Nobel yang Tak Diinginkan
Research Coordinator Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Amalia Sustikarini, memublikasikan artikelnya berjudul “Nobel yang Tak Diinginkan”. Di bawah ini adalah artikelnya.
Nobel yang Tak Diinginkan
Panitia mengumumkan bahwa Nobel Perdamaian 2016 diberikan kepada Presiden Kolombia Juan Santos yang sukses melahirkan perjanjian damai untuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berjalan lebih dari setengah abad. Kolombia mengalami konflik politik berkepanjangan sejak 1948 saat terjadi perang sipil antara kelompok liberal dan konservatif (La Violencia).
Usai perang sipil tahun 1968 tidak otomatis melahirkan perdamaian di Kolombia karena kemudian terbentuk kelompok bersenjata berhaluan marxis. Mereka kecewa karena tidak dilibatkan dalam political sharing agreeement pascaperang sipil. Mereka lalu mengangkat senjata melawan pemerintah yang dianggap memihak kelompok kaya dan tuan tanah. Dua kelompok bersenjata yang terkuat adalah FARC dan ELN.
Perlawanan FARC dan ELN direspons dengan keras oleh pemerintah. Tak kurang dari 250.000 jiwa melayang dan jutaan orang lainnya mengungsi. Aksi-aksi penculikan, pembunuhan, kekerasan seksual yang berkelindan dengan peredaran obat-obatan menjadi realita sehari-hari yang harus dihadapi penduduk Kolombia.
Saat Jose Santos menjadi presiden tahun 2010, pendekatan mulai berubah menjadi lebih lunak dengan beberapa kali usaha perundingan damai. Akhirnya berhasil dicapai perdamaian antara pemerintah dan FARC.
Beberapa hari sebelum hadiah Nobel tersebut diberikan kepada Santos, perjanjian perdamaian ditolak rakyat Kolombia. Hal itu tampak dari hasil referendum di mana 50,2 persen suara menolak, dan 49,8 persen menerima. Hasil referendum ini menyebabkan perjanjian perdamaian yang telah ditandantangani Presiden Juan Santos dan Pemimpin FARC tidak bisa diimplementasikan.
Keberatan utama dari rakyat Kolombia terhadap perjanjian perdamaian ini karena konsesi yang terlalu besar dan murah hati bagi kelompok FARC. Berdasarkan perjanjian tersebut, kelompok FARC berhak mendapat amnesti, atau menjalani peradilan khusus dengan hukuman penjara minimal serta melakukan community service. Mereka juga mendapat alokasi 10 kursi di parlemen sambil menunggu transformasi menjadi partai politik agar dapat berkompetisi di pemilu.
Selain itu, juga ada juga program reintegrasi para serdadu FARC yang memakan biaya besar. Rakyat Kolombia yang menolak perjanjian perdamaian mengaggap klausul-klausul tersebut sebagai bentuk ketidakadilan dan pengabaian segala kejahatan FARC selama 50 tahun.
Mirip Aceh
Perjalanan konflik dan perdamaian Kolombia ini sedikit banyak mengingatkan pada proses serupa di Aceh pada tahun 2005. Terjadi pula kemiripan, inisiator perdamaian tersebut dianugerahi hadian nobel perdamaian, yang pada kasus Aceh diterima oleh Marti Ahtisaari, mediator perundingan Helsinki antara GAM dan pemerintah Indonesia. Beberapa klausul perjanjian perdamaian pun mirip: reintegrasi, pembentukan partai politik dan amnesti. Saat perundingan berjalan pun ada resistensi dari kalangan militer dan anggota DPR. Namun penentangan tersebut bisa diredam duet SBY-JK yang berasal dari kalangan militer dan Golkar, parpol dominan di DPR.
Proses penyusunan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) sebagai turunan dari MoU Helsinki menjalani proses yang cukup lama karena beberapa subjek dianggap cukup sensitif seperti pembentukan (partai politik lokal). Namun perbedaannya konflik di Aceh hanya terjadi di satu provinsi. Sedangkan di Kolombia melibatkan seluruh negeri sehingga proses penyelesaiannya pun lebih rumit.
Ada pelajaran dari kegagalan perdamaian Kolombia dibanding Aceh. Rakyat Kolombia masih sulit memaafkan dan menjalin rekonsiliasi dengan FARC melalui proses transitional justice. Ini memang sensitif dalam setiap perjanjian perdamaian.
Dalam kasus Aceh, peradilan HAM dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menjadi klausul yang cenderung dikesampingkan. Pengadilan HAM menjadi tidak bergigi untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan selama konflik Aceh karena tidak mengadopsi prinsip rectroactive. Jadi, hanya dapat mengadili kasus-kasus setelah perdamaian.
Komisi KKR bernasib sama. Dasar hukum pembentukannya dianulir karena pasal tentang amnesti dianggap menciderai rasa keadilan. Lebih dari 10 tahun kemudian, belum ada insiatif baru pemerintah untuk memulai usaha-usaha nonjudisial dalam menuntaskan kekerasan semasa konflik Aceh.
Kemudian, mekanisme referendum atau plebisit ternyata memiliki risiko bahwa rakyat ternyata mengambil pilihan yang diangap kurang baik. Ingat Brexit di mana referendum rakyat Inggris secara mengejutkan memilih keluar dari EU. Informasi tidak berimbang dan lebih dominannya info negatif bergabungnya Inggris ke EU ditengarai jadi sebab kekalahan pendukung EU.
Di Kolombia, kurangnya penjelasan resmi dari pemerintah dan gencarnya informasi negatif tentang perjanjian damai diduga menjadi salah satu penyebab penolakan. Di samping itu, terdapat pula tingginya jumlah penduduk yang memilih untuk abstain.
Referendum, bentuk demokrasi langsung, kerap ditafsirkan sebagai bentuk tertinggi demokrasi karena rakyat dapat memutuskan secara langsung masalah-masalah krusial negara. Namun terdapat konsekuensi terjadinya instabilitas politik karena rakyat rentan dimanipulasi oposisi.
Perjanjian perdamaian Aceh berhasil dikawal pemerintah dan DPR sehingga menghasilkan MoU Helsinki dan UUPA yang menjadi landasan proses peacebuilding di Aceh. Dengan kata lain, pencapaian perdamaian Aceh sedikit banyak dibantu pembatasan pelibatan rakyat untuk persetujuan perdamaian.
Hal ini memang akan menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa kalangan, namun mampu membuat perdamaian terwujud dan memiliki ketetapan hukum. Tugas berikutnya melaksanakan klausul perjanjian perdamaian secara konsisten berdasarkan prinsip keadilan.
Perdamaian Aceh sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Menjadi tugas banyak pihak yang terkait baik di level nasional, lokal, maupun societal agar perdamaian terus dapat dipertahankan. Hal ini termasuk dimulainya kembali usaha-usaha transitional justice untuk memenuhi rasa keadilan para korban konflik. Sementara di Kolombia, para pemimpin masih harus berjuang untuk meyakinkan kembali rakyatnya bahwa perdamaian layak diterima.
Penulis Master of International Law and Politics University of Canterbury, New Zealand, dosen Binus
Amalia Sustikarini
Research Coordinator, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara
***
sumber: http://www.koran-jakarta.com/nobel-yang-tak-diinginkan/