Big Data dan HI: Membaca Diplomasi Indonesia di Twitter

Big data yang bersumber dari media sosial dapat digunakan untuk menjadi bahan analisis berbagai isu yang sedang hangat dibahas oleh publik, baik publik di dalam maupun di luar negeri. Big data dari media sosial juga bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa dan pengajar Ilmu Hubungan Internasional (HI) untuk menelisik performa diplomasi digital sebuah negara atau pemimpin.

Pada tanggal 30 Juli 2021, jurusan HI Universitas Bina Nusantara (BINUS) menghadirkan Dr. Ismail Fahmi, pendiri PT Media Kernels Indonesia dan Drone Emprit Academic (https://dea.uii.ac.id/), untuk membahas bagaimana cara membaca berbagai isu terkait politik internasional (contoh: Aleppo di Suriah dan West Papua). Secara khusus, Dr. Ismail Fahmi mengulas performa diplomasi digital Indonesia di Twitter.

  • Aleppo (Suriah)

Konflik yang menahun di Suriah dibahas oleh mengguna Twitter di Indonesia dengan penekanan narasi perselisihan antara Syiah vs. Sunni. Aliran narasi ini merupakan impor dari luar negeri dan analisa jaringan sosial (SNA) menunjukkan diskusi berjarak dari pusaran utama pembahasan konflik di Aleppo.

  • West Papua

Isu West Papua adalah isu domestik yang berkembang menjadi perbincangan internasional. Terlihat dari analisa percakapan di Twitter, penggunaan kata West Papua didominasi oleh akun bukan orang Indonesia. Sementara akun Twitter milik orang Indonesia, kalaupun membahas tentang isu Papua, tidak menggunakan kata West Papua.

Dari contoh percakapan tentang West Papua, Dr. Ismail Fahmi menunjukkan bahwa pembangunan opini, informasi operasi, dan pengaruh, kini banyak dilakukan melalui media sosial oleh berbagai negara. “Kita perlu membaca operasi yang mungkin sengaja dibuat oleh berbagai untuk mempengaruhi kepentingan negara baik di dalam maupun di luar negeri,” katanya.

Lebih lanjut alumni ITB dan Universitas Groningen (Belanda) ini menyebutkan bahwa pembangunan opini internasional dalam isu West Papua di media sosial, lebih banyak dimenangkan oleh mereka yang pro Free West Papua, karena didukung oleh tokoh dan bahasa yang jangkauannya internasional (Bahasa Inggris).

Minimnya narasi dan percakapan yang digencarkan untuk mendukung posisi Indonesia dalam isu West Papua ini menjadi kritik yang disampaikan oleh Dr. Ismail Fahmi terhadap komunitas Hubungan Internasional di Tanah Air. “(Indonesia) Perlu memiliki “digital diplomat” untuk melakukan diplomasi digital di media online dan media sosial, dari kalangan yang paham permasalahan internasional, bukan menggantungkan buzzer dan bot,” ujarnya.

Diplomasi Digital Indonesia 

Khusus mengevaluasi performa Indonesia dalam diplomasi digital di Twitter, Dr. Ismail Fahmi mengingatkan agar Indonesia jangan sampai menggunakan memanipulasi narasi dengan menggunakan bot (robot komputer) karena hal itu mudah sekali terdeteksi. Jika ini dilakukan atas nama Indonesia untuk isu internasional, maka debunking oleh group OSINT internasional, seperti Bellingcat, akan mencoreng nama baik Indonesia.

Diplomasi digital Indonesia harus dilakukan secara alami, dan diramaikan oleh akun-akun yang memang dimiliki oleh individu yang nyata atau bukan robot. Itu sebabnya, masih kata Dr. Ismail Fahmi, para peneliti, mahasiswa, dan pemerhati Hubungan Internasional perlu terlibat menjadi “digital diplomat” yang mewakili Indonesia dalam percakapan terkait isu internasional di media sosial.

Pantauan social network analysis (SNA) akun Twitter Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan Menteri Luar Negeri (Menlu) selama satu bulan di antara Juni-Juli 2021 menunjukkan minimnya interaksi (retweet dan mention) dengan lingkaran yang lebih luas dan lebih banyak (lihat gambar di bawah). Interaksi lebih banyak justru diraih oleh akun milik politisi Alvin Lie yang cuitannya di retweet sebanyak lebih dari 1.300 kali.

Webinar ini merupakan program peningkatan kapasitas (capacity building) yang diselenggarakan oleh jurusan Hubungan Internasional dan merupakan bagian dari transformasi digital yang sedang berlangsung di Universitas Bina Nusantara (BINUS). Program self-development ini bermaksud untuk meningkatkan kapasitas tenaga pendidik dan mahasiswa dalam memaksimalkan potensi riset dengan memanfaatkan big data. Program peningkatan kapasitas ini direncanakan terdiri atas 4 webinar yang menghadirkan para praktisi, akademisi, dan perwakilan perusahaan media sosial.

Ella Prihatini