Strategi Tiga Naga
Didengungkan sebagai emerging power oleh banyak pihak seolah menjadi magnet tersendiri bagi China yang mengundang kalangan pemerintah, akademisi, dan praktisi untuk mengenal lebih jauh apa dan siapa China. Dan kenyataannya, China memang seperti enigma sehingga membutuhkan upaya lebih keras untuk mengupas lapisan demi lapisan China. Performa ekonomi China yang mengesankan pada dekade terakhir yang ditunjukkan dengan surplus perdagangan yang semakin besar dengan negara-negara mitra dagangnya menuntut peranan faktor pendukung yang stabil demi menjaga laju pertumbuhan ekonomi negara Tirai Bambu tersebut. Salah satunya adalah kebijakan energi China yang menjamin ketersediaan bahan bakar pertumbuhan. Tak pelak, literatur tentang kebijakan energi China serta ekspansinya ke negara-negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Selatan untuk mengamankan pasokan energi sudah banyak ditemui di pasaran.
Buku Strategi Tiga Naga: Ekonomi Politik Industri Minyak Cina di Indonesia ini ditulis oleh Tirta N. Mursitama dan Maisa Yudono dan diterbitkan hasil kerjasama antara Center for East Asian Cooperation Studies (CEACoS) Universitas Indonesia dan Penerbit Kepik Ungu, sebuah penerbit independen yang fokus pada penerbitan buku-buku sosial politik.
Buku ini berupaya memetakan strategi dan kebijakan energi China dengan berfokus pada sepak terjang perusahaan minyak nasional China di Indonesia, yakni PetroChina/CNPC, CNOOC, dan Sinopec yang dijuluki penulis sebagai “Tiga Naga”. Berangkat dari sejarah awal perkembangan industri minyak dunia, buku ini memberikan konteks dan pemahaman awal evolusi industri minyak dari waktu ke waktu yang mengantarkan pembaca kepada paparan kebijakan strategi energi China secara runut. Penulis mengajak pembaca untuk melihat lebih dekat kebijakan dan strategi Tiga Naga dalam industri minyak Indonesia melalui paradigma eklektik John Dunning (1993) yang menitikberatkan pada keunggulan OLI, yakni kepemilikan (ownership), lokasi (location), dan internalisasi (internalisation) untuk menunjukkan kedigdayaan Tiga Naga dari China.
Namun, beberapa catatan tentang buku ini adalah: pertama, kedigdayaan Tiga Naga dibanding IOC dalam industri migas di Indonesia kurang terlihat terutama berapa banyak produksi dan sumur minyak di Indonesia yang dikuasi oleh Tiga Naga dibanding oleh perusahaan minyak internasional lainnya yang dapat memperkuat asumsi bahwa kiprah Tiga Naga semakin penting. Kedua, analisa ekonomi politik internasional (ekopolin), yakni keterkaitan antara faktor eksternal/internasional dan domestik yang melatarbelakangi tindakan perusahaan minyak China yang sejatinya menjadi tujuan buku ini malah kurang terlihat. Kalaupun disebutkan, faktor-faktor tersebut seolah berdiri sendiri (seperti yang diulas per bab dari buku ini). Ketiga, justifikasi mengapa paradigma OLI yang diadopsi. Meskipun pendekatan OLI Dunning memberikan kerangka untuk menjelaskan kekuatan perusahaan multinasional sebagai suatu korporasi, tapi tidak menjelaskan interaksi antara MNC-negara penerima (host country), yakni bagaimana dan mengapa terjadi interaksi antara perusahaan minyak China dan Indonesia, serta peranan negara asal (China) yang mempengaruhi interaksi tersebut. Dengan memasukkan elemen interaksi antara perusahaan China, host country (Indonesia) dan home country (China) yang dipengaruhi oleh interplay antara faktor domestic dan internasional akan lebih memperkaya analisa ekopolin dalam buku ini.
Terlepas dari kekurangannya, buku ini mampu memberikan pengetahuan tentang perusahaan minyak China yang meskipun kiprahnya semakin penting dalam peta migas Indonesia, gaungnya masih relatif lemah dibandingkan perusahaan minyak internasional (IOC) yang lebih dulu masuk ke Indonesia seperti ConocoPhilip dan ExxonMobil.