Antara Poros Maritim Dunia dan Jalur Sutra Laut
Pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Presiden Xi Jinping pada 9 November dapat dianggap sebagai awal sebuah babak baru hubungan antara Indonesia dengan Tiongkok. Sebagaimana diberitakan dalam berbagai media, dalam pembicaraan mereka, kedua pemimpin di atas antara lain menyoroti agenda maritim Republik Indonesia (RI) yang belakangan ini populer disebut poros maritim dunia dan gagasan jalur sutra laut yang dilontarkan Xi Jinping, tak lama setelah ia menjabat sebagai pemimpin tertinggi Tiongkok.
Para pemimpin tersebut sepakat menjadikan kedua gagasan di atas sebagai fokus kerja sama kedua negara. Bagaimanakah prospek dari kesepakatan kerja sama ini? Akankah gagasan poros maritim dunia bersinergi dengan visi jalur sutra laut milik Tiongkok? Tantangan apa saja yang mungkin dihadapi? Tulisan singkat ini mencoba menjawab pertanyaan di atas.
Jalur sutra laut (maritime silk road) merupakan sebuah konsep yang dipopulerkan para pemimpin Tiongkok beberapa tahun belakangan. Konsep ini dikembangkan bersamaan dengan visi jalur sutra baru yang merupakan sebuah jalur ekonomi yang menghubungkan Tiongkok dengan negara-negara Asia Tengah, Asia Barat, bahkan dengan negara-negara Eropa melalui jalan darat.
Sebaliknya, jalur sutra laut menghubungkan Tiongkok dengan negara-negara Asia Tenggara, negara-negara di pesisir Samudra Hindia, negara-negara di sekitar Laut Merah, hingga akhirnya sampai ke Eropa.
Gagasan membangun jalur sutra Laut ini diungkapkan Presiden Xi Jinping dalam kunjungannya ke Indonesia, awal Oktober 2013. Belakangan, saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN plus Tiongkok ke-16 di Brunei Darussalam pada bulan yang sama, Perdana Menteri Li Keqiang melontarkan ide tersebut.
Sebagaimana dinyatakan Justyna Szczudlik-Tatar, seorang pengamat Tiongkok dari Polandia, gagasan jalur sutra laut memberikan penekanan utama ke hubungan ekonomi yang lebih kuat, termasuk masalah-masalah finansial, kerja sama yang kuat dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur (seperti pembangunan jalan dan rel), dan peningkatan kerja sama keamanan.
Dalam konteks hubungan Tiongkok dengan Indonesia, aspek-aspek di atas sebenarnya telah diimplementasikan, setidaknya sejak satu dasawarsa lalu. Sebagai contoh, kerja sama dalam proyek infrastruktur telah dilakukan, seperti dalam pembangungan Jembatan Surabaya-Madura, Waduk Jatigede, dan beberapa proyek lain. Dengan demikian, gagasan jalur sutra laut hanyalah pendalaman dan peningkatan dari berbagai kerja sama yang selama ini sudah ada.
Namun, peningkatan diprediksi terjadi dalam skala besar. Ini mengingat komitmen yang cukup serius yang ditunjukkan oleh Tiongkok. Komitmen ini terlihat dari kesiapan Tiongkok memberi dukungan dana US$ 40 miliar untuk proyek-proyek terkait gagasan jalur sutra ini.
Sebagaimana dilaporkan oleh The Economic Times, dana itu akan digunakan untuk investasi dan bantuan keuangan bagi proyek-proyek infrastruktur, sumber daya, kerja sama ekonomi, dan proyek-proyek lain terkait keterhubungan (connectivity) antarnegara-negara yang termasuk dalam jalur tersebut.
Tak lama setelah para pemimpin Tiongkok melontarkan gagasan jalur sutra laut, di Indonesia muncul pula ide yang berkaitan dengan kelautan. Visi Indonesia sebagai poros maritim dunia dikembangkan Jokowi saat mencalonkan diri sebagai presiden RI. Sebagaimana dipaparkan Rizal Sukma dalam sebuah forum yang diselenggarakan pada awal Oktober, visi tersebut memiliki lima elemen utama, yaitu budaya maritim, infrastruktur maritim, sumber daya maritim, diplomasi maritim, dan pertahanan maritim.
Dalam kaitan di ataslah gagasan poros maritim dunia memiliki titik temu dengan visi jalur sutra laut yang dicanangkan Tiongkok. Indonesia dapat memanfaatkan komitmen Tiongkok untuk memberikan bantuan guna pembangunan infrastruktur dan sumber daya yang mendukung keterhubungan di antara negara-negara yang berada dalam jalur sutra laut.
Perlu dicatat, selain dana khusus US$ 40 miliar—yang salah satunya akan digunakan untuk memberikan pelatihan ke SDM dari negara-negara kawasan jalur sutra laut—Tiongkok telah memelopori berdirinya Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) dengan dana awal US$ 50 miliar. Indonesia dapat memanfaatkan hal-hal di atas untuk kepentingan pengembangan potensi maritim, maupun untuk proyek-proyek lain yang membawa keuntungan bagi bangsa ini.
Sehubungan dengan hal ini, pembicaraan antara kedua pemimpin beberapa hari lalu, serta harapan Presiden Jokowi agar AIIB berkantor di Indonesia, dapat dipahami sebagai sinyal awal bahwa Indonesia memang sedang menyiapkan diri memanfaatkan komitmen dari Tiongkok.
Namun, upaya di atas bukannya tanpa tantangan. Salah satu tantangan yang patut dicatat adalah kekhawatiran sementara kalangan di dalam negeri terhadap semakin menguatnya pengaruh Tiongkok di Indonesia. Kekhawatiran semacam ini tentu beralasan, mengingat ketergantungan pada bantuan dari negeri tersebut. Bila terjadi, itu berpotensi menempatkan Indonesia ke hubungan yang kurang seimbang dengan sang raksasa Asia itu. Seiring dengan kekhawatiran ini, terdapat pula kecurigaan bahwa proyek jalur sutra laut sebenarnya ditujukan untuk mengamankan kepentingan Tiongkok semata.
Meski tidak menyebar pada masyarakat luas, hal-hal di atas perlu ditanggapi serius karena dapat menumbuhkan sentimen nasionalisme di kalangan masyarakat. Salah satu cara mengatasinya dengan terus mempertahankan sikap saling menghormati dan menghargai antara kedua negara. Selain itu, sikap tegas dari para pemimpin bangsa Indonesia, khususnya ketika berhadapan dengan negara-negara yang kuat, merupakan resep cukup ampuh untuk meredam kekhawatiran di atas.
Sikap tersebut sebenarnya telah diperlihatkan Presiden Jokowi, misalnya ketika beliau dengan berani mengkritik kualitas bus buatan Tiongkok dan pembangkit listrik tenaga uap yang dibangun para kontraktor dan teknisi dari Negeri Panda itu. Sikap seperti itu perlu dipertahankan agar semua kalangan di Indonesia dapat menyambut bertemunya gagasan poros maritim dunia dan jalur sutra laut dengan lebih tenang.
Johanes Herlijanto, Pengamat Hubungan Indonesia-Tiongkok Universitas Bina Nusantara
Dipublikasikan di Harian Sinar Harapan, 18 November 2014