan terhadap varian virus yang terus bermutasi. Pemerintah harus meningkatkan promosi kesehatan dan sosialisasi terhadap masyarakat sehingga bisa meluruskan stigma serta informasi yang beredar, juga meningkatkan minat vaksinasi masyarakat. Pembahasan terakhir adalah mengenai kesiapan Indonesia dalam pengembangan teknologi kesehatan di masa depan. Ibu Michel berpendapat bahwa upaya pembuatan vaksin dalam negeri dan banyaknya penelitian kesehatan di Indonesia dapat dilihat sebagai kesiapan Indonesia dalam pengembangan teknologi kesehatan. Diskusi dalam sesi podcast tersebut ditutup dengan pandangan optimis dari Ibu Intan bahwa sumber daya manusia di Indonesia sudah cukup mumpuni di bidang kesehatan, yang tentunya perlu didukung dengan fasilitas yang memadai dari pemerintah.