BAGAIMANA CIVIL SOCIETY IN THE GLOBAL PANDEMIC ISSUE: PERAN MASYARAKAT SIPIL

Sylvia Yazid, Ph.D
HI UNPAR

Link YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=05itEnF57Xs&feature=youtu.be

Link artikel sebelumnya: BAGAIMANA POLITIK RIZOMATIK DAN GERAKAN AKAR RUMPUT MENGATASI PANDEMI GLOBAL?

 

“Terima kasih sekali, ternyata beringan dengan Mbak Rani duluan itu menurut saya klop banget, karena apa yang disampaikan Mbak Rani tadi akhirnya akan nyambung dengan presentasi saya, jika mba Rani berada di tataran konseptual, saya mungkin akan membawa sedikit ke aglikraktis dengan memasukan pengalaman – pengalaman saya selama ini terkait dengan isu dengan civil society.

Saya mengambil judul “Working in the Crowded Battlefield : Civil Society in the Global Pandemic Issue. Kenapa, karena saya melihat kita tuh jargon-jargonnya adalah fight Corona, karena seperti tadi mbak Rani katakan kita harus bekerja sama jadi yang collective self-help itu kita akan butuh untuk Bersama-sama karena semakin nyata ini tidak bisa dilakukan sendiri. Sebelum lanjut saya ingin memperkenalkan sedikit background saya karena ini akan mempengaruhi pembicaraan saya pagi ini.

Saya S1 skripsinya HI-Pol banget, Iran Foreign Policy, lalu S2 saya ke public policy, S3 saya balik lagi ke NGO dan Policy, bagaimana NGO mempengaruhi Policy, Jadi mungkin saya akan lebih banyak berada di tataran bagaimana pemerintah dan civil society itu berinteraksi, jadi lebih ke arah sana. Ok, kita masuk kesini, saya ambil dari WHO Response on Pandemic, kalau misalnya teman-teman yang mahasiswa biasanya kita bicara tentang peacekeeping, peacebuilding itu biasanya suka ada lingkarannya, ada urutan-urutannya dari satu tahap ke tahap lain, lalu apa, lalu apa dan berputar kembali ternyata itu sudah style nya PBB, WHO juga mengeluarkan hal yang mirip untuk pandemic dimulai dari “recognize the event” .

Jadi mengakui dulu bahwa pandemic lalu assessment, kemudian contain, itu rapid reaction yang dikeluarkan, lalu mulai mitigate, nah ini yang mulai kita lakukan, karena mitigate ini involve non-pharmaceutical intervention, jadi intervensi-intervensi yang sifatnya seperti tadi social distancing, closure, dan masih banyak lainnya, yang secara sosial bisa diinisiasi, jadi tidak perlu melibatkan expert atau ahli kesehatan. Lalu kemudian lanjut ke recovery and prepare for subsequent Waves, membaca grafik ini agak sulit karena sudah ada recovery and prepare for subsequent Waves, yang tadinya kita berpikir bahwa saya akan kuliah dari rumah sekitar satu-dua bulan, sekarang harus sudah mulai bertanya-tanya, apakah memang itu satu-dua bulan, tadi Mbak Rani mengatakan denormalisasi atau orang sudah mulai mengatakan tentang new normal.

Hal-hal tersebut sudah mulai muncul begitu, maka kita harus menerima dengan legowo mungkin bahwa bekerja seperti ini bisa jadi berlanjut dan itu PR dari Universitas juga. Nah, satu hal lagi yang saya sadari dalam perjalanan karir saya adalah saya sangat tertarik dengan aktor, analisa aktor, oleh karena itu saya memasukkan bahwa siapa sih aktor-aktor yang need to be involved.

Dan karena tadi mulai dari WHO jadi atasnya international organization bukan atas dalam arti otoritas namun dari lingkup yang lebih besar, kemudian ada state, state ini saya bagi menjadi lapisan-lapisannya, ada Central Government, Provincial Government, and Municipality/District Government lalu setelah itu ada civil societies. Susunan ini lebih karena cakupannya bukan karena hierarki, saya tidak ingin melihat ini sebagai hierarki, tapi lebih karena luas cakupannya, saya akan lebih menyorot terutama di municipality/District Government dan civil society, kenapa, pertama karena memang ketika kita lihat, dari Wuhan pun sampai sekarang yang kita alami, karena besarnya dan kompleksnya permasalahan yang kita alami tidak mungkin dilakukan dalam skala yang besar, karena setiap daerah memiliki karakteristiknya sendiri.

Kita lihat di Indonesia sekarang, akhirnya inisiatif-inisiatif dalam tanda kutip lockdown itu sampai ke gang – gang bahkan, ini semakin mengecil, lalu aktor-aktor di dalam situlah yang harus berinteraksi dan menetapkan kita harus bagaimana. Satu alasan lagi mengapa saya mengambil municipality karena akhir-akhir ini saya sering terlibat dengan Rule Wallenberg institute dan mereka sedang mempromosikan konsep yang namanya human rights city concept, dimana didalamnya benar-benar melibatkan dari civil society, nanti kita akan lihat apa itu human rights city concept.

Kalau kita ambil yang kecilnya saja, mitigation during pandemic for municipality, harusnya menurut PAHO, mereka punya guideline tentang pandemic paling sederhana untuk municipality pertama adalah build on emergency operation center, dan emergency operation center menurut PAHO ini tidak hanya melibatkan pemerintah namun seluruh unsur masyarakat. Kemudian Regularly assess needs, identify resources, and plan for responses, nah, ini yang perlu kita sikapi sekali karena kalau kita melihat data kejadian itu semua berubah dengan sangat cepat dalam kondisi sekarang.

Jadi kalau misalnya kita minta oiya plannya seperti apa kepada pemerintah yang biasa merencanakan sesuatu dalam jangka Panjang itu mereka agak gelagapan karena mereka terbiasa merencanakan di awal tahun lalu rapat – rapat, lalu launching satu program, lalu akan berlangsung selama satu tahun di akhir ada evaluasi. Nah, fase itu dimiliki oleh pemerintah, padahal sekarang semua itu harus cepat, bukan lagi hitungan bulan namun hitungan minggu dan hari bahkan jam atau detik mungkin.

Setelah itu implement the responses setelah di assess, di implement kemudian prepare for community recovery. Ini mitigasi yang sederhana dari tingkat municipality atau kota/kabupaten level itu dipikirkan. Nah, bagaimana saya merefleksikan hal ini dengan kegiatan saya terakhir – terakhir ini.

Human Rights City Concept, ini adalah sebuah konsep yang dipromosikan di seluruh dunia, dimulai dari Gwangju di Korea, karena mereka punya sejarah yang mirip dengan kita, mirip trisakti, jadi gerakan kemanusiaan yang dimulai dari universitas juga, dan mereka punya sejarah dimana bahkan di Universitas di Gwangju ada satu museum yang merekam pahlawan-pahlawan kemanusiaan itu dan kami itu waktu itu ketika berkunjung kesana berpikir coba ya kita punya museum kayak gini untuk Trisakti, jadi ada foto – foto ketua BEM nya ada semua.

Anyway, Human Rights City Concept ini sederhana, bahkan bisa jadi sudah dilaksanakan, ada tiga prinsip disana. Yang pertama adalah Analyse, ketika sebuah kebijakan tersebut disimulasikan harus ada proses analisis, jadi nggak turun dari atas, jadi harus ada proses analisanya. Jadi prinsip yang penting itu “no-one left behind”. Mba Rani bisa setuju dengan saya ini yang sering menjadi kelemahan kita, banyak sekali ketika kebijakan dibuat banyak yang left behind, terutama kelompok perempuan, kelompok disabilitas, dan kelompok yang termarjinalisasi lainnya.

Human Rights City Concept itu menuntut bahwa kota harus memastikan bahwa tidak ada yang ditinggalkan sehingga analisis sebelum kebijakan itu diperlukan sekali, kemudian participatory decision making process, bahwa setiap key groups itu harus terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, tidak boleh ada yang terlewatkan. Dan terakhir adalah apapun yang dilakukan, kebijakan apapun yang diimplementasikan akhirnya tujuannya adalah untuk empower, jadi self-help itu tadi tidak hanya, sekarang hanya baru tahap memberikan bantuan, memberikan paket sembako, saya setuju itu yang saat ini diperlukan.

Kalau kita bicara tentang bukunya Mas Cook, yang juga berasal dari UGM, kalau kita bicara tentang Civil Society Organization itu ada tahapannya, First Generation, Second Generation dan Third Generation. First Generation itu yang lebih charity jadi dia ngasih bantuan sembako, jasa dengan asumsi masyarakatnya tidak mampu untuk itu. Kalau sekarang kita ajak orang – orang untuk demo, orang tidak akan mau karena perut lapar, atau bahkan kebalikannya karena perut lapar jadi orang mau.

Intinya adalah penuhi dulu kebutuhan dasarnya tapi at the end, maka harus ada yang memikirkan apa selanjutnya, lalu bagaimana mereka akan survive, ini kegelisahan saya akhir-akhir ini, dan juga karena semester ini mengajar dua kelas NGO di S1 dan S2, belum terlihat atau belum muncul ke permukaan bagian-bagian dari civil society dari akar rumput yang memperhatikan dari arah tersebut. Mungkin karena konsentrasinya masih kegiatan-kegiatan yang karitatif yang memberikan bantuan.

Tapi untuk yang berpikir apa yang bisa dilakukan, karena ini kan kita berpacu dengan waktu ya. Jadi di satu sisi kita butuh memberikan bantuan, tapi disisi lain ada esok hari yang perlu kita siapkan. Lalu dengan konsep seperti itu maka saya meminjam gambar ini. Saya nggak tahu apakah teman-teman mahasiswa masih familiar dengan buku Where’s wall-e, mencari seseorang di keramaian, orang yang berbaju garis – garis merah putih. Nah sekarang ini plesetan dari where’s wall-e yang robot itu, jadi silahkan mencari, tapi pertanyaan saya adalah where’s civil society, jadi di tengah hiruk pikuk yang sekarang ini civil society itu ngapain, harus ngapain dan mereka harus dimana.

Saya mendapat pertanyaan dari kelas NGO saya, Mba lalu NGO kok kaya nggak keliatan ya Mba? Ada yang keliatan tapi diakhir nanti kita lihat, ada tapi nggak terlalu kedengaran. Siapa tahu dari forum ini bisa muncul dimana civil societynya dimana, grassroot iniciative nya dimana.

Menurut saya social distancing shouldn’t be policy Distancing, jadi walaupun kita sibuk sekarang dengan membantu inisiatif banyak sekali, tapi ada banyak sekali yang perlu dipengaruhi, karena kalau tidak dampaknya didepan nanti, kalau misalnya ternyata pemerintah kita menyiapkan policy nya tidak cocok dengan kondisi sebenarnya akan bahaya, takutnya nanti akan memperburuk kondisi kedepan. Lalu tadi Mbak Rani sudah menyatakan dari gambar Rizomanya, siapa saja aktor-aktor yang terlibat.

Saya sudah mencoba mengklasifikasi meskipun tidak sebanyak tadi tapi ada NGO, philanthropic foundation, ada Faith-based community organizations, Academic institutions, benar mba, Universitas kami juga membuat masker dan hand sanitizer, dan Health condition-related community organizations, Ini paling tidak yang muncul akhir-akhir ini.

Sebenarnya ada yang namanya TAPIC Framework, ini TAPIC Framework memang khusus untuk bidang kesehatan biasanya. How municipality and Civil Society Interact? Pertama adalah jalurnya bagaimana interaksi antara pemerintah daerah dan civil society, pertama transparency, encourages civil society to identify important decisions and opportunities. Saya bisa katakan karena kami juga berinteraksi dengan pemerintah daerah di Bandung, mereka juga bingung, saya tidak tahu bagaimana di daerah teman-teman seyakin apa mereka dalam menghadapi kondisi ini.

PSBB kalau kita lihat berapa proposal yang ditolak oleh pemerintah pusat, paling tidak dananya tidak mencukupi, yang diterima pun, mereka rencananya tidak bulletproof, atau failure proof, karena mereka sendiri tidak terbiasa dengan kondisi seperti ini. Sebenarnya ada satu diagram lagi dari WHO bahwa seharusnya akan lebih baik lagi kalau setiap pemerintah sebenarnya harus sudah punya konsep mitigasi bencana seperti ini, yang sayangnya tidak dimiliki oleh seluruh pemerintah kota.

Peran dari Civil society adalah mendorong transparansi, seperti di sosial media, seperti ada tuntutan mana data yang real, mana data yang sebenarnya, belum lagi IDI ikut, IDI ikut mengatakan bahwa lebih dari itu. Mendorong transparansi ini diperlukan agar dapat diidentifikasi, keputusan seperti apa yang perlu diambil. Accountability jelas seperti tadi bahwa siapa yang perlu ditarget. Muncul pembicaraan, jangan lewat RT nanti keluarga-keluarganya yang dapat.

Yang lucunya lagi dari rekan-rekan di sini, ada yang tukang posnya sudah datang, diminta pulang oleh warganya, nanti saya cari tahu lagi apa yang terjadi, miskomunikasi sepertinya, jadi accountability itu civil society yang bisa jaga. Karena saat ini pemerintah nggak terlalu memikirkan in karena mereka dikejar dengan waktu juga. Yang ketiga adalah participation affected groups are able to participate in decision. Apalagi dengan kondisi dimana semua harus dirumah, harusnya civil society yang mencarikan cara suara yang terdampak benar-benar sampai.

Karena civil society idealnya adalah menyuarakan dari mereka-mereka yang belum bersuara atau tidak bersuara. Integrity, tentu saja harus diawasi, uangnya, dananya, sumbangannya sampai nggak, beberapa waktu yang lalu rekto kami memberikan bantuan kepada pemerintah kota, dan itu diliput, lalu saya sempat kepikiran itu bagaimana ya mekanisme selanjutnya. Setelah. Itu dikemanakan itu bantuan.

Pertanyaan seperti itu perlu dipupuk agar apa yang saya berikan itu sampai. Kemudian Policy Capacity, Civil Society can contribute with research and information at a low cost. Sekarang sudah mulai ada survei-survei yang bermunculan di grup WA, survei yang menanyakan bagaimana anda terdampak, sekarang saya sedang survei mencari bisnis yang terdampak untuk kota bandung ini.

Tiga menit terakhir saya ingin memberikan gambar ini. Ini adalah Nikita Mirzani, dan Rachel Vennya, saya memberikan judul The Emergence of (not so) New Actors? Sebagai provokasi mereka sudah mulai aktif, belum lagi kalau kita berbicara artis luar negeri, mereka sudah sangat aktif, apalagi dengan power yang lebih besar, jadi apabila kita membahas gerakan akar rumput, gerakan akar rumput, should we consider these people as a competitor? Terimakasih.