Hubungan RI-UE Usai Brexit
Hubungan RI-UE Usai Brexit. Sumber: Koran Jakarta
Dosen dan Faculty Member Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Paramitaningrum, memublikasikan artikelnya berjudul “Hubungan RI-UE Usai Brexit”. Di bawah ini adalah artikelnya.
Hubungan RI-UE Usai Brexit
British Exit (Brexit), keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa, tengah menjadi topik hangat. Referendum Pemerintah Inggris 23 Juni 2016 memperlihatkan 51,9% rakyat menginginkan meninggalkan Uni Eropa (UE). Sementara 48,1% mengharapkan Inggris tetap bersama UE. Brexit tidak hanya berdampak pada kondisi internal Inggris dan UE, tapi juga mempengaruhi hubungan luar negeri UE dengan pihak ketiga seperti ASEAN.
Inggris turut berkontribusi pada perkembangan interaksi kelompok negara-negara Eropa dengan kawasan Asia Tenggara. Keanggotaan Inggris dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) tahun 1973 memperluas jangkauan integrasi Eropa. Keberadaan Inggris memfasilitasi MEE untuk berinteraksi dengan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Negara-negara ini menikmati berbagai program MEE dalam bidang perdagangan dan kerja sama pembangunan. Sebaliknya, MEE memanfaatkan sumber daya alam dan bahan-bahan mentah Asia Tenggara.
Formalisasi interaksi antara Eropa dan Asia Tenggara ada dalam EC-ASEAN Economic Agreement yang diteken tahun 1980. Fokusnya kerja sama pembangunan dan perdagangan. Perubahan situasi dunia internasional dan kondisi internal di tiap-tiap ME serta ASEAN mengalami pasang surut. ME berganti nama menjadi UE dan menambahkan unsur politik untuk memperkuat proses integrasi Eropa dan dalam hubungan UE dengan pihak ketiga, termasuk ASEAN.
Hubungan UE-Indonesia dibentuk melalui kerangka Perjanjian EC–ASEAN 1980 tadi, sehingga lebih difokuskan pada sektor perdagangan dan kerja sama pembangunan. Indonesia juga salah satu penerima bantuan pembangunan ME. Namun UE baru mengamati Indonesia setelah reformasi politik dan proses demokratisasi tahun 1998. Indonesia juga sukses menyelesaikan perseteruan dengan Timor Leste tahun 1999.
Indonesia juga memiliki modalitas untuk menjadi aktor penting kawasan. Dengan jumlah penduduk 255 juta, pertumbuhan ekonomi 5% dengan pendapatan per capita 11,300 dollar AS, serta 42% penduduk produktif, menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial. Prestasi Indonesia membangun demokrasi di tengah masyarakat multi-etnis, kultur, dan agama, apalagi Indonesia bersikap kooperatif dalam menangani isu internasional, menjadi salah satu role model bagi masyarakat internasional.
Berbagai Forum
Hal ini juga dibuktikan dengan partisipasi Indonesia di berbagai forum internasional seperti ASEAN, APEC, ASEM yang dimotori UE, dan East Asia Forum. UE melakukan berbagai inisiatif untuk memperkuat hubungan bilateral dengan Indonesia. Ini diawali dengan Forum Konsultasi Bilateral tahun 2000. Tujuannya, memfasilitasi para pejabat UE dan Indonesia untuk membicarakan masalah nonekonomi dan ide-ide untuk mengembangkan hubungan kemitraan.
UE juga terlibat aktif dalam Aceh Monitoring Mission tahun 2005-2006. Di samping itu, Country Strategy Paper 2002-2006 dan 2007-2013 menggambarkan komitmen UE membantu meningkatkan kapasitas Indonesia. Hubungan bilateral tersebut baru diformalkan dengan penandatanganan Partnership Cooperation Agreement (PCA) tahun 2009.
PCA mengintensifkan interaksi dan memperluas kerja sama ekonomi serta nonekonomi. Selain itu, interaksi intensif keduanya akan melibatkan pejabat pemerintah, parlemen, dan komponen masyarakat seperti LSM, pengusaha, dan akademisi. Implementasi PCA baru dilaksanakan Mei 2014.
Saat ini, UE dan Indonesia tengah menegosiasikan pembentukan Comprehensive and Economic Partnership Agreement (CEPA) atau Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif yang sempat terhenti tahun 2012. CEPA akan memperkuat hubungan ekonomi dan perdagangan yang sudah terjalin. Dia juga bisa dianggap sebagai Free Trade Agreement (FTA/Perjanjian Perdagangan Bebas), namun memiliki komponen capacity building untuk menyiapkan kapasitas Indonesia menjalani FTA.
Namuan, Brexit membuat hubungan UE dengan ASEAN, dan Indonesia harus disesesuaikan. Contoh, keluarnya Inggris dari UE membuatnya tidak lagi terikat seluruh kesepakatan UE-ASEAN-Indonesia. Kesepakatan yang sudah terbentuk akan direvisi. UE tengah mengupayakan dokumen resmi yang mengatur pengunduran diri Inggris (withdrawal treaty/WT) dengan mengimplementasikan artikel 50 Traktat Lisbon.
Selain itu, berlakunya WT membuat UE harus negosiasi ulang dengan seluruh mitra, termasuk ASEAN dan Indonesia akan setiap kesepakatan. Kemudian karena Inggris memanfaatkan forum hubungan UE-ASEAN untuk berinteraksi dengan ASEAN, maka Brexit memberi Inggris peluang lebih besar meningkatkannya. Sebab ada hubungan historis Inggris dengan kawasan Asia Tenggara dan prestasi ASEAN pascapemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun lalu.
Indonesia juga berpeluang meningkatkan kemitraan dengan Inggris secara bilateral atau melalui forum ASEAN. Perjanjian Kemitraan (2012) yang menjabarkan kepentingan Inggris di bidang perdagangan dan investasi, serta counterterrorism-tata kelola global memperlihatkan keduanya telah saling berkepentingan. Kekuatan hubungan bilateral ini bias terus diperkuat dengan prinsip saling menguntungkan. Indonesia, misalnya, bisa menjadikan Inggris sebagai pasar, di luar UE, yang bisa digarap lebih serius lagi.
Paramitaningum PhD
Subject Content Coordinator, Foreign Policy and International Politics, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara.
***
sumber: http://www.koran-jakarta.com/hubungan-ri-ue-usai-brexit/