22nd Kijang Initiatives Forum

Fenomena kelompok militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), kasus serangan terhadap kantor surat kabar Charlie Hebdo di Paris, penggunaan sentimen anti-Islam dalam kampanye pilpres Amerika Serikat, sampai aksi protes umat Islam terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atas tuduhan penistaan ayat Alquran memunculkan pertanyaan tentang kemunculan kembali agama dalam politik nasional dan global. Apakah benar fenomena itu terjadi? Apakah ini bentuk perlawanan terhadap modernisasi dan sekularisme?

Dengan  latar  belakang  permasalahan  di atas, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara menyelenggarakan Kijang Initiatives Forum (KIF) ke-22 dengan tema “Post-Secular World: The Resurgence of Religion in National and Global Politics“ pada Jumat, 11 November 2016, pukul 13.00-15.00 di ruang C.204 Kampus Kijang Binus. Kegiatan KIF kali ini diisi oleh pembicara Narwastuyati Petronela Mbeo, atau akrab dipanggil Naya, dosen HI Binus.

Menurut Naya, kata ‘sekuler’ bukan berarti tidak religius. Kata ini berasal dari kata ‘Saeculum‘, yang berarti era/suatu periode waktu, merujuk pada sebuah tradisi kekristenan Barat atau Katolik Roma, di mana para pastor harus pergi keluar dari biara. Menurut filsuf Charles Taylor, terdapat dua dinamika sekularisasi dalam kekristenan Barat, yaitu 1) spiritualisasi dunia sekuler melalui tradisi Saeculum dan 2) emansipasi aspek-aspek sekuler dari kendali Gereja melalui Reformasi Protestan. Kedua dinamika ini disebabkan adanya upaya untuk memberdayakan manusia dengan mengedepankan narasi Kristus yang manusia/menderita.

Naya berikutnya membahas tiga makna sekularitas menurut Charles Taylor: 1) Sekularitas politik adalah gerakan mengosongkan ruang publik dari semua religiositas, atau pembagian ruang publik dan ruang privat; 2) Sekularitas individu adalah hilangnya iman kepada Tuhan dan praktik agama, atau perubahan masyarakat menjadi lebih antroposentris; 3) Sekularitas religius adalah ketika religiositas menjadi luas sehingga iman pada Tuhan hanya menjadi sebuah pilihan di antara banyak pilihan religiositas, atau perubahan manusia menjadi apa yang disebut Taylor sebagai ‘immanent frame‘.

Naya kemudian membahas tesis klasik sekularisasi, yang diringkas oleh sosiolog agama Jose Casanova. Menurut teori ini, dalam tahap tertentu sejarah dunia, agama akan lenyap dan hanya ada di ruang pribadi. Semakin modern suatu masyarakat, semakin sekuler masyarakat tersebut. Hal ini adalah warisan Abad Pencerahan (Aufklärung), yang melihat bahwa suatu hari nanti irasionalitas agama akan diatasi.

Menurut Naya, teori ini salah karena agama tidak hilang dari masyarakat modern, seperti di Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Arab Saudi, hingga Indonesia. Selain itu, ada kebangkitan agama dalam masyarakat yang berkembang atau ‘baru’, terutama setelah akhir era Perang Dingin, seperti di eks-Uni Soviet, Eropa Timur, Afrika, dan Amerika Latin. Bahkan, selama Perang Dingin, faktor agama berpengaruh untuk memperkuat nasionalisme, terutama bagi masyarakat diaspora. Berita buruknya, konflik yang disebabkan oleh agama masih terjadi, serta muncul radikalisme setelah akhir era Perang Dingin.

Dalam menjelaskan mengapa agama tidak hilang dari masyarakat modern, Naya mengutip berbagai cendekia. Sosiolog Peter Berger mengungkapkan bahwa, dalam menghadapi sekularisasi, agama mengambil dua strategi, yaitu 1) penolakan terhadap sekularisasi, seperti munculnya kelompok tertutup yang melestarikan tradisi tertentu; serta 2) adaptasi, seperti yang dilakukan oleh Katolik Roma dalam Konsili Vatikan ke-2 atau oleh wanita berpendidikanmengenakan jilbab.

Charles Taylor mengungkapkan bahwa agama tidak hilang karena manusia memiliki kerentanan abadi terhadap kematian dan kekerasan, yang merupakan manifestasi dari sifat kita sebagai Homo religiosus. Hal ini menyebabkan dalam kehidupan profan sehari-hari, orang cenderung untuk terus menjaga religiositas mereka melalui berbagai cara.

Filsuf Jürgen Habermas mengungkapkan bahwa agama menjadi basis prapolitik yang meningkatkan solidaritas di antara orang-orang dalam dinamika ekonomi dan politik global. Agama memiliki potensi untuk memainkan peran politik dengan menafsirkan nilai-nilai moral dengan bahasa universal.

Naya menyimpulkan bahwa modernisasi memang berhubungan dengan sekularisasi, tetapi modernisasi tidak selalu berarti sekularisasi. Sehingga, modernitas tidak sama dengan sekularitas. Dalam dunia sekuler, agama masih memiliki peran penting dan tidak hilang begitu saja dari masyarakat modern. Religiositas bisa berjalan bersama dengan sekularitas dan mengembangkan dasar moral bersama. Pertanyaan pentingnya adalah: Apakah agama saat ini hanya digunakan sebagai kedok untuk masalah lain yang mungkin lebih mendasar, atau apakah agama menjadi prinsip dasar atau faktor memobilisasi dan mengemansipasi manusia?

Materi paparan Naya dapat diunduh di:

Post-Secular World